Oleh: Doni Dzaki/EQ
Ilustrasi Oleh: Haris Nur Rahmawati/EQ
Di balik tren mendengarkan musik sebagai obat stres atau depresi, satu sisi yang jarang dibahas adalah potensi musik dalam memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental seseorang. Lalu, bagaimana seharusnya menyikapi hal tersebut?
Belakangan ini, mendengarkan musik sebagai upaya menyembuhkan stres atau depresi menjadi sebuah tren di kalangan remaja dan dewasa muda. Lagu-lagu dengan lirik yang mengekspresikan kesedihan atau bahkan depresi sedang naik daun dan memiliki banyak pendengar. Di Indonesia misalnya, Kunto Aji dengan lagu “Pilu Membiru”-nya dan Nadin Amizah dengan single “Sorai” dianggap merepresentasikan lagu yang mampu meredakan depresi. Di level internasional, Billie Eilish dengan lirik lagunya yang depresif menjadi salah satu penyanyi terpopuler saat ini. Di platform Youtube, kolom komentar video klip lagu dibanjiri ucapan terima kasih dari pendengar kepada sang pemilik lagu karena telah membantu meredakan stres ataupun depresi mereka.
Selama ini, mendengarkan musik diklaim oleh banyak peneliti mampu memberikan efek positif bagi keadaan mental seseorang, terutama bagi yang merasa atau memang memiliki mental illness. Selain sebagai pereda stres dan depresi, musik juga dianggap sebagai media untuk mengekspresikan diri dan perasaan. Tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa musik mampu membantu proses self-healing atau penyembuhan luka batin akibat peristiwa masa lalu mereka.
Satu hal yang jarang dibahas adalah potensi dampak negatif mendengarkan musik bagi kesehatan mental. Faktanya, selain memberikan efek positif, ternyata musik juga berpotensi memperburuk keadaan mental pendengarnya. Berdasarkan riset yang dilakukan Dr. Brian Primack, seorang asisten profesor di University of Pittsburgh School of Medicine, remaja yang sering mendengarkan musik justru memiliki kemungkinan delapan kali lebih tinggi mengalami depresi jika dibandingkan dengan yang jarang mendengarkan musik.
Musik berpotensi mengambil alih perasaan seseorang. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa musik bisa memengaruhi suasana hati pendengarnya. Ketika memutar lagu yang bernada semangat, pendengarnya akan ikut bersemangat, pun sebaliknya jika yang didengarkan adalah lagu yang sedih atau depresif. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan bahwa musik dapat mengombang-ambingkan perasaan seseorang. Alih-alih mencurahkan perasaan dengan mendengarkan musik, justru mood atau suasana hati yang berubah mengikuti jenis musik yang sedang diputar.
Potensi negatif lain dari mendengarkan musik adalah glorifikasi perasaan sehingga menciptakan interpretasi berlebihan atas peristiwa yang dialami. Ketika mengalami kegagalan misalnya, dengan memutar musik yang depresif, seseorang akan merasa bahwa kegagalan yang dihadapi adalah hal terburuk yang menimpanya hingga berkesimpulan bahwa hidupnya adalah kegagalan. Demikian juga dengan mereka yang mengalami patah hati lalu mendengarkan lagu-lagu melankolis yang justru membuat perasaan semakin sedih dan merasa bahwa patah hati tersebut adalah akhir dari kehidupannya.
Padahal, menurut Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras, emosi yang menyebabkan stres dan depresi merupakan hasil dari peristiwa (fakta objektif) yang diberi interpretasi oleh diri sendiri. Jika interpretasi berlebihan yang negatif atas suatu peristiwa dilakukan terus-menerus, kondisi tersebut dapat memicu stres atau bahkan depresi. Selain itu, interpretasi berlebihan ini juga bisa memicu seseorang melakukan self-diagnose atas stres atau depresi yang dirasakannya. Diagnosis pribadi ini sangat berisiko karena tingkat keakuratannya sangat rendah, terlebih lagi jika tidak memiliki kompetensi di bidang psikologi.
Hingga kini, pendapat mengenai dampak musik terhadap kesehatan mental masih terbagi dua. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa musik berperan positif terhadap keadaan mental seseorang, tetapi tidak sedikit juga yang menyatakan sebaliknya. Meskipun demikian, satu hal yang harus diwaspadai adalah merasa sembuh setelah mendengarkan musik. Hal tersebut tentu dapat berbahaya bagi orang yang sedang depresi karena musik bukanlah obat yang sebenar-benarnya dari mental illness. Dalam menyikapi musik kaitannya sebagai obat gangguan mental, diperlukan kehati-hatian dari individu agar gangguan mental yang dialami tidak salah penanganan. Menganggap musik sebagai obat stres atau depresi rasanya kurang tepat dan justru berisiko memperburuk keadaan mengingat pendapat ahli yang masih terpecah menjadi dua kubu. Daripada melakukan perjudian untuk masalah kesehatan mental, akan menjadi jauh lebih bijak jika mencari obat untuk menyembuhkan mental illness dengan mendatangi pihak yang tepat, seperti psikolog atau psikiater. Dengan demikian, penderita gangguan mental akan terhindar dari self-diagnose yang tidak akurat dan upaya penyembuhan mandiri yang justru dapat memperburuk keadaan mereka.