WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Menelisik Jejak Renyah Walang Goreng Gunungkidul

Penulis: Najwa Anggi, Kalyca Indira, Azhar Zaidaan/EQ
Editor: Handri Regina Putri/EQ
Layouter: Mahira Nurul/EQ

Deru kendaraan pada akhir pekan tak henti-hentinya melintasi Jalan Nasional III Wonosari. Jalan tersebut merupakan jalan utama yang menghubungkan Kota Yogyakarta menuju dataran karst Gunungkidul yang kini semakin ramai dikunjungi wisatawan. Mobil pribadi, motor, hingga truk bermuatan berat silih berganti menyusuri jalan yang berkelok di antara perbukitan batu kapur tersebut. 

Di ruas yang penuh tikungan itu terlihat beberapa payung bersandar di bahu jalan, lengkap dengan lapak kecil sederhana bertuliskan “Walang Goreng Fresh” dan tumpukan toples berisi belalang goreng yang baru saja ditiriskan dari wajan penggorengan. Lapak tersebut berdiri berdampingan, dengan walang yang dijajakan oleh pedagang dari berbagai kalangan, mulai dari laki-laki, perempuan, tua, hingga muda. Mereka mencari secercah harapan dengan berjualan makanan yang menjadi ikon Gunungkidul.

Para Pedagang Walang Goreng

Staf Redaksi EQ bersama Mbok Darmi, penjual walang goreng Gunungkidul (© EQ)

Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang telah lama memanfaatkan belalang sebagai camilan khas bercita rasa gurih dan bertekstur renyah. Persepsi belalang sebagai hewan menjijikkan berhasil dipatahkan oleh masyarakat setempat yang justru mampu mengolahnya menjadi santapan yang bernilai ekonomi tinggi dengan daya tarik tersendiri. Tak disangka, serangga kecil yang kerap dianggap hama ini justru menjadi sumber penghidupan sekaligus simbol  kebanggaan bagi masyarakat lokal.

Salah satu lapak penjual walang goreng yang dikunjungi tim redaksi EQ berada di dekat kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder. Lapak dengan wajan yang terus mengepul itu mencuri perhatian karena berada tepat di bawah rindangnya pepohonan jati yang menjadi naungan alami di balik panasnya cuaca Gunungkidul. Mbok Darmi, pemilik warung tersebut, menuturkan bahwa dirinya telah mengabdi selama 15 tahun berdagang di lokasi yang masih ia tekuni hingga kini. 

Tepat 750 meter ke arah barat, tampak pula lapak lain milik Ibu Sutini lengkap dengan gubuk kayu buatan sendiri yang berfungsi menjadi tempat istirahat saat menanti pembeli. Ibu Sutini sudah 8 tahun berjualan belalang goreng dan setiap harinya harus menempuh jarak kurang lebih 20 km jauhnya demi mencari rezeki di tempat yang strategis. “Jualan di sini soalnya banyak orang lewat, ini kan jalannya sampai Pacitan,” tuturnya sambil menunjuk jalanan besar di depannya.

Jejak Panjang Walang Goreng Gunungkidul

Walang goreng menjadi makanan khas dari Gunungkidul bermula dari ketidaksengajaan warganya sendiri. Sejak puluhan tahun silam, masyarakat Gunungkidul memang telah terbiasa menjadikan belalang sebagai lauk harian. Kemudian 15 tahun yang lalu, seorang warga iseng mencoba peruntungan dengan menjual belalang goreng di pinggir jalan. Tak disangka, camilan ini justru laris manis dan menarik minat wisatawan. Melihat peluang tersebut, anggota keluarga lain ikut berjualan, hingga akhirnya sepanjang Jalan Nasional III, Wonosari, dipenuhi pedagang walang goreng seperti yang dikenal hingga saat ini.

Dahulu, perkembangan makanan ini sangat didukung oleh melimpahnya populasi belalang di Gunungkidul. Namun, saking tingginya peminat walang goreng, kini belalang sangat sulit ditemui. “Dulu banyak, ngambil sendiri, sekarang wis entek,” ujar Mbok Darmi. Kelangkaan tersebut membuat para penjual walang goreng harus membeli belalang hidup dari pengepul luar daerah, seperti dari Kulon Progo, Tegal bahkan Madura. Akibatnya, harga walang goreng pun menjadi tidak menentu “Kadang pas lagi mahal setoples bisa Rp30.000,00. Biasanya Rp25.000,00.” Walaupun begitu, para penjual berpendapat bahwa rasa belalang dari Gunungkidul tetap yang paling enak.

Perkembangan Kuliner Ekstrem Gunungkidul

Berbagai variasi walang goreng Gunungkidul (© EQ)

Pada masa jayanya, kuliner belalang goreng dan serangga lain seperti ulat kayu, berkembang pesat dan dikenal sebagai makanan unik khas Gunungkidul. Seiring meningkatnya permintaan, muncul berbagai varian rasa, seperti walang goreng pedas manis dan gurih, serta pilihan ukuran mulai dari kecil hingga besar.

Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, beberapa penjual harus melewati proses perolehan sertifikat untuk dapat menjual di toko-toko pusat oleh-oleh di Gunungkidul. Namun demikian, tidak semua penjual memilih jalur ini. Ada yang merasa sungkan menitipkan dagangan di toko karena sudah ada saudara atau kerabat yang lebih dulu berjualan di sana. Selain menjual secara langsung dan melalui toko oleh-oleh, banyak penjual yang juga menyediakan jasa pengiriman bagi perantau asal Gunungkidul yang rindu dengan kuliner daerah asal.

Sayangnya, perdagangan tidak akan selalu lancar. Datangnya COVID-19 memperburuk situasi dengan menurunnya jumlah penjualan. Adanya pembatasan interaksi antara penjual dan pembeli serta pembatasan turisme membuat perdagangan belalang tidak seperti biasanya. Hingga sekarang, penjualan walang goreng belum dapat mencapai puncak era pra-COVID-19.

Walang Goreng di Persimpangan Zaman

Gunungkidul dengan belalang gorengnya seakan menjadi potret ketahanan dan kreativitas masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Di balik camilan renyah itu tersimpan kisah tentang bagaimana mereka bertahan, beradaptasi, dan menjadikan sesuatu yang tak lazim sebagai sumber penghidupan. Lantas, sejauh mana relevansi kisah ini di tengah dinamika zaman sekarang?

Belalang goreng mungkin masih menjadi ikon Gunungkidul, tetapi kenyataan di lapangan tak seindah cerita di balik toples camilan itu. Belalang kini makin sulit ditemukan, entah karena perubahan musim, alih fungsi lahan, atau pembangunan yang kian masif. Di sisi lain, keberadaan toko oleh-oleh besar dengan kemasan modern mulai mendesak eksistensi para pedagang kecil yang bertahan di pinggir jalan.

Meski demikian, para penjaja belalang goreng tetap menggulung harapan di balik wajan panas mereka. Di tengah tikungan jalan dan keramaian kendaraan, mereka menjajakan bukan hanya camilan, melainkan juga kisah tentang daya tahan, warisan, dan cinta kepada yang sudah lama menjadi bagian dari hidup mereka. Selama masih terdapat orang-orang berhenti untuk mencicipi, cerita belalang goreng belum benar-benar berakhir.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin