Opini Oleh: Zevan Ricardo/Akuntansi 2017
Salah satu keputusan masa kecil yang tak akan pernah saya sesalkan adalah menyempatkan waktu untuk begadang menonton final UEFA Champions League 2005 antara Liverpool dan AC Milan. Menit tiap menit terbius adrenalin untuk menyaksikan kedua tim beradu di Istanbul. Dari kacamata anak berumur 6 tahun, mudah sekali menyimpulkan bahwa pertandingan tersebut adalah salah satu pertandingan terindah yang pernah ada. Walaupun kemudian hari hati ini condong mendukung Manchester United, perkenalan pertama dengan sepak bola di 2005 silam membuat diri ini mencintai sepak bola.
Sebelum mengenal bentuk sepak bola seperti sekarang, olahraga ini telah berevolusi selama hampir 150 tahun. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, sepak bola telah merasakan asam garam dunia ini sekaligus berkembang bersama masyarakat dan budayanya. Berawal dari pertandingan antarpemuda setempat, sepak bola berkembang menjadi penggerak ekonomi yang masif seperti sekarang. Kedekatan antara penggemar dengan klubnya seakan semakin menjauh seiring dengan adanya globalisasi. Klub tidak lagi milik kota, namun menjadi identitas global. Lunturnya kedekatan ini seakan menjadi hukum sebab-akibat. Kedekatan para penggemar luntur akibat keinginan klub untuk ekspansi keuntungan dan jaringan. Realitas sepak bola saat ini adalah siapa pun yang lebih gemar dalam menjauhkan diri dari akarnya, niscaya akan mendapatkan kejayaan. Dari kejayaan, terbangunlah hegemoni kapitalisme yang mengakar kuat sehingga sepak bola tidak lagi menjadi persoalan 11 lawan 11 saja. Kini, modal dan manajemen lah yang memegang kendali kejayaan. Sepak bola tidak lagi sportif untuk seluruh pihak sebab yang kaya makin kaya dan yang miskin tumbang saja.
European Super League dan Perkara yang Mengikutinya
Senin pagi (19/04), jagat sepak bola di media sosial Twitter digemparkan dengan munculnya nama-nama penggagas European Super League (ESL). Isu adanya ESL sebenarnya telah bergulir sekitar hampir satu dekade yang lalu. Gagasan ini dianggap sebagai ide untuk meningkatkan kepentingan para klub elite, khususnya kepentingan finansial. Seperti yang dilansir oleh majalah Marca, sistem kompetisi ESL terdiri dari 15 klub pendiri yang memrakarsai ESL, ditambah 5 slot klub yang akan diperebutkan melalui kualifikasi dan dipilih oleh para pendiri ESL. Presiden ESL, Florentino Perez, menyebutkan bahwa ESL bertujuan untuk meningkatkan keseruan (daripada UEFA Champions League) dan meningkatkan pendapatan klub elite ini. Federasi sepak bola Eropa (UEFA) dan Dunia (FIFA) geram hingga ubun-ubun sembari melayangkan berbagai ancaman bagi pembelot federasi mereka. Ancaman tersebut antara lain adalah larangan bagi klub untuk berkompetisi di liga domestik hingga pencabutan lisensi bertanding para pemain. Ancaman ini tentu beralasan sebab mustahil untuk terjadi dualisme kompetisi antarklub Eropa. UEFA dengan UEFA Champions League miliknya kini seolah harus bersanding dengan adanya European Super League.
Setiap hasil tangan manusia tentu masih ada sisi positifnya. Sisi positif dari ESL bisa jadi meningkatkan popularitas sepak bola karena setiap minggu penonton disuguhkan dengan pertandingan besar antarklub Eropa. Namun, sisi negatif yang ditawarkan jauh melebihi sisi positifnya. ESL memiliki potensi merusak tatanan sepak bola bahkan mampu membunuh klub lain. Ketika klub elite Eropa ini meninggalkan liga domestik, akan terdapat potensi menurunnya nilai hak siar liga domestik. Dengan begitu, pendapatan klub yang tergolong rendah akan semakin menipis. Lain halnya dengan situasi sekarang ketika Manchester United yang notabene klub besar di Inggris bertemu dengan Burnley yang tergolong klub kecil. Ketika bertanding, Burnley akan turut kecipratan pendapatan hak siar yang besar karena melawan klub besar walaupun pertandingan berakhir dengan kekalahan. Bahkan, sisi positif yang ditawarkan ESL pun tidak menentu akan terus menghasilkan tuah baik. Saat ini, pertandingan besar antarklub Eropa hanya terjadi di kompetisi antarklub seperti UEFA Champions League atau UEFA Europa League dan akan menjadi spesial karena tidak secara rutin bertemu. Bayangkan bila pertandingan spesial antara Manchester United melawan AC Milan yang sarat akan bumbu persaingan di masa lalu dilakukan secara terus menerus. Rasa bosan berpotensi menyeruak dan pertandingan menjadi tak lagi spesial.
Adopsi Gagasan dari Amerika Serikat
ESL erat sekali dengan warna Amerika Serikat. Hal ini terbukti dari penggagas ESL yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat, pendanaan dari JP Morgan, dan sistem liga yang kental dengan nuansa olahraga sistem liga tertutup di Amerika Serikat. Gagasan yang paling nyata terlihat adalah menciptakan liga tanpa sistem promosi-degradasi. Bagi penikmat olahraga negara Paman Sam, sistem liga tertutup ini memang menjadi budaya olahraga Amerika Serikat seperti NFL, NBA, MLS, dan NHL. Namun, adopsi gagasan ini tidak dilakukan oleh pendiri ESL secara menyeluruh. Perbedaan antara ESL dengan liga olahraga di Amerika Serikat adalah tidak adanya aturan ketat mengenai salary cap dan sistem draft. Salary cap adalah batas maksimal pengeluaran klub untuk menggaji pemain. Sedangkan draft adalah sebuah sistem mengalokasikan pemain junior untuk dapat bergabung ke klub. Kedua sistem ini ada di sistem liga tertutup untuk menjaga daya saing antarklub sehingga tidak terjadi hegemoni kejayaan yang dikuasai satu atau sebagian klub saja. Sebenarnya, UEFA telah menawarkan solusi untuk mengurangi potensi hegemoni kejayaan klub sepak bola dengan dirilisnya Financial Fair Play (FFP) pada 2016. Regulasi tersebut mengatur jumlah uang yang dapat dikeluarkan klub untuk membeli dan membayar gaji pemain. Namun, karena cacat secara legal, banyak klub yang lolos walaupun telah didakwa menyalahi aturan FFP. Bayangkan bila 20 klub ESL akan berada di satu liga tanpa aturan salary cap dan draft. Sistem ini telah divonis oleh berbagai ahli sebagai sistem yang tidak mampu bertahan lama. Selain itu, sistem ini juga berpotensi menciptakan kompetisi baru lainnya untuk mengakomodasi kehausan rasa kompetisi akibat ESL yang tidak lagi seru.
Epilog
Perjudian besar di sepak bola Eropa menggeliat. Apakah ESL akan memberikan tuah baik untuk para pendirinya atau malah menjadi bumerang yang menyerang balik? Satu hal yang pasti, sepak bola yang digagas oleh ESL hanya mementingkan segelintir elite dan menindas sisanya. Sepak bola tak lagi menjadi perkara kemanusiaan, menghormati komunitas, dan juga budaya. Sepak bola seolah berubah menjadi sebuah eksklusivitas dan keserakahan yang merongrong sportivitas.