Penulis: Yunita Nurmala Sari/EQ
Editor: Najwah Ariella Puteri/EQ
Layouter: Vidhyasputri Belva A./EQ
Ketika Implementasi Dilakukan tanpa Sosialisasi, Apa yang Akan Terjadi?
Liquefied Petroleum Gas, atau yang biasa disebut sebagai LPG merupakan kebutuhan yang selalu dicari tiap rumah tangga di Indonesia, khususnya LPG berukuran 3 kilogram. LPG ukuran 3 kilogram yang merupakan salah satu program subsidi milik pemerintah ini menargetkan rumah tangga, usaha mikro, nelayan, dan petani sasaran sebagai penerimanya (Pribadi, 2023). Program ini telah dijalankan sejak tahun 2007 yang secara tidak langsung telah memicu ketergantungan masyarakat untuk mengandalkan subsidi. Adanya subsidi memang dapat meringankan tanggungan bagi target penerima subsidi, namun dalam penerapannya distribusi subsidi LPG seringkali dianggap tidak tepat sasaran.
Penyaluran yang tidak tepat sasaran inilah yang menjadi alasan diterapkannya kebijakan pelarangan pengecer menjual gas LPG. Pada 1 Februari 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menginstruksikan larangan dijualnya LPG ukuran 3 kilogram kepada para pengecer yang tidak mendaftar melalui sistem Online Single Submission sebagai pangkalan resmi (Khristianto, 2025). Instruksi tersebut ditujukan untuk mengendalikan harga LPG dan menghindari penjualan melebihi harga eceran tertinggi (Dewi, 2025).
Terlepas dari tujuannya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini menuai respon negatif berupa penolakan dari masyarakat. Banyak masyarakat yang keberatan karena kebijakan dinilai menyulitkan mereka dalam mendapatkan tabung gas. Sejak kebijakan ini diterapkan, mulai muncul kelangkaan LPG 3 kilogram di banyak daerah yang membuat masyarakat harus mengantre untuk mendapatkan LPG. Ditambah lagi, masyarakat juga sedang menghadapi berbagai tantangan ekonomi sejak awal tahun 2025, mulai dari penurunan daya beli hingga ketidakpastian geopolitik. Adanya kelangkaan yang diperparah dengan situasi ekonomi yang kurang baik pada akhirnya menimbulkan kepanikan dan kegaduhan masyarakat. Bahkan terdapat salah satu warga Pamulang yang meninggal dunia karena kelelahan akibat mengantre untuk mendapatkan tabung gas pada 3 Februari.
Ketidaksiapan masyarakat terhadap kebijakan tersebut bukanlah hal yang mengagetkan, mengingat penerapan kebijakan dilakukan secara tiba-tiba. Ditambah lagi, LPG juga termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang hingga kini masih belum memiliki substitusi dengan harga yang sama-sama terjangkau. Dengan munculnya berbagai pro-kontra di masyarakat, akhirnya pemerintah memutuskan untuk mencabut kebijakan ini tidak lama setelah aturannya ditetapkan, yaitu pada tanggal 4 Februari 2025 (Indriawati, 2025).
Adanya fakta bahwa penetapan kebijakan dadakan kerap menimbulkan ketidaksiapan dan ketidaknyamanan di tengah masyarakat memunculkan berbagai pertanyaan terkait dengan kegagalan kebijakan. Mengapa kebijakan ini gagal? Sudah ada banyak contoh-contoh penerapan kebijakan yang tidak berhasil mencapai tujuannya, haruskah kita berkaca pada pola-pola kegagalan kebijakan terdahulu? Dan yang paling penting, apa yang bisa membuat suatu kebijakan dikatakan ‘berhasil’ atau setidaknya mampu meminimalkan potensi kegagalan?
Di Manakah Letak Kekeliruan dalam Tahap Perencanaan?
Penulis mencoba membandingkan outcome dan impact kebijakan yang diinginkan sebelum penerapan dengan outcome dan impact yang terjadi pasca penerapan kebijakan menggunakan theory of change. Theory of change adalah suatu metode yang digunakan untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi sebuah kebijakan/program/proses baru untuk melihat secara jelas bagaimana kegiatan yang direncanakan dapat menciptakan hasil yang diinginkan (Office for National Statistics UK, 2025). Beberapa elemen penting yang digunakan untuk membuat theory of change meliputi (1) mendefinisikan situasi dan hasil yang ingin dicapai, (2) menentukan ruang lingkup isu yang ingin difokuskan, (3) mengidentifikasi solusi dengan memperhatikan kondisi aktor, timing, tempat, dll., yang dibutuhkan untuk mencapai hasil, dan (4) merumuskan asumsi yang mendasari keyakinan terhadap keberhasilan program (AIFS, 2021).
Tabel 1: Theory of Change

Dengan asumsi bahwa masyarakat sudah siap untuk menerima perubahan, penetapan regulasi pelarangan penjualan LPG oleh pengecer yang tidak resmi dapat memperpendek saluran distribusi dari LPG bersubsidi. Jika konsumen bisa langsung membeli dari pangkalan resmi, maka diharapkan bahwa tujuan akhir untuk menstabilkan harga LPG dan pendistribusian tepat sasaran kepada kelompok yang membutuhkan dapat tercapai. Hal ini dilakukan agar distribusi subsidi bisa menjadi lebih efisien.
Akan tetapi, faktanya masyarakat belum siap. Idealnya, sebuah program seharusnya mampu merespons masalah yang telah diidentifikasi dengan menghasilkan future outcomes yang menyelesaikan masalah tersebut (Andrews, 2018). Namun, realitas yang terjadi di lapangan justru menunjukkan bahwa outcome dan impact yang dihasilkan bersifat negatif, yaitu berupa kebingungan masyarakat, kelangkaan LPG, penolakan kebijakan, hingga berujung pada tidak tercapainya tujuan awal. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi kesiapan masyarakat itu tidak terjadi. Salah satu alasan yang menjelaskan ketidaksiapan masyarakat adalah karena solusi yang dibuat (1) tidak memperhatikan pemilihan waktu yang tepat, dan (2) pemberlakuan sosialisasi yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Jika berbicara mengenai pemilihan waktu yang tepat, suatu kebijakan perlu mempertimbangkan kondisi masyarakat pada saat itu. Hal ini diperkuat dengan tulisan Van Meter dan Van Horn (1975) yang mengatakan bahwa salah satu faktor eksternal yang harus dipertimbangkan saat akan mengimplementasikan kebijakan adalah pengaruh kebijakan tersebut terhadap kondisi sosial ekonomi dari masyarakat terdampak. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilihan waktu untuk menetapkan kebijakan dapat mempengaruhi performa sebuah kebijakan, terlebih jika kebijakan yang dibuat berkaitan erat dengan kondisi ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, kebijakan subsidi LPG ditetapkan saat masyarakat mengalami penurunan kondisi ekonomi sehingga mengakibatkan kurangnya kesiapan masyarakat untuk menghadapinya.

Sumber: Bank Indonesia, 2025 (diolah)
Gambar di atas merupakan data hasil survei mengenai indeks keyakinan konsumen oleh Bank Indonesia. Dari data tersebut terlihat bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami penurunan selama empat bulan berturut-turut sejak akhir tahun 2024 sampai Maret 2025. Angka IKK turun dari yang semula 127,7 pada Desember 2024 menjadi 127,2 pada Januari, 126,4 pada Februari, dan 121,1 pada bulan Maret 2025. Indeks ini pada dasarnya mengukur persepsi konsumen terhadap pendapatan, kondisi ekonomi, dan ketersediaan pekerjaan (Trading Economics, 2025). Penurunan IKK menggambarkan pesimisme masyarakat terhadap penghasilan dan kondisi perekonomian mereka.
Tren penurunan IKK ini juga disertai dengan lemahnya daya beli dan penyusutan kelas menengah (Chotimah, 2025). Joshua dalam Sulaeman (2025) menyebutkan bahwa pada kuartal I tahun 2025, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan menjadi 4,89% yang merupakan pertumbuhan terendah selama lima kuartal terakhir. Padahal, konsumsi masyarakat umumnya akan meningkat saat memasuki bulan ramadan dan perayaan Idulfitri. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat pada saat itu jelas tidak mendukung ditetapkannya kebijakan pelarangan penjualan gas LPG oleh pengecer. Kebijakan ini semakin memperparah kondisi karena kenaikan harga LPG akibat kelangkaan pasokan membuat masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan LPG.
Selain dari waktu penetapan kebijakan yang tidak tepat, kurangnya komunikasi dan sosialisasi sebelum penerapan ikut berkontribusi pada ketidaksiapan masyarakat. Hal ini dikarenakan tingkat pemahaman kelompok sasaran terhadap suatu program berperan dalam menurunkan potensi penolakan maupun kekeliruan dalam implementasi kebijakan di lapangan. Tingkat pemahaman yang tinggi terhadap kebijakan dapat dicapai dengan pemberitahuan ataupun sosialisasi terkait dengan kebijakan yang akan ditetapkan (Edward III dalam Hutagalung & Indrajat, 2021)
Sebenarnya, pemerintah telah melakukan sosialisasi terhadap kebijakan distribusi LPG ini, salah satunya dari laman YouTube resmi milik Pertamina Patra Niaga. Namun, sosialisasi yang dilakukan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya warga yang belum mengetahui cara pendaftaran dan syarat untuk menjadi pangkalan resmi (Khristianto, 2025). Karena itulah saat implementasinya dilakukan, muncul kebingungan masyarakat dan kesulitan mendapatkan LPG. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya indikasi penimbunan LPG di beberapa tempat (Sukmawijaya, 2025).
Di Indonesia sendiri, penolakan semacam ini bukanlah yang pertama kali. Jika dilihat dari perspektif organizational behavior, secara umum terdapat tiga alasan mengapa orang akan menolak perubahan, yaitu alasan personal, alasan organisasi, dan peran agent of change yang menimbulkan resistensi (Warrick, 2023). Secara khusus, peran agent of change yang dapat menimbulkan resistensi adalah karena kurangnya komunikasi terkait dampak dan tujuan dari perubahan (Warrick, 2023). Maka dari itu, komunikasi yang cukup dari pemerintah sebagai agen yang menetapkan perubahan perlu dilakukan untuk mengurangi potensi penolakan publik.
Pola Kegagalan Implementasi: Eksekusi, Resistensi, Tarik Kembali
Di sisi lain, kegagalan kebijakan tak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain, kegagalan serupa pun terjadi, tak terkecuali Ekuador. Ekuador pernah mengalami pola kegagalan yang serupa bahkan dengan skala yang lebih serius, yaitu saat sang presiden menghapuskan subsidi pemerintah yang telah membantu harga bahan bakar tetap terjangkau secara tergesa-gesa pada tahun 2019 (Lopez, 2022). Kebijakan ini memicu protes besar-besaran dari berbagai kalangan masyarakat sebelum akhirnya pemerintah mencabut tindakan kontroversial yang menyebabkan protes tersebut (Higgins, 2019). Berdasarkan kondisi tersebut, penulis menyoroti tiga kesamaan pola dalam kegagalan kebijakan, mulai dari eksekusi, resistensi, dan penarikan kembali kebijakan yang ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 2: Perbandingan Pola Kegagalan Kebijakan

Secara umum, dari segi penetapannya, kebijakan-kebijakan ini dinilai terlalu terburu-buru dalam implementasinya yang membuat masyarakat cukup terkejut dan tidak bisa beradaptasi dengan cepat. Lebih lanjut, keduanya ditetapkan saat kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat tidak cukup baik sehingga dampak terbesar dirasakan oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Hal tersebut cenderung menyebabkan resistensi dari masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan terkait. Adanya penolakan dari masyarakat menyebabkan kebijakan ini ditarik kembali dalam sekejap.
Dengan beragam faktor yang mengakibatkan ketidakefektifan kebijakan, lantas bagaimana kriteria agar suatu kebijakan dapat dianggap berhasil? McConnell dalam Howlett et al. (2015) menuliskan beberapa kriteria dari kebijakan yang sukses dan gagal. Beberapa kriteria yang menjadi dasar klaim adalah tujuan awal, dampak kepada kelompok sasaran kebijakan, hasil, signifikansi, sumber dukungan/penolakan, perbandingan yurisdiksi, tingkatan inovasi, balance sheet, dan sikap normatif (Howlett et al., 2015). Jika suatu kebijakan mampu mencapai tujuan dan mendapat dukungan universal/tidak mendapatkan kritik yang berarti, maka kebijakan bisa dianggap berhasil, dan sebaliknya, kebijakan dianggap gagal apabila tidak mampu mencapai tujuan dan tidak mendapatkan dukungan (McConnell, 2010).
Tabel 3: Kriteria Kesuksesan dan Kegagalan Kebijakan

Jika dianalisis menggunakan kriteria di atas, terlihat bahwa dua kebijakan tadi tidak berhasil untuk mencapai tujuannya dan bahkan menimbulkan beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Ditambah lagi, masyarakat juga tidak menunjukkan sikap penerimaan yang baik. Meskipun masalah yang melatarbelakangi dibuatnya kebijakan memang penting untuk ditindaklanjuti, pemilihan strategi penerapan yang tepat tidak kalah penting agar menghindari penolakan dan eskalasi masalah.
Bagaimana Cara Mengurangi Kegagalan Kebijakan Publik?
Terdapat banyak faktor yang mengakibatkan munculnya kompleksitas dalam penetapan kebijakan. Namun tentunya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kegagalan dari kebijakan. Hudson et al. (2019) menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik mengenai proses perumusan kebijakan dan cara mendukung kebijakan secara optimal dengan setidaknya mengidentifikasi empat hal:
- Persiapan kebijakan: menganalisis kelayakan proposal kebijakan dengan cermat untuk menghasilkan sebuah desain kebijakan yang lebih baik. Perumus kebijakan tidak boleh memiliki pemahaman yang kurang tentang masalah yang dihadapi, tidak memiliki bukti yang berkualitas, dan tidak memiliki dukungan politik. Dibutuhkan pula kolaborasi secara terus-menerus dengan pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, manajerial dan administratif, serta keterlibatan penerima akhir kebijakan untuk membuat sebuah desain kebijakan;
- Pelacakan kebijakan: melacak kebijakan dengan membentuk suatu unit penyampaian yang bertujuan untuk memantau kinerja kebijakan, memecahkan masalah dalam implementasi, dan menilai kemajuan dari kebijakan;
- Dukungan implementasi: membentuk pusat dukungan implementasi dengan mempertimbangkan keterampilan dan kualitas pekerja di lembaga perantara. Hal ini karena pekerja pada bagian ini memiliki peran krusial dalam menentukan daya penerimaan;
- Peninjauan pasca implementasi: perancangan kerangka kerja untuk menilai sejauh mana tujuan kebijakan telah terpenuhi. Pembuatan kerangka kerja untuk meninjau hasil dari kebijakan yang telah diterapkan membantu dalam mengetahui apakah kebijakan telah berjalan sesuai rencana, mampu mencapai tujuannya, dan sebagai evaluasi bersama (Hudson et al., 2019).
Dari keempat cara yang telah disebutkan, salah satu poin yang perlu disoroti untuk menghindari terulangnya kegagalan kebijakan yang sama adalah tahap persiapan kebijakan. Penting untuk memastikan bahwa rancangan kebijakan untuk mengatasi suatu masalah tidak akan menimbulkan masalah lain dalam penerapannya. Dalam konteks kebijakan LPG, setidaknya masyarakat terdampak telah memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kebijakan yang akan diambil untuk menghindari ketidaksiapan mereka. Itulah mengapa, pada tahap persiapan para perumus kebijakan harus mempertimbangkan langkah konkret dan terukur untuk menjamin bahwa sosialisasi kebijakan telah menjangkau seluruh masyarakat yang terdampak.
Simpulan
Penerapan kebijakan larangan pengecer menjual gas LPG di Indonesia secara tiba-tiba telah menuai berbagai respon dari masyarakat. Hal ini menyebabkan kelangkaan dan antrean panjang untuk mendapatkan LPG yang merupakan kebutuhan sehari-hari. Regulasi ini pada awalnya memiliki tujuan untuk membuat harga LPG tetap stabil dan tepat sasaran. Namun, hasil yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat masih belum siap untuk menerima kebijakan. Ketidaksiapan masyarakat terjadi karena pemilihan waktu yang kurang memperhatikan kondisi ekonomi dan sosialisasi yang belum menyeluruh sehingga mengakibatkan penolakan oleh masyarakat dan pembatalan kebijakan setelah itu.
Ditemukan juga pola kegagalan berupa eksekusi, resistensi publik, dan penarikan kebijakan yang menunjukkan pentingnya evaluasi untuk mencegah terulangnya kesalahan serupa. Namun, hal ini dapat dihindari dengan merancang sosialisasi yang lebih menyeluruh; memilih waktu yang tepat; serta melibatkan kolaborasi berkelanjutan antara pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, dan penerima kebijakan dalam merancang sebuah kebijakan yang efektif.
Referensi
Andrews, M. (2018). Public policy failure: “How often?” and “what is failure, anyway”? A study of world bank project performance working papers (pp. 9–10). Harvard Kennedy School. https://projects.iq.harvard.edu/sites/projects.iq.harvard.edu/files/bsc/files/public_policy_failure_cidwp344.pdf
Arnold, C. (2019). Ecuador reaches fuel subsidy deal to end violent protests. NPR. https://www.npr.org/2019/10/14/770104729/ecuador-reaches-fuel-subsidy-deal-to-end-violent-protests
Australian Institute of Family Studies. (2021). What is theory of change? AIFS. https://aifs.gov.au/resources/practice-guides/what-theory-change
Bank Indonesia. (2025). Survei konsumen maret 2025. In Bank Indonesia (pp. 1–14). https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/Survei_Konsumen_Maret_2025.pdf
Chotimah, C. (2025). Sentimen konsumen indonesia turun ke level terendah dalam 5 bulan. Trading Economics. https://id.tradingeconomics.com/indonesia/consumer-confidence/news/455208
Dewi, N. K. T. C. (2025). Fakta-fakta kebijakan distribusi elpiji 3 kg: Pelarangan, kelangkaan hingga subpangkalan. Tempo. https://www.tempo.co/arsip/fakta-fakta-kebijakan-distribusi-elpiji-3-kg-pelarangan-kelangkaan-hingga-subpangkalan-1203977
Higgins, M. (2019). Policy choices could help governments prevent protests | CIC. Center on International Cooperation; NYU. https://cic.nyu.edu/resources/how-better-policy-choices-could-help-governments-prevent-inequality-driven-protests/
Howlett, M., Ramesh, M., & Wu, X. (2015). Understanding the persistence of policy failures: The role of politics, governance and uncertainty. Public Policy and Administration, 30(3-4), 209–220. https://doi.org/10.1177/0952076715593139
Hudson, B., Hunter, D., & Peckham, S. (2019). Policy Failure and the policy-implementation gap: Can Policy Support Programs help? Policy Design and Practice, 2(1), 1–14. Taylor and Francis Online. https://doi.org/10.1080/25741292.2018.1540378
Hutagalung, S., & Indrajat, H. (2021). Policy implementation on guidelines for new habits adaptation lampung province: Survey on student groups (pp. 526–533). Atlantis Press. https://www.atlantis-press.com/article/125968215.pdf
Indriawati, T. (2025). Sah, elpiji 3 kg bisa dibeli lagi di pengecer mulai hari ini. Kompas. https://www.kompas.com/kalimantan-timur/read/2025/02/04/115535788/sah-elpiji-3-kg-bisa-dibeli-lagi-di-pengecer-mulai-hari-ini
Khristanto, J. (2025). Sosialisasi minim, warga bingung dengan aturan baru LPG 3 kg. Kumparan. https://kumparan.com/joko-khristianto/sosialisasi-minim-warga-bingung-dengan-aturan-baru-lpg-3-kg-24RNS9iVXYO
Lopez, L. (2022). Removing fuel subsidies without political backlash: An alternative to the present approach in ecuador. The Bulletin Brandtschool. https://thebulletin.brandtschool.de/removing-fuel-subsidies-without-political-backlash-an-alternative-to-the-present-approach-in-ecuador
Ma’arif, A. S. (2025). Akademisi: Kebijakan tata kelola LPG 3 kg penting agar tepat sasaran. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4658785/akademisi-kebijakan-tata-kelola-lpg-3-kg-penting-agar-tepat-sasaran
McConnell, A. (2010). Policy success, policy failure and grey areas in between. Journal of Public Policy, 30(3), 345–362. JSTOR. https://doi.org/10.2307/40925891
Office for National Statistics UK. (2025). The theory of change process – guidance for outcome delivery plans – government analysis function. Analysis Function Civil Service. https://analysisfunction.civilservice.gov.uk/policy-store/the-analysis-function-theory-of-change-toolkit/
Pribadi, A. (2023). Transformasi subsidi LPG 3 kg, kementerian ESDM lakukan pendataan penerima subsidi di 411 kabupaten/kota. ESDM. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/transformasi-subsidi-lpg-3-kg-kementerian-esdm-lakukan-pendataan-penerima-subsidi-di-411-kabupaten-kota-
Sukmawijaya, S. (2025). ESDM buka suara soal kebijakan penjualan LPG 3 kg disebut kurang sosialisasi. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanbisnis/esdm-buka-suara-soal-kebijakan-penjualan-lpg-3-kg-disebut-kurang-sosialisasi-24SHkINkMOL/full
Sulaeman. (2025). Konsumsi rumah tangga anjlok, pertumbuhan ekonomi 2025 diprediksi lesu. Merdeka. https://www.merdeka.com/uang/konsumsi-rumah-tangga-anjlok-pertumbuhan-ekonomi-2025-diprediksi-lesu-406923-mvk.html?page=2
Tempo. (2025). Diduga kecapekan setelah antre LPG 3 kg, warga pamulang meninggal. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/diduga-kecapekan-setelah-antre-lpg-3-kg-warga-pamulang-meninggal-1202410
Trading Economics. (2025). Indonesia – kepercayaan konsumen | 2000-2025 data | 2026-2027 perkiraan. Trading Economics. https://id.tradingeconomics.com/indonesia/consumer-confidence
Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The policy implementation process: A conceptual framework. ADMINISTRATION & SOCIETY, 6(1), 361–488. https://cil.nus.edu.sg/wp-content/uploads/2019/08/b.-The-Policy-Implementation-Process-A-Conceptual-Process.pdf
Warrick, D. D. (2023). Revisiting resistance to change and how to manage it: What has been learned and what organizations need to do. Business Horizons, 66(4), 433–441. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0007681322001070