WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Dunia Lebih Dingin dari Sebelumnya

Penulis: Hilda Bhakti Fahrezi Editor: Aulia Valerie F./EQ Ilustrasi oleh: Nabila Romanova/EQ

Mimpi membawaku jalan-jalan keluar dari rumah bekas gudang penyimpanan garam—
pemberian rekan Ibu setelah kami diusir dari rumah dinas sepeninggal kepergian Bapak. Bau
tungku adalah maklum, atau bau tanah sehabis hujan—petrichor, orang-orang kaya
menyebutnya—adalah wujud yang aku maki karena serpihan cat dinding makin cerewet
merontokkan diri.


Mimpi membawaku jalan-jalan melampaui nominal upah bulanan Ibu. Lima ratus ribu
rupiah, delapan anak, dan bunyi tang-tung perabotan dapur yang mendesak ingin segera
dibuahi. Utang warung tidak lagi kenal dengan rupa gengsi, sebesar apa perawakan dari harga
diri. Injak saja, Ibu bilang. Besok anakku masih harus hidup, pergi sekolah, dan makan telur
dadar.


Mimpi membawaku jalan-jalan bertukar nomor dengan perusahaan maskapai. Pramugari
bagaimana? Boleh ya, Bu? Terbang adalah bentuk penyelamatan diri agar aku bisa pergi dari
kota yang menjadikan aku bukan siapa-siapa, menjadikan aku tidak akan pernah menjadi
siapa-siapa.


Mimpi membawaku jalan-jalan melupakan aku harus bangun pukul lima esok pagi. Ibu jatuh
sakit dan ada jarak yang harus aku rengkuh untuk mengurusnya di rumah sakit. Di-cit, disisir,
disuapi makanan lewat selang, dan dibacakan surat pendek Al-Qur’an agar Ibu tahu kalau
aku ada. Selalu ada.

Mimpi membawaku jalan-jalan meninggalkan setumpuk ketakutan di ujung lemari.
Berantakan dan aku tidak punya pemahaman bagaimana cara merapikannya satu persatu.
Lipatan terbesar dan terkusut adalah kebingungan membedakan mana imajinasi dan mana
rasa takut. Puluhan hari langkahku terhenti di depan gang rumah. Takut sekiranya ada
bendera kuning berkibar—takut sekiranya Ibu berkelana ke alam yang amat jauh tanpa kabar.
Mimpi membawaku jalan-jalan memperlihatkan apabila senang dan sedih punya kamarnya
masing-masing. Mereka dilayani, dibuatkan sarapan. Nasi kuning atau mau sereal dituang
susu dingin? Tidur harus pukul sembilan malam dan selimut diganti tiap akhir pekan. Gelisah
dan takut terkadang ikut menginap, ditawari maukah menetap di kamar kosong belakang.

Mimpi membawaku jalan-jalan, merayuku percaya bahwa dunia ini ramai. Ibu masih ada di
atas ranjang walaupun seluruh indranya mati— satu terkecuali indra pendengaran. Hidupku
(akan) hidup karena Ibu masih paham bagaimana cara menarik dan menghembuskan nafas,
walaupun ia melakukannya di bawah alam sadar. Ibu mungkin sedang bermimpi bertemu
Kakek dan Nenek di dunia yang ia sendiri sangat asing. Bermimpilah, Bu, kalau ternyata
dengan bermimpi—atau dengan mati rasa—Ibu bisa bertemu mereka. Bermimpilah karena
masa muda yang aku kurbankan atas namamu, lebih dari harga kambing dan sapi saat musim
Lebaran Haji, adalah kurban terbaik yang bisa aku bayar untuk latar dari tiap rasa kagummu
melihat dunia yang baru, yang sebelumnya belum pernah kamu lihat di kota mati ini.


Mimpi membawaku jalan-jalan mengintip kalau ternyata malaikat kematian adalah
kekasihmu. Kematian toh dapat memperlakukanmu dengan baik, lebih baik dari doa dan
ketakutanku yang sejujurnya tidak menghasilkan apa-apa. Hari ini kematian datang mengetuk
pintu kamar rumah sakit yang rasanya lebih seperti rumah daripada rumah kecil milik kita,
memandangmu penuh rasa cinta, mengecupmu, dan memelukmu menjauhi para rasa sakit
sialan itu.


Mimpi membawaku jalan-jalan, menarikku selayaknya hidup menarik sembuh dan terluka
keluar-masuk. Mereka berdua diberi jamuan dan ditawari tempat berteduh. Berita baik, Bu.
Mimpi menggerakkan aku yang lama tergeletak pasrah berdarah. Mimpi menghidupkan aku
yang ribuan malam dibiarkan mati. Janjian bagaimana? Kita bertemu di mimpi pukul sepuluh
malam ini. Karena, Bu, aku takut lupa bagaimana caranya bermimpi dengan tidak tahu diri.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin