WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Transisi TV Digital, Urgen atau Tidak?

Oleh: Devin N. Ramadhani dan Theodora Puty Andini/EQ
Editor: Ghozi Naufal Ali, Syifa Rahainah, Ratis Maharanidewi Cesarina, dan Yulia Dwi Kustari/EQ
Ilustrasi oleh: Ignatius Eric Liangto/EQ

Sewaktu kecil, mungkin sebagian dari kita sering keluar sambil memutarkan antena televisi (TV) dan berteriak “Sudah belum, ya?” demi mendapatkan sinyal yang bagus. Namun, hal tersebut tidak akan kita lihat dan alami lagi. Ya, sejak Rabu, 2 November 2022 lalu, pemerintah telah resmi melakukan penghentian terhadap TV analog atau yang juga dikenal dengan istilah analog switch off (ASO). Meskipun rencana perpindahan TV analog ke TV digital ini sudah direncanakan pemerintah sejak tahun 2008, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai hal ini pada pelaksanaan ASO kemarin. Padahal sudah seharusnya informasi ini diketahui semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat, sehingga proses transisi nantinya dapat dilakukan secara merata. Per 7 November 2022, sudah terdapat 230 kabupaten dan kota yang melakukan transisi ini (Mardiansyah, 2022). 

Perpindahan TV analog ke TV digital membawa berbagai dampak keuntungan. Salah satunya adalah kebutuhan spektrum yang lebih kecil untuk aplikasi TV digital, sehingga memberikan ruang kosong baru di spektrum frekuensi (digital dividend) (Alaydrus, 2009). Selain itu, TV digital juga memberikan suara yang jernih, kualitas gambar yang lebih bagus, hingga adanya banyak kanal untuk menyiarkan program TV (Mubarok & Adnjani, 2020). Berbagai keuntungan yang ditawarkan justru menimbulkan pertanyaan: seberapa besar urgensi transisi ke televisi digital ini bahkan sampai tertunda bertahun-tahun?

Salah satu kendala yang merintangi penyegeraan proses transisi dari TV analog ke TV digital adalah kurangnya cakupan sosialisasi mengenai program analog switch off kepada masyarakat. Menurut riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian Nielsen pada September 2019, sebanyak 61 persen dari jumlah responden di kota-kota besar masih tidak siap untuk transisi menuju TV digital. Dari 61 persen ini, 80 persennya menaruh alasan ketidaksiapan pada kurangnya kejelasan dari program pemerintah. Selain itu pada riset yang sama dinyatakan bahwa masih banyak di antara kalangan masyarakat yang tidak paham dengan mekanisme sistem transisi. Ketidakpahaman ini ditunjukkan oleh keluhan dan pertanyaan yang sering disampaikan kepada pihak terkait yaitu apakah proses analog switch off merupakan program berbayar atau bukan. Hasil survei Nielsen juga menyebutkan masih banyak warga yang tidak mengetahui tenggat waktu suntik mati siaran analog.

Masalah berikutnya adalah kurangnya sosialisasi ASO ini. Sosialisasi transisi dari TV analog dan digital ini belum dilakukan secara merata sebab kegiatan sosialisasi ini masih terpusat di kota-kota besar, pun dengan skala yang kecil (Mubarok dan Adnjani 2020). Keengganan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses transisi ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya pengetahuan banyak kalangan terhadap televisi digital. Seharusnya, ada banyak pihak yang terlibat dalam proses sosialisasi yang sudah tertunda bertahun-tahun ini, baik itu pemerintah, lembaga masyarakat, media, ataupun masyarakat itu sendiri. Lagi-lagi, hal ini mengurangi urgensi proses migrasi ini. Jangan sampai proses transisi ini malah menghilangkan hak masyarakat untuk mengakses televisi mereka karena kurangnya informasi yang mereka miliki. 

Masalah terakhir yang mengurangi urgensi transisi siaran TV digital ialah biaya lebih yang dibebankan kepada penyedia jasa siaran TV lokal. Biaya lebih ini diperoleh dari biaya izin siaran digital yang dibayar melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikumpulkan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Setiap daerah di Indonesia akan menerima biaya izin yang sama dengan daerah lainnya. Padahal kemampuan finansial penyedia siaran tv lokal umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan penyedia siaran TV yang sudah bergelut di kancah nasional. Harga izin untuk penyedia siaran TV yang bernilai 25 juta dirasa sangat memberatkan tv lokal. Jika proses transisi menuju TV digital secara tergesa-gesa dilakukan tanpa memikirkan alternatif kebijakan yang mampu menanggulangi dilema biaya ini, maka akan ada banyak perusahaan penyiar TV lokal yang terancam keberadaannya. Secara tidak langsung, pembebanan biaya ini justru bertentangan dengan tujuan awal transisi yaitu penambahan channel bagi pengguna TV.

Selain berbagai masalah-masalah yang disebutkan sebelumnya, proses transisi televisi digital menuju televisi analog juga memiliki dampak terhadap pola konsumsi individu. Salah satu wujud perubahan pola konsumsi penonton yang sebelumnya hanya bisa menikmati pilihan kanal televisi yang terbatas oleh lokasi. Dengan televisi digital seorang pengguna televisi dapat mengkonsumsi tawaran kanal yang beragam. Tidak hanya itu, perbedaan pola konsumsi pada penggunaan televisi digital menyebabkan ekspektasi pembeli dan pengguna televisi akan menjadi semakin tinggi mengingat prevalensi fitur-fitur pembantu serta kualitas dan gambar yang lebih jernih sudah menjadi hallmark bagi televisi digital.  Peralihan selanjutnya beranjak dari fakta bahwa kualitas audiovisual televisi digital tidak lagi bergantung pada jarak, pembelian atau konsumsi antena tidak lagi menjadi pasar prasyarat untuk bisa mengkonsumsi layanan televisi. Dengan televisi digital, peningkatan kualitas audiovisual didasarkan pada spesifikasi tiap televisi sehingga pengetahuan dan informasi yang baik mengenai fitur tiap televisi akan menjadi penentu pemilihan produk.

Kesimpulan

Menimbang berbagai masalah yang membayangi jalannya proses transisi TV digital, kami menyimpulkan bahwa urgensi peralihan yang dielu-ulekan tidaklah krusial. Dilema seperti kurangnya aksesibilitas masyarakat kepada digitalisasi yang belum menyeluruh hingga beban biaya yang memberatkan perusahaan TV lokal telah menunjukkan hambatan-hambatan yang berpotensi akan lebih sering dihadapi pemerintah dan masyarakat sendiri seiring jalannya proses transisi. Oleh karena itu dalam pandangan kami, pemerintah harus berhati-hati menerapkan peralihan tv digital karena dampak dari proses transisi tidak lebih besar dari biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk melaksanakan program transisi, mengingat urgensi yang menurut kami tidaklah bersifat membahayakan kepentingan masyarakat jika tidak langsung diberlakukan.

Referensi

Alaydrus, M. (2009). Digital Dividend pada Migrasi TV Analog ke TV Digital – Prospek dan Dilema. InComTech: Jurnal Telekomunikasi dan Komputer, 1(1), 1-9. https://www.researchgate.net/profile/Mudrik-Alaydrus/publication/314224315_Digital_Dividend_pada_Migrasi_TV_Analog_ke_TV_Digital_-_Prospek_dan_Dilema/links/58de6260458515add9068bc4/Digital-Dividend-pada-Migrasi-TV-Analog-ke-TV-Digital-Prospek-dan-Dilema.pd

Mardiansyah, A. (2022, November 7). Migrasi TV digital: Bantuan STB belum merata, sebagian masyarakat ‘kehilangan hak’ akses layanan televisi. BBC. Retrieved November 23, 2022, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/cn01ne7l2xno

Mubarok, & Adnjani, M. D. (2020). Kesiapan Industri TV Lokal di Jawa Tengah Menuju Migrasi Penyiaran dari Analog ke Digital. Communicate: Journal of Communication Studies, 7(1), 18-32. https://journal.lspr.edu/index.php/communicare/article/view/80/58

Survey JalanTikus: 58% Milenial dan Gen Z di Indonesia Nggak Suka Nonton TV. (2019, February 18). JalanTikus. Retrieved November 23, 2022, from https://jalantikus.com/news/25229/survey-milenial-gen-z-nonton-tv/

Pengunjung :
249

  • Berita
  • Ekspresi
  • Produk
  • Riset
  • Uncategorized
    •   Back
    • EQ News
    • Majalah
    • Mini Research
    •   Back
    • FEB
    • Jogja
    • Nasional
    • UGM
    •   Back
    • FEB Menulis
    • Fokus
    • Sastra
    •   Back
    • Telusur Perkara
    • Jelajah Pokok
    • Opini

Load More

End of Content.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin