WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

 Gen Z: Mengutamakan Kebahagiaan daripada Karier – Peluang dan Tantangan di Dunia Kerja 

Penulis: Nawfal Aulia Luthfurrahman & Dahayu Anindhita

Editor: Rifaldi Pratama S.

Di era modern, tren di kalangan Gen Z yang lebih memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup ketimbang mengejar karier atau jabatan tinggi menarik perhatian publik. Tidak seperti generasi sebelumnya, yang menganggap sukses sebagai pencapaian karier tertinggi, banyak Gen Z memilih berhenti bekerja jika lingkungan kerja tidak mendukung kesehatan mental mereka. Menurut laporan McKinsey, sekitar tiga perempat Gen Z menganggap ketersediaan sumber daya kesehatan mental sebagai faktor penting dalam memilih tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi juga lingkungan yang mendukung kesejahteraan secara menyeluruh.

Meskipun pendekatan ini semakin diterima, Gen Z sering mendapat stigma negatif karena dianggap kurang berkomitmen dan terlalu idealis. Survei Kompas.com menemukan bahwa 65 persen manajer perekrutan menilai Gen Z sebagai generasi yang “merasa berhak,” dan 55 persen menyebut mereka “kurang memiliki etos kerja.” Padahal, mereka hanya mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kualitas hidup yang lebih baik. Perspektif ini mencerminkan pendekatan yang lebih manusiawi terhadap dunia kerja.

Keputusan Gen Z untuk memprioritaskan kesehatan mental didorong oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya isu ini. Mereka tumbuh di era yang lebih terbuka membahas kesehatan mental, memahami risiko gangguan akibat tekanan pekerjaan, dan memiliki preferensi kuat terhadap keseimbangan kerja-hidup. Bagi mereka, pekerjaan tidak hanya sekadar sumber penghasilan, tetapi juga ruang untuk mendukung kebahagiaan dan kualitas hidup.

Selain itu, Gen Z cenderung memilih pekerjaan yang sejalan dengan nilai pribadi dan memberikan kepuasan lebih dari sekadar aspek finansial. Hafizat, salah satu Gen Z, menjelaskan bahwa mereka mengutamakan tempat kerja dengan fleksibilitas waktu, keseimbangan hidup, dan nilai etis yang tinggi. Meski mengedepankan kesehatan mental, Gen Z tetap memiliki motivasi kuat untuk berkontribusi secara produktif, dengan harapan lingkungan kerja mendukung pertumbuhan tanpa mengorbankan kebahagiaan pribadi.

Gen Z juga proaktif menyuarakan pendapat mereka terkait kondisi kerja, khususnya soal kesehatan mental. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka mendukung kampanye untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat sekaligus mengkritik praktik-praktik yang merugikan kesejahteraan karyawan. Menurut Ibu Elok Santi Jesica, Dosen Departemen Sosiologi UGM, “Terdapat banyak opsi teknologi komunikasi yang memudahkan Gen Z dalam menyampaikan pendapatnya, seperti platform media sosial. Platform tersebut juga memudahkan mereka dalam menjangkau lebih banyak orang hanya dalam satu genggaman.” Hal ini memungkinkan Gen Z untuk menyampaikan aspirasi serta membangun jaringan dukungan secara luas dan menciptakan diskusi publik yang memengaruhi kebijakan perusahaan.

Preferensi Gen Z terhadap keseimbangan kerja-hidup dan fleksibilitas kerja tercermin dari contoh pilihan mereka terhadap pekerjaan seperti remote work atau content creator. Hafizat menekankan bahwa fleksibilitas membantu menghemat energi yang sering terbuang selama perjalanan di kota besar. Namun, pekerjaan fleksibel ini juga menghadirkan risiko, seperti batas waktu kerja yang kabur, sehingga keseimbangan hidup tetap menjadi tantangan.

Gen Z juga menunjukkan ketertarikan pada pekerjaan dengan tanggung jawab sosial, seperti yang mendukung keberlanjutan, etika, dan lingkungan. Penelitian Nguyen (2023) mencatat bahwa Gen Z cenderung memilih perusahaan dengan nilai etis yang kuat dan atmosfer kerja positif. Pemikiran ini mendorong minat mereka untuk bekerja di NGO, NPO, atau perusahaan yang peduli pada isu sosial.

Meski demikian, pendekatan progresif Gen Z terhadap pekerjaan sering menimbulkan stereotip negatif. Mereka dianggap kurang tahan terhadap tekanan atau komitmen jangka panjang karena lebih mengutamakan keseimbangan hidup. Sikap vokal mereka di media sosial juga kerap dianggap berlebihan oleh generasi sebelumnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengapa, karena menurut Ibu Elok Santi Jesica,  “Suatu praktik sosial selalu memiliki konsekuensi. Misalnya gagasan mengenai keseimbangan kerja-hidup bisa dianggap sebagai sikap yang tidak loyal dalam lingkungan kerja yang konservatif. Namun, sebagian Gen Z memang menghadapi risiko prekariatisasi kerja yang semakin tinggi di masa depan, misalnya dengan batasan waktu kerja yang semakin kabur dan durasi kerja yang menjadi semakin panjang. Menurut saya, Gen Z sedang menyuarakan hal yang penting untuk generasinya. Gagasan keseimbangan kerja-hidup dan kesehatan mental merupakan upaya Gen Z untuk menghadapi tantangan dunia kerja di masa depan.”

Pada intinya, prioritas Gen Z terhadap kesehatan mental dalam pekerjaan adalah wujud kesadaran baru akan pentingnya keseimbangan hidup dalam lingkungan kerja yang sehat. Mereka bukan generasi yang enggan bekerja keras, melainkan generasi yang memiliki dorongan kuat untuk berkontribusi dan berkembang. Bagi Gen Z, pekerjaan yang ideal tidak hanya soal mendapatkan penghasilan, tetapi juga tempat untuk bertumbuh secara emosional dan sosial, tanpa perlu mengorbankan kesejahteraan mereka. Dengan pendekatan ini, mereka membawa paradigma baru ke dunia kerja, menantang perusahaan untuk membangun lingkungan yang lebih humanis dan responsif terhadap kebutuhan mendasar setiap karyawan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin