WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Gaming Disorder dalam Perubahan Perilaku Remaja

Oleh: Alif Fazel Faruk Leqa

Editor: Muhammad Azka Rifai

Layouter: Angger Robi Maulana

Jumlah Gamer di Indonesia

Indonesia memiliki jumlah gamer yang cukup besar dan terus berkembang, dan secara konsisten berada di peringkat pertama sebagai penyumbang gamer di Asia Tenggara. Berdasarkan survei yang dilakukan Niko Partners pada tahun 2021, jumlah gamer di Indonesia berkisar pada 180 juta yang berarti 64,5% penduduk Indonesia merupakan pemain game aktif. Indonesia sendiri, menurut laporan Global Market Report tahun 2021 merupakan pasar game dunia dengan urutan ke-17 secara global dan masih berkembang pesat. Sementara itu, di Asia Tenggara sendiri, jumlah gamer di Asia Tenggara diperkirakan mencapai angka 271 juta. Dengan rincian game mobile mendominasi dengan angka lebih dari 60% dan diperkirakan akan mengalami pertumbuhan 8% hingga sekitar 5 tahun.

Perkiraan Pertumbuhan Pemain Game di Indonesia

Sumber: Global Market Report 2021

Persebaran Platform Game

Sumber: Global Market Report 2021

Ada beberapa faktor yang menyebabkan populasi gamer di Indonesia cukup besar dan bertumbuh pesat. Pertama, akses internet yang semakin mudah dan murah, terutama dengan munculnya paket data internet seluler yang terjangkau, telah membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk bermain game online. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2024, di Indonesia pengguna internet terbanyak berasal dari strata ekonomi sosial bagian bawah dengan persentase 79,5%. Selain itu, menurut survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, sebanyak 67,29% telah memiliki smartphone. Peningkatan kepemilikan smartphone juga mendukung pertumbuhan game mobile, karena smartphone menjadi perangkat yang ideal untuk bermain game di mana saja dan kapan saja.

Persentase Kepemilikan Smartphone di Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2023

Perkembangan teknologi game yang semakin canggih, dengan grafis yang lebih realistis dan gameplay yang lebih menarik, membuat game menjadi lebih imersif dan menyenangkan untuk dimainkan. Munculnya berbagai genre game baru, seperti game battle royale, MOBA, dan game esports, menarik minat gamer dari berbagai kalangan. Dibandingkan dengan konsol game tradisional, game mobile umumnya lebih murah dan mudah diakses. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk mencoba bermain game tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.Indonesia memiliki komunitas gamer yang besar dan aktif, baik online maupun offline. Komunitas ini menyediakan platform bagi para gamer untuk saling bertemu, bertukar informasi, dan bersaing dalam permainan. Tumbuhnya komunitas esports di Indonesia juga menjadi salah satu faktor pertumbuhan industry game di Indonesia. Menurut laporan Asosiasi Esports Indonesia, industri esports di Indonesia menghasilkan pendapatan lebih dari $100 juta pada tahun 2020 dan diproyeksikan mencapai $1,5 miliar pada tahun 2025.

Pemerintah Indonesia mulai menunjukkan dukungannya terhadap industri game dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri ini. Salah satu contohnya adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri No 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik.

Bermain game tentu memiliki beberapa dampaknya sendiri, entah itu dampak positif maupun dampak negatif. Menurut studi dari Perspective on Psychological Science (2019) bahwa bermain game kooperatif atau game yang memiliki Non Playable Character (NPC) dapat meningkatkan interaksi positif yang dapat meningkatkan kenyamanan dan kebahagiaan. Selain itu, sebuah studi survey online menunjukkan bahwa seseorang yang bermain game MMORPG dapat mengurangi level depresi, stress, dan anxiety (Longman, Connor, & Obst, 2009). Meski game yang memiliki unsur interaksi sosial terbukti dalam membantu meningkatkan Tingkat psikologikal manusia, bermain game dengan genre tersebut juga mampu memberi pengaruh positif pada perilaku prososial yang dapat diidentifikasi sebagai kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Harrington & O’Connel pada tahun 2016 yang melibatkan anak sekolah menyimpulkan bahwa game dengan genre MMORPG meningkatkan kemampuan bersosialisasi dan mempertahankan hubungan positif dengan orang disekitar. Sementara itu, bermain game kompetitif diketahui dapat meningkatkan kemampuan kerja sama.

Namun, bermain game juga memiliki dampak yang negatif yang tentu bisa menjadi masalah yang serius. Tiga studi menyebutkan bahwa waktu bermain yang meningkat menyebabkan kualitas hubungan interpersonal menurun (Chappell et al. 2006; Lo et al. 2005; Kim et al. 2008). Selain itu, bermain game juga dapat meningkatkan agresivitas seseorang. Meski begitu, beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Eastin dan Griffith pada tahun 2006 menunjukkan bahwa perilaku ini tidak terjadi pada semua pemain.

Perkembangan kasus Gaming Disorder di kalangan remaja

Gaming Disorder atau biasa disebut dengan kecanduan game didefinisikan oleh World Health Organization(WHO) sebagai pola bermain game yang sulit dikendalikan, memprioritaskan kesenangan dalam bermain game dan mengesampingkan kewajiban dalam hidupnya. WHO juga menyebutkan bahwa salah satu tanda dari seseorang yang telah terkena Gaming Disorder adalah orang tersebut tidak mampu dan akan merasa tidak termotivasi jika tidak menyempatkan untuk bermain game.

Menurut DSM-V atau yang disebut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder yang dirilis oleh American Psychiatric Association tahun 2013, apabila terdapat sembilan kriteria adiksi games (gaming disorder) yaitu mengalami preokupasi dan obsesi terhadap game, menarik diri dari lingkungan sosialnya, mengalami masalah toleransi, kehilangan kendali, kehilangan minat, penggunaan game yang berlebihan dan terus menerus, melakukan penipuan, melarikan diri dari perasaan negative, dan mengalami gangguan fungsional.

Penelitian terbaru dari Gurusinga (2021), remaja Indonesia yang mengalami kecanduan game online terdiri dari 77,5% atau 887.003 remaja putra dan 22,5% atau 241.949 remaja putri. Fenomena Gaming Disorder ini menyebabkan berubahnya perilaku keseharian remaja. Sementara itu, diagnosa atas perilaku individu yang mengalami Gaming Disorder cenderung memburuk seiring berjalannya waktu juga akan mengganggu aktivitas keseharian lainnya. Aktivitas yang terganggu misalnya adalah aktivitas akademik, aktivitas sosial, aktivitas fisik, bahkan juga waktu bersama keluarga yang berkurang drastis.

Perbandingan Penderita Gaming Disorder

Sumber: Gurusinga tahun 2021

Perubahan Perilaku Remaja dalam Proses Sosialisasi disebabkan oleh Gaming Disorder

Proses sosialisasi sangat berpengaruh pada bagaimana manusia berperilaku. Menurut George Herbert Mead, proses ini berlangsung sepanjang hidup manusia, namun terdapat beberapa tahap lima tahap utama yaitu Tahap Persiapan (Preparatory Stage), Tahap Bermain (Play Stage), Tahap Peran (Game Stage), Tahap Penerimaan Norma (Acceptance Stage), dan Tahap Generalisasi (Generalization Stage).

Pada tahap Peran dan tahap Penerimaan Norma, manusia berada dalam tahapan dimana mereka sedang mulai memahami dan menerima peran serta norma sosial dan mereka mendapatkan pengaruh banyak dari lingkungan ataupun orang-orang disekitar mereka sehingga sangat mudah untuk berubah dalam hal berperilaku.

Beberapa studi menjelaskan bahwa remaja yang terkena Gaming Disorder mengalami beberapa perubahan pada perilaku mereka. Sebuah studi dari Children and Youth Service Review (2021) menemukan bahwa bermain video games memiliki korelasi yang kuat dengan meningkatnya agresivitas pada remaja. Pada studi yang sama juga dijelaskan bahwa semakin lama waktu bermain juga berpengaruh pada meningkatnya agresi pada remaja.

Lalu, remaja menjadi sering melakukan SARA dan Cyberbullying. Hal ini terjadi seringkali pada game kompetitif dimana ketika seorang pemain melakukan trashtalk umumnya mengandung unsur SARA, bahkan terkadang sampai melakukan bullying terhadap sesama pemain(Lauren & Faye, 2017). Bullying tidak hanya terjadi secara online, namun bermain game juga meningkatkan adanya bullying pada remaja di kehidupan sosialnya.

Ada dua penelitian yang menyelidiki hubungan antara kepribadian dan kecanduan video game, diukur dengan jumlah jam bermain mingguan. Penelitian pertama (Kim et al., 2008) menunjukkan orang yang kecanduan video game cenderung memiliki skor tinggi pada ciri kepribadian narsis. Penelitian kedua (Peters & Malesky, 2008) menemukan orang dengan kecanduan game online memiliki skor tinggi pada neurotisisme (mudah cemas dan murung) dan skor rendah pada keramahan, ekstroversi, dan kesadaran.

Policies yang Sudah Dilakukan oleh Developer dan Negara untuk Mengantisipasi Dampak

Industri game saat ini diwarnai dengan kekhawatiran akan dampak negatif dari Gaming Disorder. Untuk mengatasinya, beberapa developer game seperti Moonton, Garena, dan Tencent telah mengambil langkah-langkah proaktif. Moonton, developer game Mobile Legends: Bang Bang, memberlakukan sanksi tegas bagi pemain toksik, seperti peringatan, pengurangan kredit skor, hingga ban akun permanen. Mereka juga memberikan pengingat lama waktu bermain jika sudah melebihi 2 jam untuk mencegah kecanduan. Tencent, developer game PUBG Mobile, melakukan ban akun jika pemain mendapatkan laporan atas perlakuan tidak menyenangkan. Garena, developer game Free Fire, mengingatkan pemainnya untuk tidak meninggalkan aktivitas hidup hanya untuk bermain game melalui sebuah post di akun instagram Free Fire. Mereka juga melakukan ban akun jika pemain mendapatkan laporan atas perlakuan tidak menyenangkan. Developer lain seperti Riot Games (League of Legends) dan Valve (Dota 2) memberikan hukuman seperti akun yang ditahan sementara, akses akun yang dilimitasi, hingga akun yang diberhentikan atau dihapus secara permanen.

Alasan lain kenapa developer game memiliki urgensi dalam melakukan pencegahan ini secara user rights. Pertama, untuk melindungi hak pengguna, dimana Setiap pemain game berhak untuk menikmati pengalaman bermain yang aman dan menyenangkan. Komunitas toxic dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak nyaman bagi pemain lain, terutama bagi pemain yang rentan seperti perempuan, minoritas, dan pemain baru.

Kemudian, Developer ingin meningkatkan mutu game, berkaitan dengan poin kedua dimana Developer game ingin game mereka sukses dan dimainkan oleh banyak orang. Selain itu, Game yang memiliki komunitas yang positif dan ramah akan terlihat lebih menarik bagi para pemain baru. Developer game yang mampu menciptakan komunitas yang positif dapat meningkatkan nilai game mereka. Dengan adanya peningkatan mutu game, besar kemungkinan pemain tidak akan meninggalkan game yang telah dimainkan, Developer game tentu ingin mempertahankan pemain mereka dan mendorong mereka untuk terus bermain game mereka. Mencegah komunitas toxic dapat membantu mencapai tujuan ini.

Meningkatkan Kesehatan mental pemain, Developer game ingin pemain mereka merasa aman dan nyaman saat bermain game mereka. Beberapa developer game seperti Mojang telah menyelipkan pesan-pesan khusus demi membuat pemain mereka merasa nyaman saat bermain.

Mengikuti peraturan dari beberapa negara, beberapa negara memiliki peraturan yang ketat mengenai perilaku seseorang di media, entah itu secara online ataupun offline. Developer perlu melakukan hal ini untuk menjaga gamenya agar tetap hidup di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, di Indonesia sendiri terdapat peraturan seperti Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 27A UU No.11 Tahun 2008 No.19 Tahun 2016 No.1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Beberapa negara lain juga telah memberlakukan policies untuk mengurangi angka gaming disorder. Di Jerman, perhatian terhadap kecanduan media mulai muncul pada tahun 2006 dengan dibukanya Pusat Konseling Kecanduan Media Schwerin. Ini merupakan hasil kerjasama antara Bantuan Kecanduan Evangelikal Mecklenburg-Vorpommern dan pusat medis Schwerin Helios. Tak lama kemudian, layanan serupa untuk mengatasi kecanduan game bermunculan di Mainz (2008) dan Bonn (2009). China juga memberikan regulasi atas kasus gaming disorder ini, China memang tidak melarang semua aktivitas game. Mereka justru berfokus pada pengendalian aspek tertentu. Hal ini dapat dilihat dari larangan konsol Sony PlayStation pada tahun 2000 sampai 2014 dan sistem saat ini (OGAAS) yang diberlakukan sejak 2007 dan dikelola oleh Kementerian Kebudayaan untuk mengatasi potensi kecanduan game.

Bermain Video Game itu Boros!

Video game dapat mempengaruhi pola dan perilaku konsumsi dari suatu individu. Hal ini dikarenakan video game merupakan bentuk media publikasi informasi digital. Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi berperan dalam transformasi perilaku konsumen (Jun et al., 2010; Toh et al., 2011). Dengan perkembangan teknologi pada saat ini, exposure dari jumlah informasi yang diperoleh setiap harinya bertambah secara konsekuen. Disterupsi perilaku konsumen bergantung pada timbal balik informasi teknologi terhadap perilaku konsumen dan big data merupakan kunci utama bagi bisnis untuk mengantarkan value yang lebih superior (Stylos et al., 2021; Herrmann et al., 2015).

Candu terhadap video game sangat erat dikaitkan dengan perilaku konsumtif dan boros. Namun, apakah itu benar? Berdasarkan hasil penelitian yang dilak ukan oleh Nelson et al. (2004), konsumen cenderung berimpresi positif terhadap in game advertisement dan mereka yang cenderung negatif terhadap hal tersebut memiliki kecenderungan ketidaksukaan pada iklan secara umum. Selain itu, dalam penelitian mereka juga menemukan bahwa pemain video game akan membeli brands yang mereka ketahui dari gameplay. Berdasarkan penelitian para ahli (Kim et al., 2008) pemain video game olahraga kebanyakan adalah fans atau penikmat dari olahraga itu sendiri. Pemain moderat dan berat dari video game olahraga tersebut cenderung melakukan aktivitas yang berkaitan dengan olahraga tersebut dan akan mengkonsumsikan waktu dan uang dalam melakukan kegiatan terkait. Misalnya, individu yang sering bermain EAFC 24 memiliki minat yang berat dalam sepak bola dan akan menghabiskan sebagian uangnya dalam aktivitas terkait, seperti membeli sepatu bola, perlengkapan olahraga, majalah, hingga video game yang identik.

Para gamers juga cenderung akan mengonsumsi virtual goods dalam video game. Berdasarkan definisi dari Hamari dan Keronen (2016), “Virtual goods atau barang virtual mengacu pada objek digital seperti pakaian avatar, senjata, furnitur virtual, mata uang, karakter, dan token yang umumnya hanya ada dalam lingkungan digital (seperti game atau dunia virtual) di mana barang tersebut dapat digunakan.” Pengguna yang sudah kecanduan bermain akan lebih banyak untuk menghabiskan uangnya untuk membeli virtual goods di game untuk memenuhi gengsi mereka. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Newzoo  Survey Institute pada tahun 2019, kurang lebih 94% pengguna video game telah membelanjakan uang mereka untuk produk in-game dan virtual goods. Jumlah pembelian yang dilakukan juga tidaklah sedikit. Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2020) menemukan bahwa terdapat seorang gamer yang telah menghabiskan lebih dari jutaan rupiah untuk membeli virtual goods dengan rincian menghabiskan sekitar 110-225 ribu secara berkala.

Kesimpulan

Jumlah gamer di Indonesia mencapai jumlah 180 juta, dengan remaja menjadi mayoritas dalam komunitas tersebut. Sementara itu, remaja berada pada fase tahapan sosial dimana mereka sedang mulai memahami norma-norma sosial yang membuat mereka mudah untuk dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Terdapat masalah yang muncul akibat hal ini, yaitu meningkatnya kasus Gaming Disorder pada remaja. Masalah ini menimbulkan perubahan pada perilaku keseharian remaja baik secara online maupun offline seperti remaja yang menjadi lebih agresif, terjadinya perilaku konsumtif, dan adanya perlakuan SARA dan bullying. Beberapa pencegahan sudah dilakukan oleh developer dari game untuk mengurangi dan mencegah meningkatnya Gaming Disorder ini melalui peraturan dalam game yang telah diperketat.

References

Hartanti, F.P. Dampak Buruk Kecanduan Game pada Anak Usia Remaja. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1359/dampak-buruk-kecanduan-game-pada-6anak-usia-remaja#:~:text=Akibatnya%2C%20remaja%20yang%20kecanduan%20game 

Fembi, N. (2022). Kecanduan Bermain Game Online Smartphone Dengan Kualitas Tidur Siswa-Siswi di SMPK Hewerbura Watublapi Kabupaten Sikka. https://doi.org/10.5281/zenodo.7124153

Hasanah, S. S. A., Hidayati, D. S., & Syakarofath, N. A. (2022). Kecenderungan Gaming Disorder dan Perilaku Konsumtif Pembelian Virtual Goods pada Pemain Online Game. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 8(1), 1. https://doi.org/10.22146/gamajop.56824

Amalia, E.I. (2023).Niko Partners: Pertumbuhan Industri Game Indonesia di 2023 Melambat. Hybrid. https://hybrid.co.id/post/niko-partners-pertumbuhan-industri-game-indonesia-di-2023-melambat#:~:text=Sementara%20itu%2C%20Niko%20Partners%20memperkirakan 

Dihni, V. A. (2022). Jumlah Gamers Indonesia Terbanyak Ketiga di Dunia | Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/16/jumlah-gamers-indonesia-terbanyak-ketiga-di-dunia#:~:text=Berdasarkan%20laporan%20We%20Are%20Social 

Gaming disorder. World Health Organization. (2023). https://www.who.int/standards/classifications/frequently-asked-questions/gaming-disorder#:~:text=Gaming%20disorder%20is%20defined%20in 

Yanqin, S., & Mengru, S. (2021). How peer influence mediates the effects of video games playing on adolescents’ aggressive behavior. Children and Youth Service Review, 130. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2021.106225

Riot Games (n.d.). Riot Games Terms and Service. Riotgames.com. https://www.riotgames.com/en/terms-of-service#:~:text=We%20grant%20you%20a%20limited,your%20compliance%20with%20these%20Terms.

Moonton (n.d.). Moonton Games Privacy Policy. M.Mobilelegends.com. https://m.mobilelegends.com/news/articleldetail?newsid=2690279

Halbrook, Y. J., O’Donnel, A. T., & Msetfi, R. M. (2019). When and How Video Games Can Be Good: A Review of the Positive Effects of Video Games on Well-Being. Perspectives on Psychological Science, 14(6), 899-1108. https://doi.org/10.1177/1745691619863807

Argast, C. G., Schipper, M., Shamsrizi, M., Stein, C., & Khalil, R. (2024). The light side of gaming: Creativity and brain plasticity. Frontiers in Human Neuroscience. https://doi.org/10.3389/fnhum.2023.1280989

Longman H., Connor E., Obst P. (2009). The effect of social support derived from World of Warcraft on negative psychological symptoms. CyberPsychology & Behavior, 12, 563–566.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (n.d.). Survei Internet APJII 2024. Survei APJII. https://survei.apjii.or.id/home

King, L., & Delfabbro, H. (2017). Prevention and Policy Related to Internet Gaming Disorder. Current Addiction Reports, 4, 284–292. https://doi.org/10.1007/s40429-017-0157-8

McInroy, B., & Mishna, F. (2017). Cyberbullying on Online Gaming Platforms for Children and Youth. Child and Adolescent Social Work Journal, 34, 597–607. https://doi.org/10.1007/s10560-017-0498-0

King, L., Delfabbro, H., Douh, Y., Wu, M. S., Kuss, J., Pallesen, S., Mentzoni, R., Carragher, N., & Sakuma, H. (2017). Policy and Prevention Approaches for Disordered and Hazardous Gaming and Internet Use: an International Perspective. Preventon Science, 19, 233–249. https://doi.org/10.1007/s11121-017-0813-1

Jun, S. H., Vogt, C. A., & MacKay, K. J. (2010). Online Information Search Strategies: A Focus On Flights and Accommodations. Journal of Travel & Tourism Marketing, 27(6), 579–595. https://doi.org/10.1080/10548408.2010.507151

Toh, R. S., DeKay, C. F., & Raven, P. (2011). Travel Planning: Searching for and Booking Hotels on the Internet. Cornell Hospitality Quarterly, 52(4), 388-398. https://doi.org/10.1177/1938965511418779 

Stylos, N., Zwiegelaar, J., & Buhalis, D. (2021). Big data empowered agility for dynamic, volatile, and time-sensitive service industries: The case of tourism sector. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 33(3), 1015–1036. https://doi.org/10.1108/ijchm-07-2020-0644  

Herrmann, P. N., Kundisch, D. O., & Rahman, M. S. (2015). Beating irrationality: Does delegating to it alleviate the sunk cost effect? Management Science, 61(4), 831–850. https://doi.org/10.1287/mnsc.2014.1955 

Nelson, M. R., Keum, H., & Yaros, R. A. (2004). Advertainment or adcreep? game players’ attitudes toward advertising and product placements in computer games. Journal of Interactive Advertising, 4(3)

Kim, Y., Walsh, P., & Ross, S.D. (2008). An Examination of the Psychological and Consumptive Behaviors of Sport Video Gamers. Sport Marketing Quarterly, 17(1), 44-52.

J. Hamari and L. Keronen, “Why do People Buy Virtual Goods? A Literature Review,” 2016 49th Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS), Koloa, HI, USA, 2016, pp. 1358-1367, doi: 10.1109/HICSS.2016.171.

Newzoo. (2019). Newzoo Global Games Market Report 2019. Newzoo. https://newzoo.com/resources/trend-reports/newzoo-global-games-market-report-2019-light-version 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin