Penulis: Raditya Isnanda/EQ
Ilustrasi Oleh: Nabila Ayu Putri/EQ
“Hei! Sini kamu!” Teriak seorang aparat yang mengejarku dari belakang. Aku berlari sekuat tenaga melewati berbagai belokan dan gang. Hingga akhirnya aku terjebak di jalan buntu. Aku sudah tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Aku hanya bisa pasrah. Hingga suara sirene lantang terdengar di telingaku. Alarm di ponselku berdering. Sudah pagi rupanya.
Mimpi buruk lagi. Sudah tiga hari berturut-turut ini terjadi. Masa laluku seakan selalu membayang-bayangiku. Pekerjaanku dulu memang banyak tidak disukai orang. Tapi, untuk mereka yang menyukaiku? Aku disebut pahlawan. Bukan karena aku berjubah dan bisa terbang kesana kemari, melainkan karena aku memberikan perubahan. Melihat demo dimana-mana saat itu? Ya, itu pekerjaanku.
***
Perkenalkan, namaku Danan, atau setidaknya orang-orang memanggilku dengan nama itu. Hidupku itu sama seperti orang lain pada umumnya. Bangun, makan, kerja, dan kembali tidur. Hanya saja itu dulu sebelum aku berumur seperti sekarang. Saat ini, aku bahkan kesulitan untuk keluar dari rumah karena langkahku yang semakin lama semakin berat. Padahal ingin sekali rasanya aku keluar dari kesendirian ini. Bayangkan saja, aku sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Terakhir adalah satu bulan yang lalu saat aku kehilangan istriku yang sudah termakan usia. Meski kita tidak dikaruniai anak, aku tetap bahagia memiliki seorang wanita yang kuat seperti dia mendampingi hidupku hingga hembusan nafas terakhirnya.
Seorang lansia yang sekarang hidup sendiri. Terdengar cukup miris, kan? Tapi ini adalah saat yang aku tunggu-tunggu. Tidak perlu lagi ada rasa khawatir akan kehilangan orang-orang terdekatku. Yang aku perlu khawatirkan hanyalah diriku dan egoku sendiri.
Pagi hari itu, aku terbangun dari mimpiku tadi dan perlahan turun menuju lantai pertama rumahku. Meminum secangkir kopi dan memilah-milah bumbu juga racikan apa yang aku butuhkan untuk membuat santapan pagi ini. Kemudian, aku ambil pisau tajam di atas meja dapurku yang sekaligus menjadi senjata favoritku. Saat aku mulai memotong-motong bumbu yang ada, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu utama rumahku. Ah, Ramses rupanya. Dia dulu adalah rekan kerjaku dan kami cukup dekat waktu itu. Dia datang untuk memberikan aku koran yang selalu kutunggu-tunggu tiap harinya. “Kau pasti akan suka dengan surat kabar hari ini, Nan,” katanya dengan mata yang berbinar-binar. Sembari menutup pintu, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku langsung bergegas duduk dan membaca koran tersebut.
Langsung saja halaman pertama aku disuguhkan dengan berita-berita terkini. Pembunuhan, kerusuhan, pemerkosaan, dan masih banyak berita lainnya. Segera setelah aku selesai membaca berita-berita tersebut, aku langsung lompat ke halaman yang paling aku suka. Bagian “opini” favoritku. Artikel-artikel ini memuat berbagai keresahan dan masalah yang dirasakan oleh masyarakat. Beberapa bertuliskan nama penulisnya, dan sisanya tanpa nama. Uniknya, meskipun bertuliskan nama, seringkali yang ditulis adalah nama pena.
Satu nama yang selalu memikat mataku. Seorang penulis yang goresannya tidak lepas dari ideologinya akan dunia yang sempurna. Menurut aku, tulisan dia yang disajikan secara puitis ini cukup menarik, tetapi amat liar. Ah, si “Utopia”.
“Bodoh!” teriakku terkejut. Belum saja aku selesai membaca dua kalimat tulisan dia, dengan berani, dia menyebut nama seseorang yang memiliki jabatan istimewa di negara ini. Bahkan bukan hanya satu atau dua, tapi tiga tokoh sekaligus. Masalahnya bukan itu. Dia mengkritik tiga orang ini habis-habisan. Aku tidak habis pikir, berani sekali penulis ini. Apa dia sudah bosan hidup?
Utopia memang sering menggaris bawahi kecacatan negeri ini. Bahkan terkadang, tulisannya cukup provokatif. Tapi kali ini sudah kelewat batas. Tulisan dia yang biasanya dalam bentuk tersirat, kini menjadi terang-terangan. Enam buah paragraf yang padat dengan bukti-bukti nyata kerugian yang tiga tokoh ini sebabkan pada rakyat dia tuliskan secara rinci. Aku rasa dia tidak akan hanya menyebabkan pergerakan atau demo dengan tulisan ini, tetapi perombakan.
“Lihat itu? Nampaknya kita harus mengucapkan sampai jumpa kepadanya,” ujar Ramses dari luar jendela rumahku. “Menyeramkan sekali kau ini. Aku kira kau sudah pergi,” kataku sambil melihat dia dengan tatapan sinis. “Aku menunggu santapan yang setiap pagi kau buat, Nan.”
Aku terlalu asyik membaca hingga hampir lupa. Setiap dia ke sini, aku selalu memberikan dia sesuatu untuk dicerna.
“Nih.”
“Hanya segini saja? Sedikit sekali,” keluh Ramses.
“Sudahlah, jangan harap kau akan mendapatkan ini lagi besok,” ujarku sekaligus menyuruh dia pulang. “Sampai jumpa,” sebutnya sambil pergi meninggalkan pekarangan rumahku.
Sama seperti hari-hari yang lain, hari ini aktivitasku tidaklah banyak. Hingga tiba di saat matahari bersembunyi dan sinar bulan menyelimuti. Seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku intip dari jendela dan ternyata dugaanku tepat. Orang berjas hitam yang terlihat cukup gagah berdiri di depan pintu kayu tuaku.
“Malam-malam begini, tidak menunggu besok saja?” tanyaku pada pria ini. “Aku tidak bisa menunggu lagi. Lagipula bukankah ini waktu yang paling tepat?” balasnya dengan pertanyaan retoris. Aku pun persilahkan dia masuk dan duduk.
“Kopi atau teh?” tawarku. “Kopi saja, tanpa gula,” jawabnya. Sembari aku membuatkan dia kopi, aku berjalan perlahan ke arah pisau andalanku. Kemudian aku suguhkan kopi itu dengan masih menggenggam pisauku ini. Aku melirik ke kantong di samping celananya dan aku bisa lihat dia membawa collapsible baton atau pentungan lipat. Senjata yang dapat diandalkan tanpa menarik perhatian massa.
“Kau melihatnya, ya?” tanya dia yang memperhatikan gerik mataku ke kantong itu. “Iya. Aku tidak terkejut, sih. Aku juga membawa senjataku,” balasku sembari menunjukkan pisau di tanganku. “Pulpen itu kau sebut senjata?” ejeknya sambil tersenyum. “Kata mereka, kata-kata lebih tajam dari pisau, bukan?”
“Sayang sekali kau tidak bisa berkata-kata lagi setelah ini, Utopia. Atau mungkin harus aku panggil dengan namamu dulu, Danan? Keduanya nama palsu. Aku tidak peduli.”
“Itu letak kesalahanmu. Baik Utopia maupun Danan tidak ada yang palsu. Itu adalah nama yang mewakilkan pemikiranku, Tuan.”
Muka pria ini tampak sudah muak dan ingin mengulitiku saat ini juga. “Belum cukup dulu aku memaksa atasanmu untuk memecatmu dari perusahaan surat kabar itu, ya? Sekarang, akan ku akhiri juga karirmu sebagai penulis lepas,” ancamnya selagi merogoh sakunya. “Kau tahu ini demi kebaikan negara,” tambahnya sembari mengangkat kaki dari duduk manisnya.
Aku reflek lompat dan menusuk bahu kirinya dengan pulpen berdiameter 0,5 milimeter ini. “Jadikan ini pengingat dari ku mengatasnamakan rakyat.”
Setelah itu, semuanya gelap. Terakhir yang aku ingat adalah suatu benda tumpul membentur kepalaku. Aku rasa aku sudah tidak bisa melihat hari esok lagi dan menikmati kopi hangatku di paginya.
Aku jadi teringat akan “santapan” terakhir yang kuberikan kepada Ramses. Biasanya aku memberikan dia satu halaman penuh. Kali ini aku hanya memberi dia secarik kertas kecil bertuliskan “Sampai jumpa di neraka,” untuk diterbitkan di koran.
Tidak, aku tidak menunggu kalian di neraka yang sama denganku. Neraka ini aku khususkan kepada kalian. Tepatnya dari kami, orang yang selalu kalian bungkam kebebasan dalam berpendapatnya. Sekarang lihat mereka semua menyuarakan pikiran mereka masing-masing. Tepat di depan muka serakah kalian.
Untuk apa semua ini? Biar kuberitahu.
Kau sebut apa yang kau lakukan itu demi kebaikan? Kebaikan itu banyak, kawan. Tapi tidak semua kebaikan itu benar. Kebenaran hanya ada satu. Biar kutunjukkan itu kepada kalian melalui dunia yang selalu kuimpikan ini. Dunia di mana semua bebas berpendapat dan mencari kebenarannya sendiri. Neraka untuk kalian, surga untuk kami.