Penulis: Keffa Auna Rasyidina/EQ, Nawfal Aulia Luthfurrahman/EQ
Editor: Frida Lucy/EQ
Layouter: Faza Naufal/EQ
Jakarta, 21 Agustus 2024 – Drama hukum Indonesia kembali bergulir dengan episode terbarunya “Pembegalan Demokrasi demi Oligarki”. Dalam langkah yang mengejutkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Badan Legislasi (Baleg) dengan cepat merevisi putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia dan ambang batas pencalonan kepala daerah. Revisi ini terjadi hanya sehari setelah putusan itu dikeluarkan. Tindakan ini memicu kekhawatiran serius bahwa demokrasi Indonesia kian terancam, sementara dinasti oligarki semakin memperkuat cengkeramannya dalam komedi politik nasional.
“Satu komando satu tujuan!” gema para demonstran.
Sebagai tanggapan atas komedi hukum yang terjadi di kalangan elite nasional, masyarakat Yogyakarta menggelar demonstrasi pada Kamis, 22 Agustus 2024. Aksi ini diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat yang bersatu untuk menolak revisi UU Pilkada. Demonstran melakukan long-march yang diiringi dengan orasi dan teatrikal kebangsaan, melintasi dengan damai sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol Yogyakarta. Barisan demonstran tersebut berhenti di dua titik, yaitu Gedung DPRD Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Yogyakarta yang melambangkan keprihatinan mereka terhadap kondisi badan eksekutif dan legislatif negara ini.
“Dengan pembungkaman yang terus-menerus terjadi, maka aksi hari ini adalah bagian dari upaya proses dari membangkitkan kesadaran politik warga untuk melawan kebodohan yang diciptakan penguasa,” Herlambang Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Herlambang menjelaskan bahwa demonstrasi ini merupakan bagian dari upaya membangkitkan kesadaran politik masyarakat yang selama ini dibungkam dan dibodohi oleh penguasa. Sebagai bentuk dukungan, ia memberikan keleluasaan kepada mahasiswanya untuk ikut serta dalam aksi ini dengan meliburkan mereka dari kegiatan belajar-mengajar di kampus. Beliau menegaskan bahwa partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi ini merupakan bentuk pencerdasan di ruang publik yang sangat penting untuk dilakukan.
“Terserah kamu! Teruskanlah dengan kesewenang-wenangan mu! Kami yang lemah akan tetap berjuang. Di tengah kegelapan, masih ada harapan. Kejujuran dan keadilan akan kembali benderang!” puisi oleh Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia.
Selain Herlambang, tokoh akademisi lain yang ikut serta dalam demonstrasi kali ini adalah Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid. Dalam puisinya yang bertajuk “Sak Karepmu” (terj. “Terserah Kamu”), Fathul memberikan sindiran halus terhadap rusaknya sistem demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir. Melalui puisi ini, Rektor Universitas Islam Indonesia tersebut juga mengajak seluruh masyarakat untuk terus berjuang dan berharap agar kejujuran serta keadilan dapat ditegakkan kembali.
“Bagimu negeri jiwa raga kami.”
Selain dari kalangan akademisi, komponen masyarakat lain seperti Paguyuban Pedagang Pinggir Jalan Yogyakarta Tridharma ikut turun ke jalan untuk menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintahan yang semakin kehilangan arah. Bersama ribuan demonstran, mereka menyanyikan lagu kebangsaan sebagai simbol perlawanan dan pengingat bahwa negeri ini milik bersama, bukan hanya elite. Aksi ini adalah perlawanan terhadap kebijakan yang menindas serta perjuangan demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat.
“Ketika demokrasi, konstitusi, dan hukum dirusak, maka kita harus bergerak. Tidak terelakkan lagi. Itu kewajiban kita menyelamatkan bangsa dan negara, memberikan andil sekecil apapun,” ujar Butet Kartaredjasa.
Dalam aksi demonstrasi damai ini, Butet, seorang seniman asal Yogyakarta, turut memberikan pandangannya yang kritis terhadap kondisi demokrasi di negeri ini. Ia menegaskan bahwa menyelamatkan bangsa dan negara menjadi kewajiban ketika demokrasi, konstitusi, dan hukum dirusak oleh penguasa. Butet menyebut revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi, yang membuka jalan bagi “hukum rimba” yang lebih menguntungkan elite daripada melindungi hak-hak rakyat. Tanpa perlawanan, menurutnya, rakyat sipil akan menjadi korban dari ketidakadilan yang dilegalkan oleh pemerintah. Dukungan Butet terhadap aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya merupakan wujud kepeduliannya untuk melawan tirani dan menjaga demokrasi yang tengah terancam di negara ini.
Gambaran dari pandangan Butet tersebut semakin nyata terlihat di tengah-tengah aksi demonstrasi. Massa membawa spanduk dan poster yang dengan gamblang menggambarkan dinasti otoriter yang saat ini berkuasa. Kedua instrumen tersebut digunakan untuk menggelar demonstrasi teatrikal, yakni massa membakar poster yang memuat foto keluarga Jokowi, menandakan kehancuran kekuasaan otoriter. Tak berhenti disitu, massa juga melempari poster tersebut dengan telur sebagai ungkapan frustasi terhadap kerusakan demokrasi yang telah dibentuk oleh Jokowi. Aksi tersebut juga diwarnai dengan kehadiran sebuah alat pancung bertuliskan “Tirani Mati di Sini” yang berdiri sebagai simbol resolusi terakhir bagi tirani yang sedang berkuasa.
“Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.”
-Martin Luther King.
Aksi demonstrasi di Yogyakarta ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa dan masyarakat masih peduli terhadap demokrasi yang sedang terluka. Mereka menyatakan aspirasi mereka bukan sekadar sebagai protes, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Gerakan ini menjadi upaya untuk menyegarkan kembali demokrasi Indonesia yang telah dirusak oleh kepentingan segelintir elite. Mereka menegaskan bahwa negeri ini adalah milik seluruh rakyat, bukan panggung bagi para elite untuk mempermainkan hukum dan keadilan. Di tengah tirani yang berusaha mencengkeram, suara rakyat tetap lantang, mengingatkan bahwa keadilan dan kebenaran harus selalu menjadi fondasi bangsa ini.