Membalik Arus Balik
Oleh: Muhammad Naufal Fauzan / Ilmu Ekonomi 2020
Kiranya anak muda Indonesia saat ini dilimpahi rahmat Tuhan yang tak terkira sehingga dapat membaca karya-karya monumental Pramoedya Ananta Toer tanpa harus berpetak umpet dengan tentara. Kiranya anak muda Indonesia saat ini akan kufur betul bila menyia-nyiakan nikmat yang tak terkira ini.
Salah satu pesan besar dari Pramoedya adalah perlunya setiap orang mengenal dari mana ia lahir dan tumbuh. Tidak ada alasan untuk setiap orang tidak mengenal apa yang menjadi bagian bangsanya sendiri. Agar nantinya, ia dapat tumbuh menjadi bagian masyarakat yang peduli dan berjuang untuk kebaikan saudara sebangsanya. Bukan peduli dan berjuang untuk dirinya sendiri.
Petuah tadi bukan hanya bualan bagi Pramoedya. Sepanjang hidupnya ia selalu berusaha mengenal dan mengenalkan bangsanya, bangsa Indonesia. Salah satu cara mengenal paling manjur adalah dengan menyelami sejarah. Melalui buah pikir Pramoedya, ia menciptakan novel sejarah yang sedap dibaca dan menyegarkan khazanah pengetahuan.
Sudah banyak yang membicarakan Pramoedya dengan tetralogi Bumi Manusia yang bersandar pada sejarah gerakan awal kebangkitan kebangsaan Indonesia. Namun, ada satu novel sejarah Pramoedya yang tak boleh dilupakan sehingga menjadi penting untuk dimunculkan dalam percakapan. Arus Balik adalah novel yang dimaksud.
Arus Balik merupakan sebuah epos pasca-kejayaan Nusantara yang berusaha membawa kita berkaca bahwa kita adalah bangsa yang pernah jaya di lautan. Bangsa, budaya, dan citra kita pernah mengalir begitu derasnya dari selatan ke utara. Kapal-kapal dan cetbang Majapahit yang agung menorehkan cerita kebesaran suatu bangsa kepulauan di selatan bumi yang tak ada duanya.
Namun, kejayaan itu menemui titik akhirnya ketika perpecahan mulai melanda. Tak ada lagi kerajaan besar yang mempersatukan kepulauan Nusantara. Yang tersisa adalah kerajaan-kerajaan kerdil yang tak ada kemampuan dan keinginan untuk berjaya. Raja-rajanya tidur nyenyak dan kepuasan tak lagi didapat dengan keagungan, melainkan diisi oleh nafsu pribadi yang membuncah.
Arus tak lagi mengalir dari selatan. Zaman menghukumnya dengan arus deras dari utara–Eropa–yang tak akan mungkin mampu dibendung. Lautan Nusantara tak lagi menjadi urat nadi kehidupan bagi bangsanya. Lautan lantas menjadi milik bangsa asing yang tak pernah dikenal sebelumnya, bangsa Portugis. Portugis dengan mudah dapat menguasai Malaka dan Maluku yang saat itu adalah bandar dan sumber rempah terpenting di kepulauan Nusantara. Gejolak hebat transisi Hindu ke Islam di Pulau Jawa semakin mempersulit para pembesar untuk bersatu melawan penjajah.
Cerita difokuskan pada Wiranggaleng, seorang pemuda desa dari Kerajaan Tuban yang merupakan serpihan terakhir Majapahit. Melalui guru-gurunya, ia merenungi kemunduran bangsanya dan memiliki cita mulia untuk memulihkannya. Namun sayang, zaman tidak berpihak kepadanya. Pernah ia berkata, “Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan.”
“Semasa jaya Gajah Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita dan citranya–bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi.”
Melalui penerbit yang menggebrak kesusastraan Indonesia di masa represif orde baru, Hasta Mitra menerbitkan novel monumental Arus Balik pada tahun 1995. Dalam pengantarnya, Joesoef Isak selaku pendiri Hasta Mitra kembali mengingatkan bahwa melalui novel ini, Pramoedya tidaklah ingin menangisi kejayaan masa lalu ataupun merindukannya. Pramoedya hanya ingin mengatakan referensi terbaik untuk membangun masa depan yang lebih baik adalah dengan bercermin pada sejarah.
Jadi jika hingga saat ini bangsa kita tidak dilingkupi kejayaan, kiranya perlu kita berkontemplasi dalam-dalam. Pertama, Angkatan Laut kita dianaktirikan selama puluhan tahun oleh rezim orde baru yang menganakemaskan Angkatan Darat. Kedua, Menteri kelautan kita belum lama ini menjadikan laut sebagai ladang korupsi benur. Ketiga, rakyat semakin terpolarisasi oleh jahatnya politik identitas. Hasil perenungan hari ini saja menemukan tiga fakta yang akan membuat bangsa Indonesia terkungkung dan terdesak kemunduran seperti yang diceritakan Pramoedya dalam Arus Balik.
Membaca Arus Balik pun menjadi mendesak untuk kembali mengingatkan kita terhadap sebab-sebab keruntuhan dan kejayaan. Kita runtuh karena perpecahan. Perpecahan yang diakibatkan oleh identitas, nafsu pribadi, dan kebutaan sejarah. Kita jaya sebagai bangsa berbudaya maritim. Budaya maritim yang menurut Radhar Panca Dahana lekat dengan kebebasan, kesetaraan, toleransi-akseptasi, persaudaraan, kosmopolitan, interkultural dan multikultural. Dengan kembali menjadi bangsa yang berbudaya maritim, kiranya kita akan mampu membalik arus balik itu.
Populer
-
Empower Every Step : Wujudkan Talenta dan Tebarkan Kepedulian Melalui Menefest 2024
-
Harga Selangit Demi Brand Elit, Hanya Karena Gengsi?
-
FSDE Seminar 2021: Inklusi Keuangan sebagai Solusi Pemulihan Ekonomi Pascapandemi
-
Majalah Equilibrium XXV - Jalan Terjal Pembangunan Ketenagakerjaan di Indonesia
-
Sihir Si Fulan