Oleh: Hasna Maritza Erumi
Foto Oleh: Meira Maulidya Rahma
Hingga saat ini, belum ditemukan titik terang terkait penerus tahta Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tahta dapat jatuh pada dua calon penerus potensial, adik atau anak perempuan dari raja yang memimpin saat ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Maka dari itu, muncul perbedaan pandangan terkait kepantasan dari dua calon tersebut dalam memimpin Keraton Ngayogyakarta. Kerajaan yang berlokasi di Kota Yogyakarta ini merupakan kerajaan islam hasil perpecahan Kerajaan Mataram Islam yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan ajaran islam. Lantas, Apakah tahta akan diturunkan kepada non keturunan sultan atau justru akan ada sultan perempuan di masa depan?
Hingga kini masih terdapat ketidakpastian mengenai penerus tahta Kesultanan Ngayogyakarta. Ketidakpastian ini timbul lantaran berdasarkan tradisi tahta diturunkan kepada keturunan laki-laki raja, sedangkan seluruh anak dari raja yang tengah bertahta ialah perempuan. Oleh karenanya, muncul asumsi bahwa tahta akan diteruskan kepada adik raja. Terdapat rasa khawatir pada masyarakat seandainya Keraton Ngayogyakarta dipimpin oleh perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya stigma buruk terhadap pemimpin perempuan dan tradisi keraton yang hanya menetapkan penerus laki-laki sebagai seorang sultan. Oleh karenanya, hingga saat ini Kesultanan Ngayogyakarta belum mengumumkan siapa yang akan meneruskan kekuasaan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Di sisi lain, keberadaan gerakan feminisme dan kehendak raja memungkinkan diangkatnya Sultan Kesultanan Ngayogyakarta perempuan pertama. Mengutip perkataan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam wawancara dengan Kumparan tahun 2018 silam bahwa kondisi Kesultanan Ngayogyakarta berkembang sejalan dengan dinamika zaman. Maraknya gerakan feminisme dan kesetaraan gender menjadi salah satu pertimbangan bagi Sultan Hamengkubuwono X untuk melanjutkan tahta pada anaknya. Walaupun selama ini keraton dipimpin oleh laki-laki, Sri Sultan Hamengkubuwono X sah-sah saja jika mau memberikan tahtanya kepada anak perempuannya. Terlebih lagi, tidak ada ketentuan yang menghalangi jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta diisi oleh perempuan. “Kekuasaan keraton sepenuhnya bertumpu pada keluarga kerajaan. Jadi, bisa saja ada sultan perempuan di masa depan,” jelas salah satu pengurus Keraton Ngayogyakarta.
Walaupun dari sisi internal kerajaan mulai progresif, landasan kerajaan keraton sebagai kerajaan Islam menjadi hambatan untuk pengangkatan sultan perempuan. Ketentuan tersebut termuat dalam Paugeran Keraton. Walaupun demikian, Paugeran Keraton dapat diubah oleh pemimpin Keraton Ngayogyakarta. Dalam Paugeran tercantum bahwa posisi sultan harus diisi oleh seorang laki-laki sebab terdapat beberapa tradisi yang hanya dapat dipimpin oleh seorang laki-laki, seperti sekaten. Lebih dari itu, terdapat beberapa nilai etis yang tidak lumrah dilakukan oleh seorang sultan perempuan, seperti menyandang keris dan memimpin perang.
Perbedaan pandangan terkait pemimpin perempuan telah marak terjadi. Membahas dari pandangan masyarakat, pemimpin perempuan sering kali berkonotasi negatif, seperti dipandang lemah serta dinilai tidak pantas untuk memimpin karena lebih mementingkan isi hatinya sedangkan laki-laki dinilai lebih logis. Walaupun hal tersebut memberi citra bahwa keraton sangat mengagungkan laki-laki, pertentangan ini bukanlah bentuk dari patriarki. Seorang pengurus Keraton Ngayogyakarta menjelaskan, “sebenarnya pertentangannya tidak berdasarkan patriarki secara khusus, tetapi patrilineal yang terjadi akibat sistem kerajaan Islam. Kasultanan Yogyakarta berdiri atas dasar Islam, dan pokok pokok ajaran Islam harus diimplementasikan dalam sistem kerajaan.”
Maka dari itu, untuk menyelesaikan persoalan yang ada, adik Sultan Hamengkubuwono X dapat meneruskan tahta kesultanan. Hal serupa pernah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono V. Dilansir dari situs resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono V ditemukan tewas tak bernyawa dibunuh oleh salah satu selirnya pada tahun 1855. Tentunya sudah selazimnya jika tahta dilanjutkan oleh anaknya. Namun, pada saat itu anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono V belum lahir sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo, adik dari Sultan Hamengkubuwono V.
Pada akhirnya, setiap keputusan yang diambil oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X memiliki konsekuensinya sendiri. Jika tahta diturunkan kepada anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, tali persaudaraan raja dapat terpengaruh. Namun, pelik juga bagi beberapa kalangan jika kesultanan dilanjutkan oleh non keturunan raja. Kedua belah pihak tentunya memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Lantas, siapakah yang pantas untuk melanjutkan tanggung jawab memimpin jantung dari Yogyakarta?