Penulis : Alvis Anjabie /EQ
Editor : Handri Regina Putri /EQ
Layouter : Vini Wang /EQ
Pada Sabtu (27/9), Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (HIMIESPA FEB UGM) kembali menggelar seminar nasional Economics Talks 2025. Acara ini bertempat di Auditorium Sukadji Ranuwihardjo, Magister Manajemen FEB UGM, dan menghadirkan sejumlah pakar ekonomi. Narasumber yang hadir antara lain Eka Chandra Buana (Deputi Perencanaan Makro Pembangunan), Eko Listiyanto (Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance), Denni Puspa Purbasari (mantan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja), serta Gumilang Aryo Sahadewo, selaku moderator.
Mengusung tema “Indonesia at a Crossroads: Building an Economic Foundation for Progress or Getting Stuck in the Status Quo”, seminar ini terbagi dalam dua subtema dengan tiga narasumber utama. Melalui forum tersebut, para pembicara membahas tantangan dan peluang ekonomi Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045.

“Development has to be more than just the accumulation of wealth and the growth of gross national product. It has to be concerned with enhancing the lives we lead and the freedoms we enjoy”.
Eka Chandra membuka presentasi dengan quotes dari Amartya Sen, seorang economist peraih Nobel yang telah berjasa memetakan welfare economics. Bersama dengan Denni Purbasari, mereka berdua membawakan subtema pertama bertajuk Indonesia’s Demographic Dividend Revisited: Evaluating Job Opportunities for the Upcoming Generation. Sementara itu, Eko Listiyanto memaparkan subtema kedua, From Extractive to Creative: Indonesia’s Next Economic Move. Semua presentasi didasarkan pada data yang dari badan-badan kredibel untuk menganalisis bagaimana kondisi Indonesia sekarang ini, langkah apa yang dirasa relevan untuk diambil, dan memiliki peluang paling besar untuk berhasil.
Presentasi dibuka dengan pemaparan kondisi terkini perekonomian Indonesia. Saat ini, Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia mencapai US$4.910, yang menempatkan Indonesia dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas. Angka ini masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara Asia lain, seperti Malaysia US$11.670 dan Tiongkok US$13.360. Jaraknya semakin lebar jika dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi, misalnya Korea Selatan dengan GNI US$35.490 (World Bank, 2025). Fakta tersebut menegaskan bahwa Indonesia perlu bekerja lebih keras untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi.
Di sisi lain, beberapa indikator ekonomi lain menunjukkan perbaikan. Tingkat kemiskinan dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada kuartal I 2025 masing-masing turun menjadi 8,47% dan 4,76% (BPS, 2025). Penurunan ini diyakini sebagai hasil dari berbagai kebijakan pemerintah, antara lain program bantuan sosial, Program Keluarga Harapan (PKH), serta pemberian insentif bagi tenaga kerja.
Meski demikian, tantangan besar masih terlihat pada pembangunan kualitas manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang menunjukkan peningkatan, tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara lain, nilainya masih terlampau jauh. Hal ini terlihat dari skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia pada tahun 2022 yang hanya mencapai 369, jauh di bawah rata-rata Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 473 (OECD-PISA & World Bank, 2025).
Selanjutnya, presentasi menyoroti kondisi fiskal Indonesia yang relatif terjaga. Hal ini tercermin dari kinerja pendapatan negara terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dalam kurun 2020-2024 meningkat dari 10,7% pada 2020 menjadi 12,9% pada 2024. Defisit anggaran maupun keseimbangan primer pun terkendali dalam batas aman (Kementerian Keuangan, 2024).
Dari sisi moneter, perkembangan inflasi juga menunjukkan tren menurun. Setelah sempat melonjak hingga 5,95% pada September 2022 akibat kenaikan harga pangan dan energi global, inflasi berangsur turun hingga berada di level 2,31% pada Agustus 2025. Nilai tukar rupiah pun menunjukkan ketahanan di tengah tekanan global, sehingga Bank Indonesia menurunkan kembali suku bunga acuannya menjadi 4,75% untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun capaian ini memberi ruang optimisme, Eka menekankan bahwa Indonesia belum bisa berbangga diri. “Kita masih memiliki mimpi besar,” ujarnya, merujuk pada target Indonesia Emas 2045.
Paparan kemudian dilanjutkan oleh Denni, yang kembali menyinggung tantangan besar dari sisi pendapatan. Pada 2023, GNI per kapita Indonesia masih berada di angka US$4.580, jauh dari ambang minimal negara maju yakni US$14.005. Untuk mengejar celah tersebut, dibutuhkan pertumbuhan GNI per kapita sekitar 5,2% per tahun selama 2024–2045, atau bahkan 7,1% per tahun jika dihitung dalam rupiah. Artinya, Indonesia harus menjaga pertumbuhan PDB sekitar 8,1% per tahun.

Menurut Denni, target itu tampak nyaris mustahil dicapai. Namun, ia menekankan bahwa pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah target itu realistis, melainkan upaya apa yang bisa dilakukan untuk mendekatkan perekonomian nasional pada Visi Indonesia Emas 2045. Mengutip ekonom Paul Krugman, ia menegaskan: “Productivity isn’t everything, but in the long run it’s almost everything.” Kritiknya diarahkan pada mental model masyarakat Indonesia, yakni keyakinan, asumsi, dan pemahaman kolektif tentang bagaimana dunia, orang lain, atau sistem bekerja, yang membentuk sikap kita sebagai pekerja.
Selanjutnya, merujuk pada publikasi Indonesia Business Council (IBC) bertajuk “The Pursuit for Productivity, Rebuilding the Nation’s Missing Multiplier” (2025) yang menyebutkan adanya productivity blackout. Denni menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah produktivitas belum dijadikan bagian dari nilai-nilai kebangsaan (national values) dan etos kewargaan (civic ethos). Nilai kecepatan, inovasi, dan efisiensi belum hadir sebagai etika sehari-hari, berbeda dengan nilai religius, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah mufakat, harmoni, dan persatuan yang sudah mengakar.
Akibatnya, pengelolaan waktu, efisiensi pribadi, serta penguasaan keahlian jarang dipandang sebagai tuntutan etis. Refleksi ini, menurut Denni, dapat terlihat dari minimnya tema produktivitas dalam ceramah, sinetron, maupun konten para influencer. Sebagai resolusi, ia menggarisbawahi sejumlah perbaikan yang perlu dilakukan: reformasi regulasi ketenagaan untuk meningkatkan produktivitas, memperkuat kompetensi, mengurangi friksi, serta memperbaiki iklim usaha melalui Ease of Doing Business.
Subtema kedua disampaikan oleh Eko, yang menyoroti pentingnya transformasi ekonomi melalui penguatan sektor kreatif. Pertanyaannya, mengapa transformasi ini penting? Pertama, untuk menghindari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Kedua, karena dinamika geopolitik dan ekonomi global seringkali tidak sesuai dengan harapan. Ketiga, ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap sumber daya alam sebagai roda. Namun, ketergantungan pada sumber daya alam ini telah menciptakan sejumlah tantangan struktural. Hal ini berdampak pada minimnya diversifikasi, rendahnya nilai tambah, serta stagnannya kontribusi dari negara-negara maju.

Berbeda dengan Indonesia, banyak negara maju justru mengalami lompatan ekonomi dengan strategi yang berlawanan. Kunci kesuksesan mereka terletak pada kemampuan melakukan diversifikasi produk bernilai tambah tinggi. Oleh karena itu, mengembangkan sektor kreatif yang inovatif dan bernilai tambah tinggi bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menjawab tantangan besar ini dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sebagai jalan keluar, ekonomi kreatif muncul sebagai sektor yang menjanjikan. Data Kementerian Ekonomi Kreatif menunjukkan kontribusi PDB dari sektor ini naik dari 6,92% pada 2024 menjadi kisaran 7,30–7,90% pada 2025. Eko menjelaskan sejumlah strategi pengembangannya, antara lain:
1.Penguatan sumber daya manusia dan kapasitas pelaku kreatif.
2.Perluasan serta peningkatan akses pasar.
3.Penguatan ekosistem kekayaan intelektual.
Dari perspektif ekonomi digital, posisi Indonesia pun kian strategis. Pada 2025, Indonesia masuk ke dalam Top 10 Countries by E-commerce Market Size dengan nilai pasar mencapai US$45–100 miliar lebih (Aurora, 2025). Predikat sebagai negara dengan fastest growing shopper base in Southeast Asia, diiringi oleh meningkatnya mobile commerce, dan derasnya investasi di sektor logistik menunjukkan bahwa peluang ini dapat menjadi instrumen fundamental bila dimanfaatkan secara optimal.
Menutup rangkaian presentasi, ketiga narasumber sepakat bahwa transformasi ekonomi dan peningkatan produktivitas dapat dimulai dari hal yang paling dekat, yakni gadget di genggaman kita. Melalui perangkat kecil ini, masyarakat dapat mengakses beragam kursus daring, melakukan upskilling maupun reskilling. “Boundaries adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri, dan siapa pun yang menyadarinya dapat menjadi lebih baik dari dirinya saat ini.” ujar mereka.
