Oleh: Najwah Ariella Puteri/EQ
Editor: Rifaldi Pratama Siboro/EQ
Layouter: Vini Wang/EQ
“Negara ini dipenuhi oleh batu-batu kali yang mengira dirinya berlian. Sungguh memuakkan rasanya mendengar pidato mereka yang tak jauh berbeda dengan kentut kuda.”
Di suatu negara bernama Farm Hills, kebebasan adalah suatu hal yang hampir tak mungkin dicapai. Di negeri ini, rakyat dipaksa bungkam dan buta pada setiap ketidakadilan yang terjadi. Semua ladang, anak, dan emas mereka diambil paksa, diperbudak, dan diperjualbelikan tanpa imbalan apa pun. Pemimpin-pemimpin yang dua puluh tahun lalu bersuara keras tentang ketidakadilan, sekarang tak terdengar lagi suara lantangnya. Hanya terdengar satu-dua paragraf bertele-tele yang pada intinya, “Kami tak peduli akan penderitaanmu”. Tampaknya, nyamannya kursi parlemen seakan menutup telinga dan mata mereka akan penderitaan rakyat. Maklum, gedung parlemen letaknya di tengah kota yang elite, jelas saja jeritan dan penderitaan rakyat tak sampai di telinga dan mata mereka.
Dua puluh tahun yang lalu, kala rezim totaliter Henry jatuh di tangan seorang buruh pabrik pincang bernama Barbatos, seluruh penjuru negeri bersuka cita merayakan kebebasan negeri ini dari pemimpin yang zalim. Hal itu pun masih lekat di dalam ingatan John, seorang petani gandum di pinggiran kota yang juga merupakan salah satu massa demonstrasi pemakzulan Henry tujuh belas tahun yang lalu. Kejatuhan rezim totaliter Henry adalah awal dari masa depan yang cerah. Ia yang masih naif berpikir jika Farm Hills tanpa Henry adalah mukjizat Tuhan untuknya agar ia bisa meraih mimpinya bersekolah hukum dan menjadi pengacara. Belum lagi, kenaikan Barbatos yang berasal dari latar belakang rakyat biasa pun membuat ia semakin yakin jika masa depan negeri ini akan cerah. Sebab, bukankah Barbatos, yang pernah menjadi rakyat jelata, lebih memahami penderitaan rakyatnya dibandingkan Henry yang berasal dari keluarga kaya sejak kecil? Belum lagi, pidato Barbatos ketika dilantik menjadi presiden mengenai idealisme negeri yang ideal “Justiete” sangatlah ikonik dan lekat di ingatan semua orang.
“Satu, kesejahteraan dan penjaminan hidup yang ideal bagi seluruh rakyat. Dua, kebebasan ekonomi, sosial dan politik bagi seluruh rakyat. Tiga, pengentasan kemiskinan dan kebodohan bagi seluruh rakyat. Empat, keadilan ekonomi, sosial dan politik bagi seluruh rakyat. Lima, kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat dengan pembatasan kekuasaan pada pemimpin,” ucapnya bersamaan dengan ia yang selesai memindahkan gandum hasil panennya ke gudang.
“Aku tak pernah menyangka semuanya akan sangat berbeda dari apa yang diriku dahulu bayangkan,” lanjutnya seraya memandangi bendera Farm Hills yang berkibar dengan bangga di atas gudang gandumnya.
Jika saja waktu bisa diputar kembali, John tidak akan menggantungkan harapannya pada Barbatos kala itu. Sebab, pengkhianatan Barbatos sang “Malaikat dari Tuhan” adalah kali pertamanya ia sadar bahwa tak peduli sebaik apa pun kelihatannya, manusia adalah makhluk yang haus akan kekuasaan. Barbatos, si pincang miskin yang dahulu merupakan pemimpin yang disegani, sekarang berbalik menjadi pemimpin yang ditakuti dan dicaci-maki di belakang. Ketakutannya akan kehilangan “kekuatan” membuat Barbatos menjadi pemimpin yang kejam dan diktator. Pada akhirnya, Barbatos yang sekarang tak jauh berbeda dengan Henry si pengecut.
“Apa kau sudah selesai?”
John menoleh ke sumber suara, mengangguk, “Iya, mungkin lebih baik kita simpan sekarang saja sebelum mereka menemukan semuanya.”
Ia lantas berjalan masuk ke gudang. Hasil panen gandumnya kali ini menghasilkan sekitar lima karung, tak terlalu banyak untuk ukuran ladangnya yang luas. Dua tahun belakangan ini memang hasil ladangnya tak pernah banyak, padahal ia sudah melakukan berbagai macam cara, tetapi tak ada yang berhasil. Hasil panennya justru semakin sedikit.
Belum lagi, karena adanya krisis pangan, pemerintah menjadi semakin gencar dalam mengambil paksa hasil ladang. Bahkan, ia saja harus sembunyi-sembunyi dalam melakukan panen. Sebab jika sampai ketahuan, bisa-bisa semua hasil panennya-lah yang diambil dan jika hasil panennya diambil semua, apa yang akan ia dan keluarganya makan nanti?
“Kapan ya, kita bisa melakukan panen tanpa sembunyi-sembunyi seperti ini lagi?” keluh Frederick, adiknya yang juga ikut mengelola ladang gandum.
John menggeleng pelan, “Tak tahu, ya mungkin sampai mereka berhenti mengambil paksa semua hasil panen kita?” ucapnya tak yakin.
Frederick menaruh satu karung besar gandum di ruangan kecil yang berada di bawah tumpukan jerami. Lantas ia menutup ruangan itu kembali dengan sebuah papan tebal berwarna coklat tanah lalu menaruh kembali jerami-jerami itu di atasnya. Frederick menghela napas cukup panjang, netranya lalu menatap John dengan lelah. “Bukankah ini melelahkan dan menyedihkan? Maksudku, mengapa kita harus melindungi hasil panen kita sendiri dari kejaran orang lain? Seharusnya ini tak perlu terjadi jika saja si pincang Barbatos itu tak serakah,” ujar Frederick dengan raut wajah masam. Ia merasa jengkel dengan semua hal ini, sudah lelah memanen gandum seharian, sekarang ia juga harus menyimpan hasil panennya di tempat yang sulit dijangkau agar tak ketahuan. Merepotkan, pikirnya.
“Ya, mau bagaimana lagi? Kita pada akhirnya tak bisa berbuat apa-apa, bukan? Lagi pula, mau Barbatos serakah atau tidak, nasib rakyat miskin seperti kita akan tetap sama. Naif sekali rasanya dulu aku pernah berharap pada si bajingan pincang itu,” ucap John lalu keduanya tertawa.
Mereka kemudian keluar dari gudang dan duduk di sebuah kursi panjang di depan gudang. Frederick pun berinisiatif untuk membuatkan keduanya kopi hitam sebagai minuman pelepas penat setelah seharian memanen gandum. Ia lantas menyajikan secangkir kopi hitam kepada John. Panasnya uap kopi hitam itu menyatu dengan angin sepoi yang berlalu.
“Kemarin, aku pergi ke balai kota, menghadiri pidato kampanye Melissa,” ungkap Frederick.
“Hm? Lalu apa yang ia bicarakan di sana? Proyek pembangunan baru?” tanya John setelah menyeruput kopi hitamnya.
Frederick menggeleng pelan, “Tidak, Melissa berbicara tentang perubahan, tentang bagaimana dia ingin mengubah idealisme Justiete kakaknya dengan sesuatu yang lebih baik,” kata Frederick, suaranya penuh keraguan.
John hanya mengangguk, raut sikap skeptis tergambar jelas di wajahnya. “Mengubah Justiete,” gumamnya, “Bukankah tak berguna? Toh, Justiete saja sudah terlupakan.”
Frederick terkekeh pelan, “Pada dasarnya, negara ini dipenuhi oleh batu-batu kali yang mengira dirinya berlian. Sungguh memuakkan rasanya mendengar pidato mereka yang tak jauh berbeda dengan kentut kuda.”
Mendengar hal itu, sontak mereka berdua tertawa, “Ada-ada saja perumpamaan itu, Rick. Apa kau masih dendam dengan Wills?” goda John dengan senyum menyebalkannya.
Frederick berdecak kesal, “Diamlah! Dia harus bersyukur dirinya kuda, jika saja dia sapi, sudah pasti aku sembelih!”
John hanya tertawa mendengar jawaban kesal dari Frederick. Setelah itu, tak ada percakapan lagi dari mereka. John memandangi langit, masih jam empat sore, tetapi langit sudah sangat gelap. Pantas saja anginnya dingin, gumamnya dalam hati. Akan tetapi, baik ia maupun Frederick sama-sama tak ada yang mau pulang ke rumah. Mereka berniat untuk menginap saja malam ini di gudang jika hujan memang turun.
“Apakah kita akan selalu hidup seperti ini, Kak? ketakutan, kelaparan, dan ketidakberdayaan?” tanya Frederick, suaranya lirih, hampir tak terdengar.
John terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa.
“Apakah kau tidak memikirkan nasib anakmu nanti? Jika terus begini, nasibnya akan sama seperti kita dahulu, dari lahir hingga dewasa dan bahkan hingga meninggal nanti akan terus hidup miskin,” lanjut Frederick.
“Lantas, apa yang bisa kita lakukan, Rick? Jika aku punya kekuatan, aku pun akan berjuang membuat negara ini menjadi lebih baik. Akan tetapi, lihatlah diriku, makan saja susah apalagi memperjuangkan keadilan. Selama keluargaku masih bisa makan, aku tak akan bertindak berlebihan yang justru membahayakan keselamatan mereka,” tegasnya pada Frederick.
“Oh, berarti kau hanya akan bertindak jika anak dan istrimu tak bisa makan, ya,” ujar Frederick, mengambil kesimpulan seenak jidat.
John berdecak kesal, “Diamlah!”
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dan kerusuhan, Frederick dan John sontak berlari menghampiri sumber suara. Mata mereka berdua seketika membulat ketika melihat pasukan militer datang menjarah rumah-rumah warga sekitar. Pasukan militer itu membawa sebuah truk besar yang dipenuhi dengan karung-karung gandum dan bahan-bahan pokok lainnya. Jeritan dan tangisan penduduk bersahut-sahutan mewarnai proses penjarahan hasil panen mereka. John menggertakan gigi dan mengepalkan kedua telapak tangannya melihat betapa kejam pasukan itu menjarah hasil panen penduduk. Ia terdiam di tempat, pikirannya berkelana membayangkan bagaimana jika gandum simpanannya ketahuan dan dicuri juga.
“… Kak… Kak! Kita harus segera kembali ke gudang!” teriakan Frederick menyadarkan John dari lamunannya. Ia pun mengangguk dan segera berlari menyusul adiknya ke gudang.
Tubuh mereka berdua seketika kaku ketika melihat pintu gudang yang sudah terbuka. Dengan penuh rasa panik, John berlari masuk. Melihat itu, Frederick pun mengikutinya dengan pikiran dan emosi yang kacau. Mata mereka seketika membulat sempurna saat melihat para tentara yang sudah mengobrak-abrik isi gudang dan menemukan satu karung gandum yang mereka sembunyikan. John tersungkur lemas dan dengan putus asa, ia memohon-mohon di depan tentara itu.
“Tolong, jangan ambil satu karung itu. Keluargaku akan makan apa jika kalian ambil semuanya, aku mohon…” Pinta John seraya memohon, ia bahkan bersujud di hadapan mereka.
Dengan perasaan yang campur aduk, Frederick turut bersujud seraya memohon, “Kami mohon, kami bahkan sudah menyisakan empat karung untuk kalian, biarkan satu karung itu untuk kami makan,” pintanya dengan nada sama melasnya.
Bugh!
Frederick terkesiap ketika mendengar suara pukulan tersebut. Ia mendongakkan kepalanya dan melihat tubuh kakaknya yang ambruk setelah ditendang dengan keras oleh salah seorang tentara.
“Dasar keparat sialan! Harusnya kau memberikan semua itu pada kami! Sial, kau pikir tanah di negara ini milikmu? Asal kau tahu, aku tak peduli mau keluargamu kelaparan ataupun mati karena tak makan. Mati saja kau, sial, menyusahkan tugasku saja!” Ujar tentara itu lalu kembali menghajar John dengan membabi buta.
Tubuh Frederick seketika terdiam kaku, ia menatap pemandangan di depannya dengan rasa takut yang menjadi-jadi. Bibirnya kelu, otot-otot kakinya tak mau bergerak. Dengan bibir yang gemetar, ia pun berteriak minta ampun, “Hentikan… Tolong, hentikan! Ambil semua gandum kami! Tolong, jangan sakiti kakakku…”.
Mereka tak berhenti. Seolah-olah dirinya tak ada di sana, seolah-olah teriakan dan permohonannya tak bergema di telinga mereka, dan dengan tega mereka terus-terusan menghajar John di depan matanya. Sesekali bersiul dan tertawa ketika salah satu tendangan mengenai wajah kakaknya, mengotori tanah dengan darah.
Tak sanggup melihat kakaknya dihajar dengan membabi buta seperti itu, Frederick yang kehilangan akal pun menghampiri tubuh John yang sudah babak belur, melindunginya dengan memeluk tubuh John sampai tak ada lagi tendangan yang berhasil mengenai tubuh lemah kakaknya.
Salah satu tentara di sana berdecak kesal, “Sial! Dia ini berlagak pahlawan?” ujarnya kemudian tertawa. Mereka kini berganti menghajar Frederick dengan tendangan yang lebih brutal, terdengar bunyi tulang patah ketika tendangan mereka mengenai tulang selangkanya. Menimbulkan jerit kesakitan yang bergema di dalam gudang.
Semakin lama, Frederick merasakan kesadarannya kian memudar, mulutnya masih merapalkan ucapan “Tolong hentikan” dan tubuhnya masih berusaha melindungi tubuh John yang sudah tak sadar. Ia merasakan nafasnya menjadi pendek, pandangannya berubah menjadi gelap, dan tak ada lagi rasa sakit akibat tendangan bertubi-tubi di tubuhnya. Tak lama kemudian, jantungnya berhenti berdetak, suhu tubuhnya pun turun drastis dan sisa-sisa darah di kulitnya mulai membeku. Frederick telah meninggal dunia.
Tiga Hari Kemudian
John tengah melamun di teras rumahnya, tubuhnya masih diperban dengan kain seadanya. Sekujur tubuhnya pun masih merasakan rasa sakit yang luar biasa, tetapi rasa sakit di hatinya jauh lebih mengiris. Akibat kejadian tiga hari yang lalu di gudang gandumnya, sang adik, Frederick meninggal dunia. Kenyataan pahit itu baru disampaikan oleh istrinya pagi ini, tepat setelah ia sadar dari komanya.
Istrinya bilang jika mereka ditemukan dengan keadaan yang sama-sama mengenaskan, hanya saja John beruntung karena masih bisa bernafas. Istrinya juga bilang jika Frederick sepertinya meninggal karena ia menerima paling banyak pukulan dan tendangan. Dan yang membuatnya marah dan kecewa pada dirinya sendiri adalah posisi tubuh Frederick yang ditemukan tepat di atas tubuhnya, yang berarti Frederick meninggal karena melindungi dirinya yang tak sadarkan diri waktu itu.
“Sial, dasar adik bodoh…” maki John seraya menahan tangisnya.
“Jika bukan karena aku, kau seharusnya masih hidup hari ini. Kenapa? Kenapa kau malah menyelamatkanku? Kau memang tak pernah berubah, selalu bertindak bodoh. Sial, kenapa harus karenaku? Sayangilah nyawamu sendiri, dasar adik bodoh…” ucapnya kemudian ia menangis terisak, tak mampu menahan air matanya.
Pikirannya sangat kacau dan hatinya pun merasakan kesedihan yang amat mendalam. Bahkan, sedari ia terbangun dari komanya pagi tadi hingga maghrib tiba pun ia hanya bisa termenung dan menangis di depan teras rumahnya. Namun, baik istri maupun anaknya tak berani menegur, mereka pun merasakan kehilangan sosok Frederick.
Delapan jam setelahnya, John tak lagi menangis, hanya tersisa air mata kering di pipinya, serta bibir yang kering dan pucat akibat dehidrasi. Ia sama sekali belum meminum air putih yang istrinya sajikan dari siang tadi. Pemikirannya masih berkecamuk seputar Frederick yang sudah tiada. Ia masih tak terima adiknya meninggal, terlebih lagi dengan cara yang brutal, dipukuli hingga mati. Sekelebat, ia mengingat kembali ucapan adiknya di gudang waktu itu, Apakah kita akan selalu hidup seperti ini, Kak? Tersembunyi, takut, dan terjajah?. Apakah ia akan terus hidup seperti ini setelah kematian Frederick, masih takut dan sembunyi-sembunyi? Apakah ia masih akan diam saja dan menunggu kematian orang terkasihnya lagi untuk bertindak?
John memukul meja di depannya dengan keras, frustasi akan ketakutannya sendiri. Sebenarnya, mengapa ia begitu takut? Apakah karena Barbatos punya sekelompok penjilat setia, seperti tentara kemarin yang akan melakukan apa pun untuknya? Atau, apakah hanya karena ia terlalu takut untuk menanggung resiko jika melawan? Apa? yang mana yang sebenarnya ia derita?
Adik tercintanya, Frederick kini sudah tiada akibat ulah Barbatos, dan akibat ulah Barbatos juga, gandumnya hilang dan keluarganya pun akan kelaparan selama beberapa bulan ke depan. Semua ini karena Barbatos, kesimpulannya. Semua penderitaannya sejak umur tujuh belas tahun terjadi karena Barbatos, si pincang yang serakah itu. Beraninya dia. Benar, beraninya dia! Beraninya seorang manusia biasa, seperti Barbatos mempermainkan hidup dan matinya, mengolok-olok nyawa keluarganya, menghabisi gandum hasil panennya. Sial! Kenapa ia begitu bodoh selama ini dan mau-mau saja diperbudak oleh si pincang itu? Bodoh sekali.
“HAHAHAHA,” tawanya keras.
“Selama ini, aku diperbudak begitu saja tanpa sadar dan baru kusadari hari ini. Sial, hahaha!”
“Rick, mungkin kau benar, sudah saatnya bagiku untuk bertindak. Terima kasih sudah menyadarkan kakakmu yang bodoh ini.
”John mengepalkan kedua tangannya dengan penuh ambisi baru untuk membalaskan kematian adiknya. Kali ini, ia akan menunjukkan kepada Frederick bahwa kakaknya yang pengecut dan bodoh ini tak akan bisa diperbudak dan dipermainkan lagi oleh si pincang Barbatos. John berdiri, meski ia meringis sedikit karena kakinya yang masih terasa sakit, ia lantas berjalan masuk ke rumahnya. Malam ini, ia akan tidur dengan nyenyak.
“Dan mulai besok, Barbatos, akan kutunjukkan apa itu Justiete yang benar padamu, dasar bajingan pincang.”
Untuk ia yang hidup dalam penderitaan
Kami bersorak-sorai padanya, “hei, bung! Sudahkah engkau bebas?”
Dan ketika ia menjawab “tidak”, kami pun berdoa, “oh Tuhan, kasihanilah jiwanya”
Sebab untuk setiap jiwa yang hidup dalam belenggu penderitaan,
Sungguh malang nasib hidupnya.
Dibelenggu neraka dunia dan diakhiri kematian.
Selesai