WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Mereka yang Dulu Mendemo kini Didemo: Apakah Menjadi Sebuah Siklus?

Oleh: Achmad Zidan Muzaki
Ilustrasi Oleh: Razkyla Wilhelmina N

Menurut UU Nomor 9 tahun 1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum”, demonstrasi atau yang kerap disingkat sebagai demo merupakan aksi yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran secara lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berpendapat, Indonesia sering menghadapi situasi tersebut. Pada bulan September 2022, muncul gelombang besar demonstrasi dari berbagai penjuru Indonesia sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM. Menurut Dr. Phil. Gabriel Lele, S.IP., M.Si., Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), demo yang masih sering terjadi menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi formal tidak bekerja dengan baik. Hal ini bisa disebabkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang gagal menyampaikan aspirasi masyarakat atau saluran partisipasi yang tidak memadai.

Sebagian besar demo yang dilakukan di Indonesia dipelopori oleh mahasiswa. Mahasiswa dianggap sebagai juru bicara rakyat terhadap keputusan atau kebijakan apapun yang dirasa tidak pro publik. Hal ini disebabkan oleh kapasitas dan kapabilitas mahasiswa dalam menyampaikan pendapat, sehingga aspirasi menjadi lebih mudah tersampaikan. Bentuk penyampaian pendapat tersebut dapat berupa orasi, long march, yel-yel kritikan, atau aksi-aksi simbolik seperti pembakaran jas almamater UGM pada demo penolakan harga BBM di Malioboro lalu. Sering kali, karena aksi yang nyentrik atau pendapat yang menarik, muncul satu dua orang yang menjadi idola baru karena dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat. Salah satu contohnya adalah Atiatul Muqtadir atau Fathur, Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM yang mampu menyampaikan kegelisahan masyarakat dengan tegas dan tenang terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tahun 2019. Berkat hal tersebut ia berhasil mendapatkan ketenaran dan memperoleh banyak pengikut baru di media sosialnya. Tiga tahun berselang, muncul idola-idola lainnya, salah satu yang saat ini sedang mencuat namanya adalah Rian Farhadi. Dengan branding sebagai Presiden Gen Z, ia dianggap sebagai seorang pemuda yang tidak kenal takut menyampaikan pendapatnya di media sosial, khususnya di akun media sosial TikTok. Akibat keberaniannya, saat ini dia telah mendapatkan 1,1 juta followers dengan lebih dari 22 juta likes. 

Menurut Dr. Gabriel, naiknya satu dua orang mahasiswa akibat kegiatan aktivisme merupakan hal yang wajar. Hal ini karena tindakan advokasi besar-besaran harus mempunyai tokoh besar yang ia sebut sebagai “champion”. Penentuan tokoh tersebut bisa terencana, tetapi lebih sering bersifat situasional. Tokoh tersebut menjadi sebuah elemen penting karena dapat menggerakkan banyak orang. Namun, yang perlu diperhatikan adalah efek media terhadap tokoh tersebut. Jangan sampai framing terhadap tindakan advokasi hanya sekadar bersifat personifikasi ketika publikasi hanya difokuskan kepada tokoh mahasiswa. Hal tersebut dapat membuat isu yang sedang diperjuangkan menjadi teralihkan atau tuntutan yang disampaikan menjadi bias.

Fenomena munculnya “champion” ini bukan merupakan sebuah hal yang asing bagi demokrasi di Indonesia. Fenomena serupa sempat terjadi pada periode reformasi tahun 1998. Pada saat tersebut, ribuan mahasiswa berhasil mengambil alih gedung DPR/MPR untuk memaksa Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Tuntutan tersebut terpenuhi dan menyebabkan banyak mahasiswa aktivis reformasi yang menjadi idola baru di tengah kacaunya kondisi negara saat itu. Dalam beberapa tahun ke belakang, aktivis reformasi tersebut kembali muncul ke permukaan melalui media cetak seperti baliho, spanduk, atau koran serta media digital seperti media sosial atau televisi. Namun, kemunculan tersebut bukan untuk menentang pemerintah, tetapi justru mencari dukungan dalam rangka memuluskan langkah mereka menjadi anggota legislatif atau eksekutif. Hal tersebut tentunya bukan merupakan tindakan yang salah. Namun, bagaikan menjilat ludah sendiri, mereka yang dahulu dengan lantang mengkritisi justru menjadi sasaran kritik mahasiswa saat ini.

Dr. Gabriel menjelaskan bahwa terjunnya aktivis ke dunia politik disebabkan oleh susahnya memperoleh perubahan jika hanya mengandalkan teriakan di jalanan. Salah satu cara yang efektif adalah menjadi bagian dari sistem itu sendiri dan mengubah sistem tersebut. Namun, alih-alih mengubah, mereka justru yang diubah oleh sistem. Kritikan yang dulu mereka lontarkan untuk membela rakyat, kini hanya digunakan sebagai pendukung opini untuk menyerang lawan politik mereka. Selain dari faktor internal tersebut, runtuhnya semangat perubahan dari mantan aktivis juga disebabkan oleh kebutuhan sumber daya politik. Ide dan massa saja tidak cukup untuk bisa masuk dan menjadi bagian dari sistem politik praktis. Oleh karena itu, diperlukan cara-cara cepat, seperti bergabung dengan partai politik. Langkah ini justru membuat kebebasan terhadap gagasan mantan aktivis tersebut menjadi semakin terbatas. 

Manuver yang sama juga sangat mungkin terjadi pada mahasiswa saat ini. Menurut Dr. Gabriel, banyak aktivis muda yang mempunyai mimpi akhir menjadi politisi. Perlu dipertanyakan lebih jauh, apakah tindakan aktivisme yang mereka lakukan bersifat organik atau hanya sebagai bentuk memanfaatkan kampus demi kepentingan pribadinya semata. Untuk memagari idealisme dan gagasan kritis agar tetap terjaga, Dr. Gabriel menyarankan generasi muda untuk mendirikan partai sendiri. Hal ini akan membuat mereka mempunyai lebih banyak keleluasaan dalam membuat sebuah sistem baru dari pada terkekang dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) lama.

Fenomena “yang dulu mendemo, kini didemo” menjadi bukti banyak mahasiswa reformasi yang mencari kenyamanan di balik label “champion” hingga lupa tujuan aktivisme sesungguhnya. Tindakan aktivisme bukan lagi disebabkan oleh niat untuk memperjuangkan suara rakyat, tetapi hanya dijadikan batu loncatan untuk memperoleh jabatan di hari tua. Namun, fenomena tersebut tidak seharusnya membuat mahasiswa saat ini menjadi takut. Sebaliknya, mahasiswa saat ini diharapkan menjadi lebih termotivasi untuk tetap menyuarakan agenda kritis dan reflektif dengan tetap menjaga diri agar tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin