WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Larangan Kepemilikan Tanah Nonpribumi: Warisan Sultan atau Diskriminasi?

Penulis: Orie Priscylla Mapeda Lumalan & Auliatus Soliha/EQ
Editor: Virginia Stella Monica
Layouter: Vini Wang/EQ

Yogyakarta, sebuah kota di Indonesia yang lekat dengan keistimewaannya. Secara administrasi, Yogyakarta memiliki otonomi khusus dalam mengatur pemerintahan, kebudayaan, dan keuangan hingga mendapat status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1950 tentang Undang-Undang Daerah Istimewa Yogyakarta. Peran Sultan sangat penting untuk menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat Yogyakarta, entah melalui kebijakan ekonomi, budaya, maupun politik. Namun, apakah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Sultan telah berhasil menciptakan kesejahteraan?

Nyatanya, “Daerah Istimewa” ini justru memiliki aturan yang melarang nonpribumi untuk memiliki hak kepemilikan atas tanah. Padahal, tanah merupakan hak primer manusia yang penggunaan dan pemanfaatannya telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 16 Ayat 1 UUPA tertulis bahwa setiap warga negara berhak untuk memiliki hak milik tanah. Meskipun begitu, Yogyakarta dibebaskan dari aturan ini. Pada tahun 1975, ditetapkan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/75. Instruksi itu berbunyi:

… apabila ada seorang Warga Negara Indonesia nonpribumi membeli tanah hak milik rakyat hendaknya diproseskan sebagaimana biasa dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah  DIY …

Melalui instruksi tersebut, nonpribumi terutama etnis Tionghoa yang menjadi minoritas terbesar di Yogyakarta tidak berhak memiliki tanah dan hanya boleh memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Penetapan aturan ini tak lepas dari sejarah Agresi Militer II yang dilakukan oleh Belanda pada 1948. Etnis Tionghoa dianggap berpihak kepada Belanda, meskipun tidak ada bukti yang kuat terhadap argumen tersebut. Sultan Hamengkubuwono IX pun mencabut hak milik tanah mereka di Yogyakarta. 

Seorang narasumber keturunan Tionghoa yang menolak untuk dibagikan identitasnya, berbagi cerita dan pendapat pribadinya mengenai larangan kepemilikan tanah ini. Beliau adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir dan tumbuh di Yogyakarta. Menurutnya, kepemilikan tanah atau Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut rasa aman, berbeda dengan HGB yang harus diperpanjang secara berkala. Ia berbagi cerita mengenai temannya yang gagal memperpanjang HGB akibat dari Sultan Ground. Tentunya hal ini meninggalkan rasa takut dan ketidaktenangan dalam keluarga mereka.

Ia juga berpendapat bahwa kebijakan ini kurang memiliki tujuan yang tepat dan terkesan diskriminatif. Pasalnya, aturan ini dianggap sebagai solusi untuk melindungi ekonomi warga lokal, tetapi istilah “warga lokal” ini tidak memiliki batasan yang jelas. “Jika kebijakan ini dianggap untuk melindungi warga lokal, warga lokal mana yang dilindungi? Meskipun chinese, saya tetap warga lokal yang lahir, besar, dan mencari nafkah di Jogja.” Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi oleh penguasa pun bisa turut andil dalam diskriminasi.

Narasumber juga menyoroti kebijakan Sultan ini dalam konteks kondisi ekonomi masyarakat Yogyakarta yang masih memprihatinkan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, ekonomi Yogyakarta tahun 2023 tumbuh sebesar 5,07%, berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,05%. Namun, ini berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinannya. Angka kemiskinan Yogyakarta pada 2023 menyentuh 11,04%, menjadikannya provinsi paling miskin di Pulau Jawa. Tak kalah penting, UMP Yogyakarta termasuk terendah di Indonesia, yaitu hanya Rp1.981.782 per bulan pada 2023 atau naik Rp140.866 dari tahun sebelumnya.

Meskipun DIY mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, distribusi pertumbuhan tersebut belum merata. Sebagian besar hasil pertumbuhan ekonomi justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan elite, sementara masih banyak warga lokal yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bukti ketimpangan terlihat dari lonjakan harga tanah yang menyulitkan warga lokal memiliki hunian layak. Menurut Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, penyebabnya adalah pembeli dari luar daerah (terutama Jakarta) yang membeli tanah tanpa menawar. Ironisnya, kebijakan yang bertujuan untuk melindungi ekonomi warga lokal justru malah memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi yang ada.

Kebijakan ini juga menghambat masuknya investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Narasumber mengatakan bahwa dirinya dan beberapa kerabatnya yang beretnis Tionghoa lebih memilih untuk berinvestasi ke daerah luar Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa memang nyata adanya, kebijakan tersebut mengurangi jumlah investor di Yogyakarta. Para investor harus berpikir dua kali karena kepemilikan tanah yang dibatasi hanya melalui HGB tidak memberikan kepastian jangka panjang seperti yang mereka harapkan. Pada akhirnya, iklim investasi Yogyakarta dianggap kurang ramah bagi para investor. Bahkan pada 2023, Yogyakarta hanya menyumbang sebesar 1,5% untuk investasi dalam negeri di Pulau Jawa. Ironisnya, dalam menarik investasi asing, Yogyakarta hanya mampu menarik 0,2% dari keseluruhan investasi asing ke Pulau Jawa pada tahun yang sama.

Rendahnya investasi ini dapat menghambat penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor formal dan industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini akan membuat warga Yogyakarta, terutama warga lokal, bergantung pada sektor informal seperti UMKM yang meskipun bersifat fleksibel, tetapi tidak memberikan penghasilan tetap serta tidak ada perlindungan kerja dan jaminan sosial lainnya. Selain itu, investor juga kerap berperan dalam pembangunan infrastruktur penunjang ekonomi seperti industri, transportasi, dan digitalisasi. Dengan minimnya investor yang masuk ke Yogyakarta, tentunya akan menghambat inovasi dan teknologi sehingga menyebabkan berkurangnya produktivitas ekonomi.

Larangan kepemilikan tanah bagi nonpribumi di Yogyakarta yang berakar dari warisan Sultan Hamengkubuwono IX ini patut dipertanyakan relevansinya dalam konteks sosial dan ekonomi modern. Tidak hanya bersifat diskriminatif, kebijakan ini juga dapat menghalangi laju perkembangan ekonomi. Jika terus diberlakukan, kebijakan ini dapat memperparah kesenjangan sosial, mengurangi peluang masuknya investasi, serta menghambat inovasi yang seharusnya dapat membawa Yogyakarta menjadi daerah yang lebih inklusif. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji lebih lanjut agar terciptanya harmoni antara kesejahteraan sosial, pelestarian budaya, dan kebutuhan akan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi
Dewi, R. M. (2023). Hukum Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bina Mulia Hukum, 7(2). https://ejournal.hukumunkris.id/index.php/binamulia/article/view/338
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. (2023, 1 Oktober). Fakta: Warga Keturunan Tionghoa Tidak Boleh Memiliki Aset di Yogyakarta. Klinik Hoaks Jatimprov. https://klinikhoaks.jatimprov.go.id/post/fakta-warga-keturunan-tionghoa-tidak-boleh-memiliki-aset-di-yogyakarta-651a2cf10427e
Equitas FEB UGM. (2024, 17 Agustus). Merdeka Tapi Masih Berjuang: Potret Kemiskinan di Yogyakarta. Equitas. https://equitas.feb.ugm.ac.id/2024/08/17/merdeka-tapi-masih-berjuang-potret-kemiskinan-di-yogyakarta/
Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Provinsi (Miliar Rupiah). BPS RI. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NzkzIzI=/realisasi-investasi-penanaman-modal-dalam-negeri-menurut-provinsi–investasi—milyar-rupiah-.html
Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi Investasi Penanaman Modal Luar Negeri Menurut Provinsi. BPS RI. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTg0MCMy/realisasi-investasi-penanaman-modal-luar-negeri-menurut-provinsi.html
Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. (2024). Laju Pertumbuhan Ekonomi Triwulanan di Provinsi DIY (Year-on-Year). BPS DIY. https://yogyakarta.bps.go.id/id/statistics-table/2/Mzg0IzI=/laju-pertumbuhan-ekonomi-triwulanan-di-provinsi-di-yogyakarta-year-on-year-.html
Badan Pusat Statistik. (2024). Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV 2024. BPS RI. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTA0IzI=/pertumbuhan-ekonomi–triwulan-iv-2024.html
Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. (2024). Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY (Rupiah) – 2024. BPS DIY. https://yogyakarta.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjcyIzI=/upah-minimum-provinsi–ump–diy–rupiah—2024.html
Tribun Jogja. (2023, April 7). Harga tanah di Yogyakarta naik dari tahun ke tahun, warga lokal kesulitan miliki hunian. https://jogja.tribunnews.com/2023/04/07/harga-tanah-di-yogyakarta-naik-dari-tahun-ke-tahun-warga-lokal-kesulitan-miliki-hunian?page=all

Solverwp- WordPress Theme and Plugin