Penulis: Hana Hafizhah, Gita Laksita Prabasmara/EQ
Editor: Atha Bintang Wahyu Mawardi/EQ
Layouter: Vidhyazputri Belva A./EQ
Pada Selasa (9/9/2025), pukul 12.00 WIB, Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) menggelar konferensi pers sebagai bentuk gerakan desakan terhadap pemerintah melalui medium Youtube. Konferensi pers ini mewakili kurang lebih 383 ekonom dan 283 pemerhati ekonomi dari berbagai pelosok Tanah Air dan diaspora di seluruh dunia. Perwakilan yang tergabung dalam konferensi pers ini diantaranya Arianto Arif Patunru, Elan Satriawan, Firman Witoelar Kartaadipoetra, Gumilang Aryo Sahadewo, Jahen Fachrul Rezki, Mervin Goklas Hamonangan, Rimawan Pradiptyo, Riswandi, Rizki Nauli Siregar, Teuku Riefky, Titik Anas, Vid Adrison, Vivi Alatas, Wisnu Setiadi Nugroho, dan Yose Rizal Damuri serta Lili Yan Ing sebagai moderator.
Gerakan yang bernama “Tujuh Desakan Darurat Ekonomi dari Aliansi Ekonom Indonesia” ini ditujukan untuk pemerintah dan diharapkan masyarakat memiliki kesadaran atas informasi yang disampaikan. Gerakan desakan ini lahir didasari oleh penilaian para ekonom Indonesia yang mencermati bahwa kehidupan bernegara Indonesia kian jauh dari visi negara, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. AEI—kumpulan individu yang secara profesi berkecimpung menelaah kehidupan masyarakat berdasar teori, logika, dan data serta memaparkan konferensi pers berdasarkan data, fakta, dan analisis—melihat degradasi kualitas hidup di berbagai lapisan masyarakat secara masif dan sistemik. Penurunan ini terjadi akibat akumulasi dari berbagai proses bernegara yang belum optimal dari waktu ke waktu sehingga menciptakan kesenjangan dalam distribusi kesejahteraan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022-2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 5% selama tiga tahun terakhir. Namun, upah riil masyarakat hanya tumbuh 1,2%. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang jauh dari inklusivitas karena tidak semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Akibatnya, jurang antara kaya dan miskin semakin melebar yang ditandai dengan stagnasi kesejahteraan kelompok rentan (pendapatan paling rendah, misalnya Rp535.548–Rp1,2 juta per bulan), bawah (pendapatan menengah ke bawah, misalnya Rp1,2 juta –Rp3,5 juta per bulan), dan menengah (pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagian kebutuhan lainnya, misalnya Rp3,5 juta–Rp15 juta per bulan), sementara kesejahteraan kelompok atas (pendapatan paling tinggi, misalnya di atas Rp15 juta per bulan) meningkat pesat. Kondisi itu digambarkan dengan penurunan rata-rata pengeluaran perkapita sebanyak 2% pada periode 2018–2024 jika dibandingkan dengan periode 2012–2018. Situasi-situasi tersebut diperburuk dengan menyusutnya lapangan kerja berkualitas. Dari 14 juta lapangan kerja yang tercipta selama 2018–2024, sebanyak 80%-nya berada di sektor rumah tangga dengan upah di bawah rata-rata nasional, tanpa jaminan kesejahteraan, dan rawan ketidakberlanjutan.
Sementara itu, proses pengambilan kebijakan yang tidak berdasarkan bukti menyebabkan misalokasi sumber daya. “Berbagai kebijakan dan program akhirnya tidak menjawab kebutuhan masyarakat,” terang Vivi Alatas dalam konferensi pers pada 9/9/2025. Pernyataan tersebut sejalan dengan membengkaknya anggaran untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang naik hampir enam kali lipat sejak 2009, sedangkan anggaran untuk perlindungan jaminan sosial hanya naik dua kali lipat. Pembengkakan ini menjadi semakin serius sejak adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyerap 44% anggaran pendidikan pada saat kualitas dan akses pendidikan masih perlu dipertanyakan. Pemerintah juga dinilai abai melindungi masyarakat dari pungutan liar yang terus menjerat pelaku usaha dan judi online yang semakin marak dengan transaksi mencapai Rp1.200 triliun pada 2025. Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah justru mencederai kontrak sosial negara dan masyarakat dengan tidak memenuhi kewajibannya pada warga negara. “Hal ini terjadi khususnya setelah tertutupnya kanal penyampaian aspirasi, persekusi yang didorong konflik kepentingan, gugurnya warga dalam upaya menuntut haknya, dan diabaikannya keamanan sipil,” lanjut Vivi Alatas (9/9/2025) dalam konferensi pers.
Sebagai aliansi yang mengemban amanah untuk menyuarakan kesulitan perekonomian yang dirasakan rakyat, AEI menekankan darurat perbaikan nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Melalui Tujuh Desakan Darurat Ekonomi yang ditujukan untuk pemerintah, aliansi ini berharap perbaikan kesejahteraan masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dapat tercipta di Indonesia. Tujuh Desakan Darurat Ekonomi tersebut adalah:
- Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
- Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
- Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
- Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.
- Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
- Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
- Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
Melalui wawancara yang kami lakukan pada 12/9/2025, Gumilang Aryo Sahadewo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, menyadari bahwa tujuh desakan ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan secara instan karena masih membutuhkan proses kajian dan evaluasi dari pemerintah. Tindak lanjut dari poin-poin ini diserahkan kepada pemerintah sebab mereka yang memiliki sumber daya, anggaran, dan unit terkait. Namun, AEI berkomitmen untuk terus melakukan pemantauan dan memberi masukan agar arah kebijakan kembali berbasis bukti data yang terbukti bermanfaat untuk Indonesia, contohnya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Selain itu, Beliau juga berharap agar kebijakan-kebijakan pemerintah ke depan mendorong masyarakat mendapat pekerjaan dengan kualitas lebih baik. Dengan demikian, masyarakat dapat mempertahankan dan meningkatkan konsumsi dan investasi mereka. “Baik itu dari aspek remunerasi, yaitu adalah nilai dari upah, nilai dari pendapatan, maupun manfaat seperti misalnya dana pensiun, asuransi kesehatan, kemudian juga kontrak yang menjamin ketenagakerjaan mereka,” jelas Gumilang.
Gumilang berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan-kebijakan secara lebih teknokratis serta setiap Rupiah diharapkan dapat memberi manfaat yang luas (bank for a buck). Akan lebih baik apabila alokasi anggaran untuk suatu program dipastikan tepat sejak proses perencanaannya. Tepat merujuk pada aspek yang cukup banyak, salah satunya adalah program harus menyasar outcomes yang dibutuhkan masyarakat. Apabila alokasi dana justru diarahkan untuk program dengan outcomes yang tidak menjadi kebutuhan masyarakat, hal itu akan menyebabkan inefisiensi ekonomi atau misalokasi itu sendiri. Selanjutnya, program juga harus melalui proses pilot dan monitor yang cukup dan tidak tergesa-gesa. Proses pilot memastikan program sudah melalui proses uji, evaluasi dampak, dan seterusnya. Dengan demikian, pada saat program diluncurkan, informasi dan data yang dimiliki cukup untuk secara percaya diri menilai apakah dampak dari program sesuai dengan outcomes yang dituju. Proses monitor memastikan program yang berjalan sudah sesuai dengan desain. Dari situ, dapat dinilai aspek-aspek yang belum berjalan sesuai desainnya apakah menjadi masukan bagian dari continuous improvement dari suatu program.
“Untuk mahasiswa sendiri saya kira ini adalah kesempatan yang luar biasa, ya. Dan mahasiswa, tidak semua mahasiswa itu berkesempatan untuk hidup di tengah, apakah itu krisis, apakah itu kemudian gejolak ekonomi politik, dan seterusnya. Nah, ini kesempatan yang luar biasa baik untuk rekan-rekan mahasiswa untuk belajar, ya,” ujar Gumilang (12/9/2025) seraya menegaskan pesannya secara spesifik kepada para mahasiswa. Ia menegaskan, dinamika masyarakat—khususnya gejolak ekonomi dan politik—merupakan ruang belajar berharga bagi mahasiswa untuk merefleksikan teori dan hal empiris dari kelas terhadap kebijakan yang ada. Dengan demikian, permasalahan yang terjadi pada periode-periode sebelumnya dapat dijadikan instrumen bagi masa depan untuk becermin, sebab sejarah mengandung pelajaran berharga bagi perekonomian.