WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Shrinkflation: Tersembunyi dan Deceptive

Oleh: Ghozi Naufal Ali
Ilustrasi Oleh: Agil Alya Fadhilah

Kondisi Ekonomi Global

Kondisi ekonomi global saat ini sedang menuju ke arah recovery pasca COVID-19 sejak dua tahun lalu. Meskipun demikian, terdapat beberapa hambatan yang dialami berbagai negara selain pandemi, berupa konflik Rusia-Ukraina. Sejauh ini, setiap negara mempunyai masalah mereka tersendiri. Pertumbuhan ekonomi yang mandek, inflasi yang kian tak terkendali, serta beban fiskal yang menumpuk masih menjadi momok bagi setiap negara secara umum tanpa terkecuali (Prasain & Pandey, 2022). Hal tersebut memunculkan ketidakpastian dalam perekonomian dan kemudian memengaruhi setiap pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatan seperti biasanya.

Bagan 1. Inflation of G7 Countries, China, India, & Indonesia
Sumber: World Bank

Li (2022) menjelaskan bahwa dunia diperkirakan menuju ke arah resesi pada tahun depan. Peningkatan harga yang tinggi diiringi dengan peningkatan tingkat suku bunga bank sentral menjadi tanda terjadinya resesi di beberapa negara. Namun, anehnya negara-negara berkembang di Asia, seperti India dan sederet negara di Asia Tenggara memiliki peluang mengalami resesi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Hal tersebut juga merupakan imbas dari konflik Rusia-Ukraina yang belum menemukan titik terang penyelesaiannya.

Bagan 2. Recession Probability Forecast in 2023 
Sumber: Bloomberg, 2022

Kondisi perekonomian dan geopolitik yang tidak kondusif menyebabkan kegiatan ekonomi tidak bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Dari sisi produsen, mereka mengalami guncangan tambahan berupa meningkatnya biaya produksi, terhambatnya supply chain, dan hambatan lain yang muncul akibat kebijakan makro yang ketat. Meski begitu, produsen dituntut harus menciptakan penerimaan. Berbagai cara dilakukan untuk tetap bertahan, salah satu strategi yang dilakukannya tidak lain adalah melakukan packaging-downsizing

Memang, strategi tersebut sudah terjadi beberapa tahun ke belakang. Namun, manuver tersebut menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat, terutama konsumen dan aktivis perlindungan hak konsumen. Tentu, dari sisi produsen, hal tersebut perlu dilakukan guna membatasi biaya produksi yang mereka keluarkan. Namun, di sisi lain aktivis perlindungan konsumen menilai hal tersebut merupakan tindakan penipuan secara moral karena merugikan konsumen secara diam-diam. Hal tersebut menjadi poin menarik yang sejatinya perlu dibahas dari kedua sisi dengan lebih seksama.

Definisi dan Pendapat Ahli Seputar Packaging-Downsizing

Pakckaging-downsizing sering kali dikaitkan dengan istilah shrinkflation. Shrinkinflation sendiri memiliki beberapa definisi, yang kemudian merujuk pada praktik yang dilakukan oleh para produsen untuk mengurangi atau membatasi ukuran/besarnya produk yang dihasilkan/diproduksi yang ditujukan untuk menyesuaikan beban anggaran perusahaan di tengah situasi inflasi ekonomi yang cenderung tinggi. Selain itu, peningkatan biaya produksi, gaji, dan transportasi memiliki pengaruh dalam mendorong produsen atau manufaktur melakukan kebijakan tersebut (Wood, 2022). Fenomena tersebut menggambarkan terjadinya peningkatan harga produk ‘terselubung’, yang sejatinya tidak disadari oleh banyak konsumen (Wilkins et al., 2016). Tujuannya adalah untuk dapat menstabilkan performa perusahaan di tengah tingginya inflasi dan ketidakpastian faktor-faktor penting dalam proses produksi. Uniknya, praktik ini cenderung dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang konsumsi, terutama perusahaan manufaktur makanan/minuman dan utilitas dalam kemasan, serta perusahaan makanan cepat saji.

Dalam praktiknya, kebijakan tersebut dilakukan secara diam-diam. Namun, beberapa produsen memilih untuk melakukannya secara terbuka kepada konsumen. Bukan hal yang aneh ketika kita sebagai konsumen merasa abai atas perubahan kecil tersebut. Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian juga menyatakan bahwa konsumen cenderung fokus pada perubahan harga barang, tetapi lengah terhadap perubahan detail kecil, khususnya berkaitan dengan ukuran dari produk yang mereka beli (Rosalsky, 2021). Namun, bagaimana para ahli melihat manuver bisnis tersebut?

Tom Fullerton, seorang ekonom dari Universitas Texas el Paso, menyatakan bahwa kebijakan packaging-downsizing legal karena sejatinya produsen memang memiliki kebebasan mengubah harga dan ukuran produknya kapanpun mereka mau. Bishwambhar Pyakurel, ekonom dari India, juga menyatakan bahwa strategi tersebut bukanlah hal baru yang dilakukan produsen (Prasain & Pandey, 2022). Dua pendapat di atas menyatakan bahwa kendali penuh atas produk yang diproduksi berada di tangan produsen. Lalu, bagaimana dengan konsumen? 

Konsumen melihat strategi bisnis ini menyangkut terhadap hak mereka dalam mengonsumsi barang yang diproduksi. Beberapa ahli berpikir bahwa tindakan tersebut cenderung menjadi sebuah tindakan yang melanggar etika. Meski kondisi perekonomian tidak baik-baik saja, perusahaan tidak berhak menggunakan alasan tersebut sebagai “senjata” dalam meraup banyak keuntungan. Beberapa riset juga menyatakan bahwa terdapat bukti kuat mengenai peran berperilaku sesuai etika terhadap kemungkinan perusahaan mengalami profit (Weinstein, 2022). Namun, praktik packaging-downsizing secara diam-diam, menurut Gupta et al. (2007), merupakan suatu tindakan yang melanggar Kode Etik dari AMA (American Marketing Association). AMA menerapkan prinsip kesetaraan (ekuivalensi) bagi setiap entitas bisnis sehingga setiap nilai (value) yang saling dipertukarkan harus didasari pada beban yang seimbang antara kedua pihak yang terlibat. Selain itu, prinsip keadilan yang distributif juga menjelaskan bahwa segala informasi ekonomi harus terdistribusi secara adil. 

Untuk itu, kita perlu melihat beberapa teori seputar bisnis yang relevan untuk membahas kedua pandangan yang bertolak-belakang mengenai situasi tersebut. Wood (2022) menjelaskan perbedaan paradigma tersebut dapat dijelaskan dalam dua teori, shareholders dan stakeholders theory. Hal tersebut dibutuhkan untuk melihat bagaimana perusahaan menyeimbangkan kepentingan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan perusahaan sehari-hari.

Antara Shareholders vs Stakeholders Theory

Shareholder theory yang dikemukakan oleh Friedman menyatakan bahwa tanggung jawab terbesar dari suatu perusahaan adalah untuk memenuhi kepuasan dari pemilik perusahaan (shareholders). Lebih jauh lagi, perusahaan dituntut untuk menciptakan laba yang besar, yang kemudian dapat meningkatkan return yang diterima oleh para shareholder (CFI, 2022). Friedman juga menjelaskan bahwa sejatinya para eksekutif perusahaan hanya seorang “pegawai” bagi para shareholders sehingga para pegawai harus memenuhi ekspektasi dari para employee-nya. Untuk itu, shareholders harus menjadi salah satu pengambil kebijakan penting suatu perusahaan dalam setiap kegiatan perusahaan, termasuk berkaitan dengan inisiatif sosial. Para produsen menilai bahwa packaging-downsizing menjadi salah satu program penting perusahaan guna menstabilkan anggaran produksi perusahaan di tengah situasi ekonomi yang sulit.

Meskipun begitu, doktrin Friedman mengundang berbagai reaksi dari masyarakat dan banyak mendapatkan kritik pada beberapa aspek, termasuk aspek legal, moral, ekonomi, sosial, hingga finansial. Meskipun perusahaan dimiliki oleh para shareholders, masyarakat luas memegang peran penting dalam kesuksesan operasional perusahaan. Pembelian produk yang diproduksi berada pada kendali penuh konsumen sehingga perlu adanya hubungan timbal balik yang ideal antara perusahaan dan masyarakat luas. Untuk itu, muncul teori kedua, yaitu stakeholders theory.

Bagan 3. Stakeholders map of a large organization
Sumber: Freeman, 2014

Stakeholders sendiri mencakup pihak-pihak yang berpengaruh atau dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan, seperti manajer, pemerintah, media, konsumen, supplier, dan lain sebagainya. Teori tersebut kemudian membahas mengenai bagaimana sebuah perusahaan atau para manajer memiliki tanggung jawab kepada masyarakat dengan definisi yang lebih luas dibandingkan dengan teori ekonomi tradisional (Freeman, 2015). Freeman menyatakan bahwa perusahaan sejatinya bertanggung jawab penuh terhadap masyarakat sehingga perusahaan didorong untuk melakukan social initiatives, termasuk CSR (Corporate Social Responsibility). Perusahaan dituntut untuk melakukan segala kegiatan operasi dengan jujur, adil, serta menghindari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat dan konsumen. Untuk itu, segala tindakan “penipuan” berbentuk apa pun dianggap melanggar nilai etika dan moral. Maka dari itu, penyusutan ukuran/kuantitas barang secara diam-diam adalah tindakan yang salah menurut teori tersebut.

Efektivitas Manuver Bisnis Tersebut

Produsen sadar bahwa ia akan kehilangan pelanggan jika menaikkan harga produknya. Jika dihitung, kehilangan pelanggan akibat peningkatan harga lebih besar dibandingkan dengan mendapatkan pelanggan baru dengan menurunkan harga produk (Gupta et al., 2007). Untuk itu, menyesuaikan ukuran produk kemasan menjadi lebih kecil menjadi alternatif penting bagi perusahaan. Namun, apakah hal tersebut bisa berhasil diterapkan?

Dalam beberapa aspek, kebijakan tersebut memiliki beberapa keuntungan. Produsen memanfaatkan tendensi konsumen yang lebih sensitif terhadap perubahan harga ketimbang kuantitas sehingga strategi package-downsizing dapat menghindari protes berlebih dari para konsumen (Mejia, 2022). Lebih jauh, Haupt (2022) menggambarkan bahwa kebijakan tersebut ternyata berhasil dalam menjaga loyalitas konsumen, yang kemudian berpengaruh langsung pada peningkatan profit perusahaan. Dengan begitu, tidak diragukan lagi mengapa package-downsizing menjadi strategi yang menguntungkan bagi para produsen di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Adams et al. (1991) menjelaskan bahwa kebijakan downsizing yang dilakukan oleh para perusahaan memiliki sisi positif dalam jangka panjang. Meskipun perekonomian tidak berada pada situasi yang optimal, downsizing yang dilakukan berhasil mempertahankan angka penjualan dengan signifikan dalam jangka panjang. Hal tersebut menjadi alasan mengapa praktik tersebut sering kali dilakukan oleh perusahaan di kala adanya pembengkakan biaya akibat inflasi atau sederet fenomena lainnya. Sejauh ini, package-downsizing terbukti berpengaruh positif bagi perusahaan yang melakukannya.

Selain menyelesaikan masalah seputar kenaikan beban produksi dan kondisi ekonomi yang tidak kondusif, produsen dapat mengatasi isu-isu lain yang mereka alami. Melakukan packaging-downsizing ternyata tidak hanya dikaitkan dengan solusi atas beban produksi yang membengkak, tetapi sekaligus untuk mengatasi beberapa isu lain, seperti isu pencemaran lingkungan dan food waste (Wohner et al., 2019). Produk kemasan menjadi isu penting lingkungan karena berasosiasi dengan plastik serta sampah, yang menjadi salah satu masalah lingkungan utama selama ini. Di sisi lain, masyarakat yang cenderung melakukan pembelian produk dengan ukuran yang besar memiliki kemungkinan untuk melakukan food waste yang lebih ketimbang masyarakat lainnya. Untuk itu, penyesuaian bahan kemasan dan pemecahan ukuran kemasan menjadi lebih kecil diperlukan guna menghindari pencemaran lingkungan dan menghindari  kemungkinan food waste. Meski disinyalir berpengaruh positif bagi perusahaan, Wilkins et al. (2022) menemukan hal kontradiktif mengenai dampak dari implementasi package-downsizing. Wilkins et al. (2022) menjelaskan mengenai beberapa dampak dari beberapa kebijakan perusahaan, seperti deceptive packaging, package downsizing, dan slack filling terhadap kemungkinan konsumen akan melakukan repurchase. Hasilnya, ditemukan bahwa ketiga strategi bisnis tersebut memiliki dampak negatif terhadap keinginan konsumen untuk repurchase dan menimbulkan kondisi yang dinamakan consumer cognitive dissonance. Kondisi tersebut akan menimbulkan kerugian, baik secara finansial maupun reputasi di masa yang akan datang sehingga pengaplikasian kebijakan seputar kemasan perlu ditelaah lebih lanjut oleh perusahaan dengan lebih matang. 

Konsumen yang Tidak Lagi Rasional?

Tabel 1. Total Unit Sales by Different Price-change Tactics, field experiment results
Sumber: Yao et al., 2022

Idealnya, konsumen melakukan kegiatan konsumsinya berlandaskan kondisi yang rasional sehingga perubahaan detail produk yang ingin dikonsumsi harus mereka sadari. Akan tetapi, temuan di atas menjelaskan bahwa ternyata produsen tidak selalu berada dalam kondisi yang rasional dalam melakukan pembelian produk barang konsumsi. Mirisnya, sebagian besar konsumen abai akan fenomena tersebut. Pearce (1999) menyatakan bahwa fenomena tersebut diasosiasikan dengan kondisi asymmetric information karena adanya ketimpangan informasi terkait produk antara perusahaan dengan konsumen. Oleh karena itu, package-downsizing dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma dan etika, serta berpotensi menimbulkan market failure.

Studi Yao et al (2019) mengamati bagaimana konsumen bertindak atas beberapa kebijakan perusahaan seputar perubahan harga dan ukuran produk (lihat Tabel 1). Secara umum, temuan Yao et al. (2019) berimplikasi pada beberapa hal berikut. Pertama, kebijakan pengubahan harga dan ukuran produk sejatinya menimbulkan dampak positif dan negatif yang terjadi secara bersamaan (efek silver linings). Kedua, perubahan harga cenderung lebih mudah untuk diamati oleh konsumen ketimbang detail-detail kecil lain, seperti berat kemasan atau kuantitas produk. Hal tersebut dikatakan sebagai suatu respons kognitif otomatis dari seorang konsumen dan mungkin disebabkan ketidakmampuan konsumen memperhatikan perubahan kecil tersebut atau memang konsumen telah menerima brand dengan baik tanpa memedulikan hal-hal kecil tersebut (Gupta et al., 2007).

Ekspektasi juga berperan penting dalam keputusan konsumen dalam melakukan konsumsi atas suatu barang. Secara khusus, ekspektasi dari seorang konsumen menentukan apakah dia puas atau tidak mengonsumsi suatu brand produk. Tidak hanya seputar kualitas produk, bagaimana perusahaan “berperilaku” dalam kegiatannya juga menjadi pertimbangan penting atas kepuasan konsumen. Studi dari Creyer & Ross Jr (1997) menunjukkan beberapa poin penting mengenai dampak perilaku suatu perusahaan terhadap kepuasan konsumen. Pertama, perilaku produsen, entah itu sesuai atau tidak dengan etika yang berlaku, menjadi pertimbangan besar konsumen dalam mengonsumsi produk produsen tersebut. Kedua, perilaku perusahaan yang sesuai etika menjadi sesuatu yang diekspektasikan oleh konsumen. Ketiga, konsumen akan memberikan ‘imbalan’ bagi produsen yang berperilaku sesuai dengan etika, berupa keinginan untuk membayar lebih terhadap produk mereka. Keempat, meskipun perusahaan melakukan tindakan melanggar etika, konsumen akan tetap melakukan konsumsi produk perusahaan tersebut hanya pada harga yang rendah sebagai bentuk hukuman akan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan. Untuk itu, perusahaan dituntut untuk bertindak tidak hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi harus mengikuti etika yang berlaku guna menghindari hal-hal yang dapat merusak perusahaan itu sendiri kedepannya.

Penutup

Meski di tengah kondisi yang tidak optimal, perekonomian terus berjalan walau membutuhkan berbagai penyesuaian. Tindakan perusahaan dalam memproduksi barang sejatinya menjadi hak penuh dari perusahaan. Meski begitu, konsumen adalah penentu keberhasilan setiap kebijakan yang perusahaan ambil. Untuk itu, kedua pihak harus saling bersinergi guna memberikan manfaat antara satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, kegiatan ekonomi dapat berangsur pulih tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang terlibat. 

Referensi

Adams, A. et al. (1991). Can You Reduce Your Package Size without Damaging Sales?. Long Range Planning, 24(4), pp. 86-96. https://doi.org/10.1016/0024-6301(91)90009-D

Corporate Finance Institute (CFI). (2022). Friedman Doctrine. Corporatefinanceinstitute.com, 27 Februari. Diakses pada Selasa, 02 Agustus 2022. https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/finance/friedman-doctrine/

Creyer, E. H. & Ross Jr, W. T. (1997). The Influence of Firm Behavior on Purchase Intention: Do Consumers Really Care about Business Ethics?. Journal of Consumer Marketing, 14(6), pp. 421-432. https://doi.org/10.1108/07363769710185999

Freeman, R. E. (2015). Stakeholder Theory. Wiley Encyclopedia of Management, 2, pp. 1-6. https://doi.org/10.1002/9781118785317.weom020179

Gupta, O.K. et al. (2007). Package Downsizing: Is It Ethical?. AI & Society, 21, pp. 239-250. https://doi.org/10.1007/s00146-006-0056-3

Haupt, W. (2022). Op-Ed: 2022 Will Bring More Biden ‘Shrink-flation’. Thecentresquare.com, 3 Januari. Diakses pada Rabu, 3 Agustus 2022. https://www.thecentersquare.com/national/op-ed-2022-will-bring-more-biden-shrink-flation/article_e5ff9838-6bfe-11ec-b351-d7dd0ce2e274.html

Li, C. (2022). Recession Risk Climbs for Some Asian Economies, Survey Shows. Bloomberg.com, 6 Juli. Diakses pada Rabu, 3 Agustus 2022. https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-07-06/recession-risk-climbs-for-some-asian-economies-survey-shows#:

Mejia, J. (2022). Companies conducting ‘shrinkflation’ is legal, says UTEP Professor. KFOX.com, 18 Maret. Diakses pada Senin, 1 Agustus 2022. https://kfoxtv.com/news/local/el-pasoans-are-starting-to-feel-the-impact-of-shrinkflation?src=link

Pearce, R. (1991). Social Responsibility in the Marketplace: Asymmetric Information in Food Labelling. Business Ethics: A European Review, 8(1), pp. 26-36. https://doi.org/10.1111/1467-8608.00122 

Prasain, K& Pandey, P. (2022). Shrinkflation: You’re Getting Less for Same Price as Packages Become Smaller. Nationthailand.com, 14 Juni dari The Kathmandu Post. Diakses pada Kamis, 4 Agustus 2022. https://www.nationthailand.com/international/40016622.  

Rosalsky, G. (2021). Beware of ‘Shrinkflation’, Inflation’s Devious Cousin. NPR.org, 6 Juli. Diakses pada Rabu, 3 Agustus 2022. https://www.npr.org/sections/money/2021/07/06/1012409112/beware-of-shrinkflation-inflations-devious-cousin

Weinstein, B. (2022). Why Shrinkflation is the Worst Corporate Idea in Years. Forbes.com, 11 Juni. Diakses pada Rabu, 3 Agustus 2022. https://www.forbes.com/sites/bruceweinstein/2022/06/11/why-shrinkflation-is-the-worst-corporate-idea-in-years/?sh=40728a0e19f1

Wilkins, S. et al. (2016). Consumer’s Behavioural Intentions after Experiencing Deception or Cognitive Dissonance Caused by Deceptive Packaging, Packaging Downsizing, or Slack Filling. European Journal of Marketing, 50(1/2), pp. 213-235. https://doi.org/10.1108/EJM-01-2014-0036

Wohner, B., et al. (2019). Packaging-related Food Losses and Waste: An Overview of Drivers and Issues. Sustainability, 11(1), pp. 264-278. http://dx.doi.org/10.3390/su11010264.

Wood, B. (2022). Shrinkflation: Ethical Dilemma, Deception, or Good Business?. https://www.researchgate.net/publication/361577084_Shrinkflation_Ethical_Dilemma_Deception_or_Good_Business

Yao, J., et al. (2022). Why Getting Less with Shrinkflation is Preferable to Paying More. Theconverstation.com, 25 April. Diakses pada Selasa, 2 Agustus 2022. https://theconversation.com/why-getting-less-with-shrinkflation-is-preferable-to-paying-more-181326

Pengunjung :
377

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin