WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

September Nestapa: Rekoleksi Kejahatan Negara

Oleh: M. Sukron Mahfud, M. Faza Naufal/EQ
Editor: Andini Mahera Primawestri/EQ
Dokumentasi oleh: BPPM Equilibrium

Senin (25/09), Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi saksi penting unjuk rasa (demonstrasi) yang melibatkan puluhan mahasiswa. Unjuk rasa tersebut diprakarsai oleh Aliansi Mahasiswa UGM dengan mengusung tema “September Nestapa: Rekoleksi Kejahatan Negara”. Aksi simbolis tersebut merupakan bentuk respon Aliansi Mahasiswa UGM terhadap berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh aparatur negara, seperti Dago Elos, Rempang, Wadas, dan lainnya. Selain itu, aksi tersebut merupakan momentum untuk mengingatkan kembali tentang banyaknya kasus hak asasi manusia (HAM) yang masih menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat.

Aksi dimulai pada pukul 16.45 WIB ketika para demonstran bergerak dari Lapangan Pancasila menuju Bundaran UGM. Mereka membawa spanduk-spanduk yang memuat kritik terhadap pemerintah, keprihatinan terhadap nasib rakyat, serta tuntutan untuk mengakhiri ketidakadilan yang berlangsung. Suasana Bundaran UGM semakin memanas ketika beberapa dari demonstran membacakan puisi-puisi yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat pelanggaran HAM dan masalah agraria. Puisi dan spanduk tersebut menjadi alat ekspresi sekaligus perlawanan yang menggambarkan perjuangan rakyat yang terpinggirkan, tanah yang dirampas, hak asasi yang terus diperas, dan keadilan yang terus diabaikan. 

Setelah sesi puisi, unjuk rasa ini dilanjutkan dengan orasi oleh beberapa demonstran. Mereka menyuarakan berbagai permasalahan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim pemerintah dari masa ke masa. Gielbran Mohammad, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM yang turut menjadi salah satu orator menyerukan berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh aparat pada masa pemerintahan Jokowi. “Warga Rempang ditendang, warga Wadas ditindas, warga Kali Progo digusur,” seru Gielbran.

Dalam orasinya, Ketua BEM KM UGM ini mempertanyakan peran Jokowi sebagai “presiden wong cilik” yang seharusnya berpihak kepada rakyat. Menurut Gielbran, pesatnya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Jokowi seharusnya dapat diiringi dengan perhatian terhadap nasib rakyat yang terdampak. Ia menegaskan bahwa pembangunan harus memberikan dampak yang nyata terhadap seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya segelintir golongan tertentu. Terakhir, Gielbran menyoroti peran aparat yang seharusnya dapat melindungi rakyat, tetapi justru terlibat dalam tindakan yang menindas rakyat. “Aparat bikin rakyat sekarat,” pungkasnya.

Aksi dilanjutkan dengan rilis sikap oleh demonstran sebagai bentuk tindak lanjut dari unjuk rasa tersebut. Dalam rilis sikap ini, demonstran mengajukan beberapa tuntutan, antara lain sebagai berikut.

  1. Tuntutan kepada negara
    • Menghentikan semua langkah represif yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat;
    • Menyelidiki segala tindakan represif yang dilakukan oleh aparat belakangan ini;
    • Mengadili pihak-pihak yang melakukan tindakan represif terhadap warga dengan hukum yang seadil-adilnya;
    • Menghentikan produksi dan penggunaan gas air mata sebagai senjata pengendali massa;
  2. Tuntutan kepada UGM
    • Menuntut Universitas Gadjah Mada sebagai institusi yang mengaku sebagai kampus kerakyatan untuk sadar akan tanggung jawab intelektualnya terhadap kasus atau kejadian pelanggaran HAM yang menindas rakyat Indonesia.

Pada akhir unjuk rasa, seluruh demonstran bersama-sama melakukan refleksi sebagai perkabungan untuk semua korban yang telah mengalami penderitaan akibat kejahatan negara. Unjuk rasa ini menjadi suara mahasiswa yang mengingatkan pemerintah untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan masalah agraria dan menjamin HAM agar tetap terjaga. Mahasiswa berharap agar perubahan positif segera terwujud demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pengunjung :
727

Solverwp- WordPress Theme and Plugin