Oleh: Hayfaza Nayottama dan Virginia Monic/EQ
Editor: Andini Mahera Primawestri/EQ
Dokumentasi oleh: Virginia Monic/EQ
Sudah bukan rahasia lagi bahwa suku, budaya, bahasa, keyakinan, dan agama yang ada di Indonesia sungguh beragam. Sesuai dengan semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, beraneka kebudayaan Indonesia pada akhirnya tetap satu jua, bahkan menghasilkan ekspresi turunan budaya yang unik. Turunan budaya tersebut pun tidak berhenti di satu generasi, melainkan terus berkembang mengikuti zaman, menghasilkan lebih banyak budaya yang luar biasa. Fenomena menarik inilah yang mendasari 15 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FISIP UAJY) untuk mengekspresikan indahnya multikulturalisme Indonesia dalam pameran foto, buku serta film dokumenter berjudul Cerita dari Solo: Yang Tersua di Suatu Masa.
Rangkaian pameran ini merupakan proyek utama dalam kegiatan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) yang dikaryakan oleh tim Studi & Proyek Independen Multikulturalisme (SPIM) FISIP UAJY berkolaborasi dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Dalam memproduksi film dokumenter, memotret foto, dan menulis kajian kebudayaan Solo, tim SPIM FISIP UAJY melakukan ekspedisi ke Surakarta selama dua bulan. Pada ekspedisi ini, ke-15 mahasiswa saling membahu dalam menyusun karya kebudayaan. Ariel Rizky, anggota Tim Penulis SPIM mengungkapkan bahwa dalam proses ekspedisi ini, mereka mengalami hal seru. “Mulai dari berdialog tentang budaya dengan tokoh masyarakat, bahkan hingga lembur mengejar deadline”, ujarnya.
Pameran foto Cerita dari Solo: Yang Tersua di Suatu Masa digelar pada tanggal 13-17 Juli lalu di Bentara Budaya Yogyakarta. Terdiri atas tiga bagian, foto-foto dalam pameran seakan menceritakan bagaimana berbagai budaya Solo terbentuk dari tahun-tahun silam hingga saat ini terbentur globalisasi. Bagian pertama pameran yang berjudul “Bagai Bayang-Bayang Masa Silam” merefleksikan kebudayaan masa lalu yang masih dilestarikan hingga kini. Berbagai macam seni tradisional yang diwariskan turun temurun, seperti pembuatan keris, gamelan, hingga ciu bekonang muncul dalam bingkai-bingkai pembuka pameran.
Beberapa Foto yang Mewarnai Bagian Pertama Pameran (©Virginia M./EQ)
Setelah menapak tilas cerita lawas kota Solo di bagian pertama, para pengunjung disuguhi oleh tantangan perubahan zaman yang dihadapi kota budaya tersebut. Bagian kedua dari pameran berjudul “Meniti Buih Perubahan Zaman” berupaya menjelajahi jalanan Solo saat ini. Infrastruktur baru, mural-mural perjuangan rakyat di tembok, anak muda berlatih tari, pengadaan festival budaya, kuliner lokal, sampai kondisi masyarakat beragama di Solo disajikan di depan mata tamu pameran. Bagian ini kurang lebih merefleksikan keadaan kota Solo yang masih gencar mengusung budaya di era serba modern.
Bingkai Suasana Solo yang Digambarkan Bagian Kedua Pameran (©Virginia M./EQ)
Berjalan menuju bagian ketiga serta terakhir pameran, tampak kemegahan keraton Solo sebagai sorot pertama pelawat. Bagian ini mengisahkan upaya keraton untuk merevitalisasi peran Solo sebagai sentra budaya Jawa, sesuai dengan judulnya yaitu “Menimba Kebijaksanaan Leluhur.” Setelah melukiskan keadaan kota Solo dulu dan kini, tim SPIM FISIP UAJY mengakhiri rangkaian pameran foto dengan pesan, “Semoga Solo kembali berseri sebagai kota budaya yang dihidupi seluruh penghuninya.”
Karya Foto yang Terpajang di Bagian Terakhir (©Virginia M./EQ)
Dalam rangkaian pameran, di hari Kamis (13/7) terdapat pula nonton bareng (nobar) film dokumenter berjudul Cerita dari Solo yang Tersua di Satu Masa serta berbagi pengalaman ekspedisi. Ariel menceritakan bahwa nobar ini berlangsung interaktif. “Para penikmat film dokumenter memberikan apresiasi dan kritik terhadap film kami” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa sesi sharing berlangsung secara multiperspektif, yaitu dari tim penulis, tim foto, dan tim video. Salah satu pengalaman menarik menurutnya ialah mewawancarai Gusti Bhre, Adipati Mangkunegaran X. Lantas, pada Minggu (16/7), diadakan pula bedah novel Rasina karya Iksaka Banu. Novel eponim ini menyajikan kisah fiksi-sejarah seorang budak bernama Rasina yang hidup menjelang kebangkrutan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1755. “Pembahasan novel berlangsung dengan menarik”, tutur Ariel.
Serangkaian pameran bertajuk Cerita dari Solo ini berlangsung partisipatif. Pameran ini tercatat telah dihadiri oleh lebih dari 500 pengunjung. Ariel mengungkapkan bahwa ia dan tim sangat senang dapat bergabung dalam proyek ini sebab proyek tersebut mengajarkan mereka untuk mempelajari dan melestarikan budaya. Melalui ekspedisi dan pagelaran pameran, Ariel dan tim mendapat fakta bahwa banyak budaya yang mulai punah, disebabkan perubahan selera dalam masyarakat terutama generasi muda. Berangkat dari sana, ia dan tim berpesan pada masyarakat: “Budaya merupakan jantung dari identitas suatu bangsa, kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Salam budaya!”