WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Anomali Perilaku Manusia terhadap Isu Lingkungan

Anomali Perilaku Manusia terhadap Isu Lingkungan

Penulis: Putu Mahendrayana/EQ

 

Apabila dilakukan perhitungan terhadap manfaat dan biayanya, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha penanggulangan perubahan iklim akan memberikan hasil yang menguntungkan di masa depan. Lantas, kenapa hingga sekarang hanya segelintir negara yang melakukan perubahan yang nyata? Bahkan di level individu sendiri, kenapa sulit rasanya untuk mengubah kebiasaan sehari-hari menjadi lebih “hijau”? Apabila individu yang rasional selalu bertindak berdasarkan analisis biaya dan manfaat, apakah berarti selama ini sebagian besar manusia sebenarnya tidak rasional?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat kehidupan seorang mantan yakuza yang saat ini mengabdi sebagai bapak rumah tangga, sebut saja Tatsu. Didasari niat mulia membantu keuangan rumah tangga, Tatsu mengadu nasib dengan mengikuti permainan Super Deal. Ronde pertama, Tatsu bisa memilih dompet berisi 2.400 dolar, atau dia bisa memilih satu di antara 100 kotak dengan 66 di antaranya berisi 2.500 dolar, 33 lainnya berisi 2.400 dolar, dan terdapat satu kotak zonk. Khawatir dengan risiko zonk, Tatsu bermain aman dan memilih dompet. Kemudian dalam babak selanjutnya, Tatsu berhasil mendapatkan 5.400 poin, tetapi dia masuk ke dalam babak hukuman. Dia bisa membayar 3.000 dolar untuk melewati hukuman, atau dia bisa memilih 100 kotak dengan 20 di antaranya berisi kupon untuk menghindari hukuman dan 80 lainnya berisi denda sebesar 4.000 dolar. Melihat adanya peluang 20% untuk menghindari hukuman, Tatsu memutuskan untuk bermain.  

 

Tindakan Tatsu yang berisiko terlihat cukup aneh mengingat pada babak pertama Tatsu menunjukan preferensi untuk bermain aman. Terlepas dari rasional atau tidak, dalam eksperimen serupa yang dilakukan oleh Kanheman dan Tversky (1979), mayoritas peserta memilih pilihan yang sama dengan Tatsu. Mereka cenderung  menghindari risiko (risk aversion) dalam menghadapi kemungkinan mendapatkan laba, dan bisa berubah menjadi mencari risiko (risk seeking) saat berhadapan dengan kemungkinan rugi. Perubahan preferensi ini menjelaskan perilaku orang-orang saat pandemi yang cenderung menjadi risk seeking dengan tetap berpergian ke tempat hiburan karena walaupun terdapat probabilitas tinggi untuk tertular Covid-19, mereka berharap besar pada probabilitas kecil untuk “menghindari hukuman”, seperti yang dilakukan Tatsu.

 

 Hasil eksperimen ini juga menggambarkan dengan baik perilaku kebanyakan orang dalam menentukan pilihannya saat menghadapi isu-isu lingkungan. Risiko perubahan iklim dan bencana lain yang mengikutinya merupakan sebuah “kemungkinan rugi” dengan probabilitas yang tinggi di masa depan. Dalam menghadapi masalah ini, Tatsu akan bersifat risk seeking. Tatsu tidak akan rela mengorbankan kemudahan hidupnya saat ini karena dia memilih untuk mempertaruhkan masa depannya dengan harapan agar terhindar dari dampak perubahan iklim walaupun probabilitasnya sangat kecil.

Risk Aversion bukanlah satu-satunya kejanggalan rasionalitas manusia dalam menentukan pilihannya. Para ekonom telah mengelompokan berbagai jenis perilaku yang menyimpang dari asumsi rasionalitas dan mendefinisikannya sebagai sebuah behavioral failure (Shrogen dan Taylor, 2008). Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa menemukan behavioral failure dalam bentuk miskonsepsi, mispersepsi, bias, paradoks, anomali, atau dilusi.

 

Kembali ke kehidupan Tatsu dalam kesehariannya sebagai bapak rumah tangga, dia terbiasa mengelola keuangan rumah tangganya dengan baik. Setiap hari, Tatsu dihadapkan dengan berbagai pilihan untuk mengalokasikan anggaran rumah tangganya. Ia bisa menentukan pilihan untuk membeli kebutuhan sesuai dengan prioritasnya, mengutamakan keperluan primer yang mendesak, dan mengesampingkan kebutuhan yang kurang penting. Meskipun demikian, Tatsu tetap melakukan behavioral failure pada saat mengikuti Super Deal. Behavioral failure ternyata tidak selalu muncul dalam setiap situasi, melainkan hanya muncul dalam permasalahan yang melibatkan probabilitas dan aspek temporal dalam pengambilan keputusan. Secara kebetulan, permasalahan lingkungan memiliki kedua karakteristik ini.

 

Isu perubahan iklim dipenuhi dengan berbagai ketidakpastian. Hingga saat ini, perkiraan peningkatan suhu bumi di masa depan masih sebatas estimasi. Estimasi tersebut juga terbagi lagi ke dalam berbagai jenis skenario yang bisa terus berubah seiring waktu. Bahkan jika mengesampingkan pengaruh politik dan kepentingan bisnis sekali pun, pengambilan keputusan di level individu akan tetap terdistorsi. Permasalahan lingkungan juga merupakan sesuatu yang terjadi di masa depan. Terlepas dari berbagai gejala dan dampak yang sudah mulai terasa saat ini, sebagian besar orang masih tetap menganggap perubahan iklim sebagai sesuatu yang belum terjadi. Sama seperti Tatsu yang gemar menunda pekerjaan rumah tangganya, sebagian besar orang juga cenderung beranggapan bahwa apa yang ingin dilakukan saat ini jauh lebih penting dari apa yang bisa dilakukan di masa depan. Laibson (1997) menyebut fenomena ini sebagai hyperbolic discounting.

 

Teori tentang hyperbolic discounting berpendapat bahwa manusia akan mendiskon kepentingan masa depannya lebih banyak dari yang seharusnya. Dengan kata lain, saat membandingkan sesuatu yang bisa didapatkan saat ini dan di masa depan, sebagian besar orang akan memberikan nilai yang lebih rendah pada sesuatu di masa depan. Tidak sampai disitu saja, Thaler dan Benartzi (2004) juga berpendapat bahwa sebagian besar orang tidak konsisten dengan pilihannya dari waktu ke waktu. Hal ini menjelaskan tantangan baru dalam transisi menuju energi terbarukan. Mendorong masyarakat untuk mengorbankan kenyamanan di masa ini untuk keselamatan di masa depan akan semakin sulit jika masyarakat melakukan hyperbolic discounting terhadap kepentingan di masa depan. 

 

Konflik kepentingan dari sisi politik dan ekonomi saja sudah cukup untuk mempersulit  upaya penanganan kerusakan lingkungan. Adanya anomali perilaku manusia dalam menghadapi perubahan iklim membuat permasalahan ini menjadi semakin kompleks. Behavioral failure menyebabkan respon masyarakat terhadap sebuah kebijakan menjadi tidak sesuai dengan harapan pemerintah sehingga penerapan kebijakan tidak bisa didasari atas asumsi bahwa masyarakat berperilaku secara rasional. Dalam menghadapi kompleksitas dalam perilaku manusia teori hyperbolic discounting dan risk aversion diharapkan bisa membantu dalam memperkirakan bagaimana masyarakat mengambil pilihan dengan variasi jangka waktu dan probabilitas.

 

Referensi

Laibson, D. (1997), “Golden Eggs and Hyperbolic Discounting”, Quarterly Journal of Economics 112: 443–477.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk. Econometrica, 47(2), 263. https://doi.org/10.2307/1914185

Shogren, J. and L. Taylor (2008), “On Behavioral-Environmental Economics”, Review of Environmental Economics and Policy 2: 26-44. 

Thaler, R., and S. Benartzi (2004), “Save More Tomorrow™: Using Behavioral Economics to Increase Employee Savings,” Journal of Political Economy, 112: S164-S187.

Populer

Berita

Ekspresi

Riset

Produk Kami

Pengunjung :
238

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin