WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Tetes Peluhmu Sia-Sia jika Menjadi Atlet di Indonesia!

Penulis : Virginia Monic
Ilustrasi : Theresa Arween

Memulai sebagai bukan siapa-siapa, kemudian berjuang dengan sepenuh tenaga, hingga akhirnya menjadi juara. Perjalanan penuh pengorbanan, keringat, dan air mata mereka jalani demi mengharumkan nama tanah air. Kira-kira begitulah alur cerita yang dihamparkan para atlet berprestasi Indonesia. Akan tetapi, realitas sesungguhnya memiliki jauh lebih banyak batu sandungan. Tidak sedikit pula atlet yang mencoba menapaki jalan yang sama, tetapi terpaksa tumbang sebelum sempat berjuang. 

Atlet-atlet di televisi dengan gagahnya membela negara di ajang olahraga dunia dan mengharumkan nama Indonesia melalui tangkisan serta tendangannya. Setelah pertandingan sengit, mereka menerima piala, lalu mengumandangkan Indonesia Raya disertai tangis haru. Para atlet yang menang kemudian diberi bonus serta medali kehormatan di istana negara. Profesi yang diidam-idamkan banyak orang dengan berbagai keuntungan: dinamis, sehat, sesuai dengan passion, penuh dengan glamor, adrenalin, dan penghargaan.

Namun, bak sisi gelap di balik terangnya bulan, banyak kesulitan tidak terlihat menghantui para atlet olahraga Indonesia. Masalah pendanaan kerap menjadi salah satunya. Sebagai contoh, sejumlah atlet terpaksa mengurungkan niat untuk berpartisipasi dalam Sea Games 2021 akibat keputusan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk tidak membiayai keberangkatan mereka. Dilansir dari merdeka.com, pengiriman atlet ke Sea Games 2021 telah menurun sebanyak hampir 50 persen dibandingkan dengan Sea Games 2019. Padahal, para atlet tersebut telah menunjukkan kebolehannya dengan menorehkan medali emas di PON XX Papua. Polesan bakat dengan latihan keras bertahun-tahun tentu akan sia-sia apabila atlet dipersulit untuk unjuk gigi di kancah internasional. 

Angelica Jennifer, atlet timnas basket yang mewakili Indonesia dalam FIBA Women’s Asia Cup, pun menyatakan bahwa dirinya kurang mendapatkan fasilitas yang memadai selama perjalanannya menjadi atlet. “Manajemen atlet Indonesia masih memiliki kekurangan, seperti kurangnya penghargaan untuk atlet-atlet berprestasi, kurangnya program pembinaan, dan minimnya dana untuk pembinaan olahraga,” jelas atlet yang kerap dipanggil Angel tersebut. Memang, anggaran Kemenpora Indonesia cukup jauh berbeda jumlahnya apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Di Australia, Thailand, dan Singapura, dana olahraga mencapai masing-masing 0,1 persen, 0,2 persen, dan 4,2 persen dari pendapatan negara. Sementara itu, dana olahraga Indonesia hanya mencapai angka 0,08 persen saja, bahkan angka tersebut belum dikurangi biaya operasional (Paramadina Public Policy Institute, 2019).

Selain minimnya dukungan dana, kultur Indonesia juga luas pengaruhnya. Orientasi masyarakat Indonesia saat ini memang belum melihat atlet sebagai jenjang karir yang menjanjikan. Selaras dengan hal tersebut, olahraga dianggap seakan-akan menjadi hal yang tidak penting dalam pendidikan formal. Banyak lembaga pendidikan yang memberatkan siswanya ketika mereka lebih memilih olahraga dibandingkan mendalami bidang akademik. Program pelatihan dari pemerintah demi memberikan ruang bagi siswa untuk fokus ke dunia olahraga pun tergolong nihil. “Saat SMA, karena latihan satu hari mencapai 5-6 jam sehari yang dilakukan pada pagi dan sore, maka tidak sempat ada waktu untuk belajar,” ungkap Mahdy Baihaqi, student athlete binaan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLOP) Provinsi Jawa Tengah. Angel pun mengatakan hal yang serupa, “Sekolah juga kadang izin bisa satu minggu sampai enam bulan, harus pintar mengelola waktu antara sekolah dan basket, soalnya walaupun izin tetap harus ngerjain tugas-tugas sekolah.” 

Bukan hal yang mudah untuk menjadi atlet di samping menjalani pendidikan formal, tetapi sistem di Indonesia seakan-akan memberatkan para atlet dengan hal tersebut. Sudah tidak terhitung banyaknya faktor yang membuat sebagian individu ragu untuk berkarir sebagai atlet. Memilih jalan menjadi atlet saja sudah dihadapkan dengan opportunity cost yang begitu besar akibat banyaknya waktu yang pasti akan tersita oleh latihan. Belum juga ditambah risiko cedera yang menghantui para atlet. Pekerjaan atlet pun bisa dibilang seasonal karena terbatas oleh umur dan tanpa jaminan finansial apa pun setelah era produktif atlet berakhir. Faktanya, berdasarkan survei Litbang Kompas, 53,5 persen dari total atlet tidak sejahtera secara keuangan. Hal ini berkaitan dengan hanya dihargainya atlet setelah menang kejuaraan internasional, padahal untuk berproses dari awal memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak ada habisnya batu sandungan bagi para atlet Indonesia.

Berkaitan dengan banyaknya risiko, tidak sedikit pula atlet Indonesia yang memiliki mitigasi risiko yang baik. Greysia Polii, atlet badminton Indonesia, menjadi salah satu contohnya dengan menjalani bisnis sepatu di samping profesi sebagai atlet. Manajemen keuangan yang baik merupakan kunci bagi para atlet untuk menyambung hidup. Tentu akan lebih baik bila seorang atlet memiliki pendapatan cadangan untuk mengimbangi banyaknya halangan dana. 

Susah-susah membela negeri di ajang olahraga, apakah tidak mungkin kalau diberi imbalan setara? Bukankah dengan high risk, sudah seharusnya mereka mendapatkan high return juga? Menjadi atlet memerlukan latihan serius yang berkelanjutan, pengorbanan waktu dan tenaga, serta banyak risiko besar. Sudah saatnya beban di pundak para atlet Indonesia diringankan, pemerintah Indonesia. Mari hargai tetes peluh atlet kita!

Referensi

Aldima, Tri Yuni. 2022. Kisah Sutjiati Narendra, atlet senam berprestasi yang mau ikut Sea Games tapi tak didanai pemerintah. Diakses pada 8 Agustus https://www.hops.id/hot/pr-2943210247/kisah-sutjiati-narendra-atlet-senam-berprestasi-yang-mau-ikut-sea-games-tapi-tak-didanai-pemerintah?page=2

Merdeka. 2022. NasDem Kritik Kemenpora Tak Berangkatkan Sutjiati Dkk ke SEA Games 2021. Diakses pada 8 Agustus https://www.merdeka.com/peristiwa/nasdem-kritik-kemenpora-tak-berangkatkan-sutjiati-dkk-ke-sea-games-2021.html

Jazuli, Muhammad Rosyid. 2019. Inilah Beberapa Faktor Sebab Prestasi Olahraga di Indonesia Kurang Maksimal. Diakses pada 8 Agustus https://policy.paramadina.ac.id/inilah-beberapa-faktor-sebab-prestasi-olahraga-di-indonesia-kurang-maksimal/

Zuhad, Ahmad. 2021. Selain Verawaty Fajrin, 7 Mantan Atlet Berprestasi Ini Juga Bernasib Nelangsa. Diakses pada 8 Agustus https://www.kompas.tv/article/214078/selain-verawaty-fajrin-7-mantan-atlet-berprestasi-ini-juga-bernasib-nelangsa

Pengunjung :
313

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin