Nama: Orie Priscylla Mapeda L. Editor: Aulia Valerie F./EQ Ilustrasi oleh: Nabila Romanova/EQ
Hembusan angin menemani kesendirianku di sore ini. Sudah dua jam aku duduk di
Lapangan Pancasila sembari memandangi langit yang perlahan berubah menjadi jingga.
Huruf C yang muncul di layar laptopku saat aku mensubmit quiz mingguan pada salah satu
mata kuliahku benar benar membuatku frustasi. Lagi dan lagi aku mendapatkan nilai quiz
yang tidak sesuai ekspektasiku, rasanya hasil ini menghianati usahaku untuk belajar hingga
matahari kembali menampakkan wajahnya. Terlebih saat aku melihat sekelilingku terus
berbangga atas nilai sempurna yang mereka dapatkan. Apa ini? Kenapa Tuhan
memasukkan aku di tempat ini? Apakah Tuhan membiarkan aku terus merasa rendah diri?
Langit telah berganti menjadi jingga, aku beranjak dari bangku tempatku duduk, lalu menuju
parkiran kampus untuk bergegas pulang. Aku membuka pintu kamarku dan
menghempaskan badanku ke atas kasur. Bisingnya pikiran melenyapkan semangatku
sepanjang hari. Aku membuka sosial mediaku dan benar saja, beranda instagramku hanya
menampilkan postingan pencapaian seseorang. Aku mematikan hpku dan melemparnya.
Kubuka jendela kamarku dengan lebar, lalu terdiam memandang langit malam. Pikiranku
hanya dipenuhi pertanyaan,
“Kapan sih, aku bisa seperti mereka?”
Aku melihat setiap pencapaian orang dari media sosial, membuatku termotivasi untuk
berkembang. Namun, lihatlah! Aku tidak pernah sampai di posisi itu, setiap usahaku hanya
membuahkan hasil yang sia-sia. Aku terdiam melamun, mempertanyakan kalimat yang
kerap kudengar bahwa, “Setiap orang punya waktu untuk mekar.” Lantas kapan waktuku
untuk mekar? Apakah aku hanya ditakdirkan untuk menjadi penikmat setiap pencapaian
orang? Rasa ngantukku seketika hilang ketika aku mengingat bahwa besok aku ada quiz
mingguan lagi. Aku memandangi jam yang sudah menunjukkan pukul 10.00. “Oke, saatnya
begadang lagi” Gumamku. Aku menutup jendela kamar dan beranjak menuju meja belajar.
Perlahan kubuka laptop, lalu mencari materi quiz besok.
Mataku mulai terasa berat–ini yang ketiga kalinya aku pergi ke toilet hanya untuk mencuci
muka. Sekilas kulihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, kepalaku seketika
pusing ketika mengingat besok kuliah dimulai pukul 7 pagi. Aku melihat materi quiz pada
silabus dosenku, masih banyak yang belum kupelajari sama sekali. Kuliah dari pagi hingga
sore benar-benar menguras energiku. Ditambah berbagai kegiatan nonakademik, aku hanya
punya waktu untuk belajar pada malam hari.
Suara alarm membangunkanku di pagi hari. Kepalaku benar-benar pusing, aku ketiduran
saat belajar. Aku terdiam sejenak melihat keluar jendelaku, langit tampak begitu terang.
Mataku membelalak ketika melihat jam telah menunjukkan pukul 06.55. Aku bergegas cuci
muka dan sikat gigi, lalu mengganti baju dan berlari menuju parkiran kosku. Meskipun laju
motor telah kupercepat, rasanya sia-sia karena aku justru terjebak dalam lampu merah
beberapa kali! Aku mengecek jamku, waktu telah menunjukkan pukul 07.05. Ah, 10 menit
lagi aku harus tiba di kelas.
Nafasku terengah-engah saat aku membuka pintu kelas. Seluruh mata memandangiku.
Bagaimana tidak, aku tiba di kelas tepat pukul 07.15. Sedikit lagi presensiku tidak terbaca,
dan aku hanya memiliki waktu 15 menit untuk menyelesaikan quizku. Segera kubuka laptop
dan menyelesaikan quizku dengan terburu-buru. Dengan pikiran yang tidak tenang, aku
berhasil menyelesaikan quizku 2 menit sebelum waktu berakhir, dan yah kembali lagi, nilai
B/C terpampang jelas pada layar laptopku. Aku menutup laptopku dan menyimpannya di
dalam tas. Energiku terkuras, aku benar-benar capek.
Sepanjang kelas, aku hanya terdiam melamun, tatapan dan pikiranku benar-benar kosong.
Kadang aku bertanya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Rasanya aku terus-terusan berlari
mengejar sesuatu, padahal aku sendiri tidak tahu apa yang kukejar. Aku selalu
mengusahakan yang terbaik dari diriku, tapi lihatlah, apa yang kulakukan semuanya gagal.
Rasanya apa yang kurencanakan berbanding terbalik dengan kenyataan. Meskipun telah
berusaha bangkit, entah mengapa aku sulit meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja.
Aku terus berkeras pada diriku, sampai aku lupa untuk menghargai diriku sendiri. Padahal
tidak ada orang yang dapat mengapresiasi diri kita jika bukan kita sendiri.
Jam telah menunjukkan pukul 09.30. Hari ini aku hanya memiliki satu kelas, yang berarti
aku bisa segera pulang. Aku beranjak menuju parkiran dan bergegas pulang. Hari ini aku
harus berlatih untuk penampilanku besok. Aku mengambil biola di dalam lemariku dan mulai
memainkan setiap alunan lagu–inilah caraku untuk melepaskan setiap rasa stresku, sambil
latihan untuk tampil di acara dies natalis fakultasku besok. Aku menghabiskan sehari ini untuk bermain biola, mengingat besok seluruh mahasiswa diliburkan.
Suara tepuk tangan menghidupkan seluruh sudut auditorium setelah gesekan terakhir pada
senar biolaku. Aku merasa puas bisa melampiaskan seluruh pikiranku pada 3 lagu yang
kubawakan secara berturut-turut. Kurapikan seluruh partiturku lalu beranjak keluar melalui
pintu belakang. Suara pujian dari teman-temanku menyambutku dengan hangat, mereka
menyodorkan buket bunga sebagai bentuk apresiasi dari penampilanku.
“Hey, kamu keren bangettt, bisa tampil di depan Dekan, Rektor!”
“Aku iri sama kamu bisa main musik.”
Entah kenapa aku sulit menerima setiap penghargaan orang akan setiap hal yang
kulakukan. Aku rasa aku tidak layak menerima hal itu, nilai quizku yang anjlok membuatku
merasa sebagai manusia paling sial di muka bumi ini.
“Aku gasuka deh dipuji keren.” Aku memandangi temanku yang sedari tadi di sebelahku.
“Kenapa?”
“Gapapa, quizku aja selalu jelek. Aku bodoh, kalau aku bisa dapat nilai baik baru aku mau
dipuji keren.” Dia memandangiku lama, lalu merangkulku.
“Kita gabisa maksa untuk berhasil di setiap tempat. Kamu bisa tampil tadi merupakan
sebuah pencapaian, loh! Tidak semua orang bisa dapat kesempatan itu. Ingat deh, kalau
kamu kagum lihat pencapaian orang, di luar sana banyak orang yang kagum sama
pencapaianmu.” Aku hanya bisa terdiam.
Sepulangnya aku dari auditorium, aku singgah di cafe sebelah kampusku untuk memesan
chicken katsu favoritku ditemani vanilla latte. Aku duduk di kursi putih di pojok ruangan,
tempatku selalu menghabiskan waktu selama menyusun partitur lagu untuk persiapan
tampil. Ah ya! Aku lupa memberi tahu kalian kalau menulis juga menjadi hobiku. Aku suka
menciptakan lagu-lagu baru dari setiap puisi yang kuciptakan. Perlahan suara alunan musik
mulai bergema ke seluruh penjuru ruangan melalui speaker. Aku mengenali lagu ini.
Selama ini
Kunanti
Yang kuberikan datang berbalik
Ah, aku mau berterima kasih buat barista yang memutarkan lagu ini. Lagu “Membasuh”
yang dinyanyikan oleh Hindia membuatku terlarut dalam setiap lirik. Aku membuka laptopku
lalu mulai mengerjakan partitur lagu. Alunan musik mulai memenuhi setiap sudut ruangan.
Telah kusadar
Hidup bukanlah perihal mengambil yang kau tebar
Aku terdiam, entah kenapa aku merasa ditampar oleh lirik lagu ini. Liriknya seperti
menyadarkanku akan sesuatu. Kadang kita terlalu berkeras pada diri sendiri untuk terus
sesuai dengan ekspektasi, menyalahkan diri kita untuk sesuatu dan melupakan bahwa diri
kita juga perlu istirahat sejenak. Kita lupa mengapresiasi diri sendiri, padahal diri kita juga
butuh diapresiasi. Rasanya, duniaku runtuh ketika gagal, dan aku terus menghukum diriku
untuk setiap kegagalan yang aku punya. Namun lihatlah, ketika aku berhasil, rasanya aku
sulit untuk mengapresiasi setiap pencapaian kecil dari diriku.
Benar juga, hidup bukan tentang mengejar–mencapai hal baru setiap harinya, tapi perihal
menghargai setiap proses yang dilewati. Perihal menjalani hidup dengan apa adanya,
membiarkan semua hal bekerja sesuai waktunya sendiri, menjalani dengan baik apa yang
kita terima hari ini, dan mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup. Kita terlalu menuntut untuk
sama seperti orang lain, tanpa kita sadari bahwa ternyata hal kecil di mata kita ternyata bisa
menjadi sebuah pencapaian hidup bagi orang lain. Kita hanya perlu menghargai setiap
pencapaian kecil dalam hidup ini.
Kadang kita terlalu berkeras pada diri sendiri untuk terus sesuai dengan ekspektasi,
menyalahkan diri kita untuk sesuatu, dan melupakan bahwa diri kita juga perlu istirahat
sejenak. Kita lupa mengapresiasi diri sendiri, padahal diri kita juga butuh diapresiasi.
Kita terlalu menuntut sempurna hingga kita lupa hidup ini adalah mahakarya terindah dari
Sang Penulis Skenario Terbaik.