WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Program Percepatan Kendaraan Listrik: Keputusan Cerdik atau Perlu Kembali Diracik?

Oleh: Hilda Bhakti Fahrezi/EQ
Editor: Kevin Pratomo/EQ
Ilustrasi oleh: Naelufara/EQ

Kehadiran kendaraan listrik bermula ketika seorang investor asal Skotlandia, Robert Anderson, berhasil menciptakan mobil roda tiga menggunakan baterai listrik pada tahun 1832. Teknologinya terus berkembang, sementara eksistensi dan popularitasnya timbul dan tenggelam. Kehadirannya kembali santer diberitakan dan dielu-elukan di berbagai belahan dunia mulai tahun 2020. Perusahaan-perusahaan otomotif besar mulai melancarkan produksi secara masal: hybrid, plug-in electric vehicle, hingga battery electric vehicle. Kendaraan listrik dan kemampuannya dalam membawa kontribusi besar dalam pengelolaan lingkungan mendorong lahirnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV) yang merupakan satu dari sekian upaya pemenuhan komitmen nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Timbul pertanyaan seberapa pantaskah kendaraan listrik mendapatkan program percepatan dan memperoleh titel “Solusi transportasi masa depan’?

Kendaraan listrik adalah kendaraan yang menggunakan motor listrik atau motor traksi sebagai penggeraknya. Kendaraan ini digerakkan oleh energi listrik yang tersimpan di dalam baterai atau tempat penyimpanan energi lainnya. Kendaraan konvensional adalah kendaraan berbahan bakar sumber daya alam yang terbentuk dari hidrokarbon, seperti minyak bumi dan gas alam akibat proses pembusukan organisme yang mati ratusan juta tahun lalu di kerak bumi. 

Kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai kendaraan “ramah lingkungan” dan sejalan dengan kampanye gerakan “Go-Green” menetaskan prospek yang terang benderang. Biaya yang lebih rendah, suara mesin tidak bising, minimnya perawatan, dan pajak yang lebih terjangkau dipandang sebagai nilai tambah di luar kelebihannya dalam mengurangi emisi. Ia diharapkan menjadi satu dari sekian terobosan dalam dekarbonisasi global. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki kendaraan listrik menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berimplikasi pada peningkatan permintaan dan penjualan. Hal ini pun tercermin dari hasil riset Deloitte dan Foundry yang menunjukkan bahwa terdapat 33.461 unit kendaran listrik yang digunakan di tanah air pada tahun 2022 – lonjakan sebesar 334,27% dari tahun sebelumnya.

Pernyataan dari Darmawan Prasodjo, Wakil Direktur Utama PLN, mendukung fakta mengenai biaya kendaraan listrik yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan konvensional, khususnya dari segi biaya pengisian daya. Satu liter bensin setara dengan 1,2 sampai 1,3 kwH dengan jarak tempuh sejauh 10-12 kilometer. Harga bensin per satu liter sekitar Rp10.000-14.000, sementara tarif listrik per satu kWh hanya sekitar Rp1.440-an. Perbandingan tersebut membuktikan penggunaan kendaraan listrik lima kali lipat lebih terjangkau dibandingkan pemakaian kendaraan konvensional. Data lain menyebutkan bahwa satu liter bensin memiliki berat emisi sebesar 2,4 kg/CO2, sementara satu KWh yang berasal dari PLTU sebesar 1 kg/CO2. Pengurangan emisi yang dihasilkan sebanyak 50 persen bagaikan titik terang dari kondisi kualitas udara di Indonesia saat ini. Hal ini penting mengingat laporan terbaru Kualitas Udara Dunia IQAir 2021 yang dirilis pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa kualitas udara Indonesia menduduki peringkat ke-17 sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan tingkat konsentrasi PM2,5 mencapai 34,3 μg per meter kubik. 

Kendaraan listrik juga menjadi bagian dari usaha Indonesia dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Keseriusan Indonesia dalam mewujudkan komitmen NZE pada tahun 2060 dibuktikan dengan pengukuhan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention Climate Change dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV).

Budi Setiyadi, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, mengungkapkan penggunaan kendaraan listrik tidak hanya memberi memberi dampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga bagi perekonomian Indonesia. Optimalisasi pemanfaatan nikel di Indonesia sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah adalah dua di antara banyak kelebihan yang didapat dalam upaya menghemat APBN.

Percepatan program kendaraan listrik akan mendukung pengurangan impor BBM dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Penghentian impor BBM, khususnya gasoline, diharapkan dapat terjadi sebelum tahun 2030. Proyeksi Kementerian ESDM dalam Grand Strategi Energi Nasional, jumlah mobil listrik ditargetkan sekitar 2 juta unit dan motor listrik sekitar 13 juta unit pada tahun 2030. Pada tahun yang sama, target penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sekitar 30 ribu unit dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik (SPBKL) sekitar 67 ribu unit. Pemerintah pun menyiapkan dana sebesar Rp5 triliun untuk mensubsidi pembelian kendaraan listrik, seperti mobil listrik, mobil listrik hybrid, motor listrik serta konversi motor konvensional menjadi motor listrik. Keputusan yang mengundang pertanyaan apakah dampak positif dari penggunaan kendaraan listrik sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan?

Triliunan rupiah yang disiapkan sebagai subsidi adalah dana yang seharusnya terbentuk dari kesiapan pemerintah dalam menjagal berbagai risiko yang diakibatkan oleh kendaraan listrik. Sulitnya proses pendaur ulangan baterai yang berakhir menjadi sampah elektronik, pencemaran lingkungan di perairan yang diakibatkan oleh proses pembuatan baterai kendaraan listrik – pengambilan logam dan mineral di lautan, seperti kobalt, nikel, dan lithium, adalah satu dari sekian risiko yang diam-diam mengintai. Peleburan untuk menjadi nikel baterai menghasilkan limbah asam dalam jumlah besar yang berdesak-desakkan penuh dengan logam berat. Perairan segitiga terumbu karang (Coral triangle) sebagai rumah bagi keanekaragaman karang dan ikan tertinggi di dunia terancam rusak. Pembangkit listrik yang memasok listrik untuk kendaraan listrik turut menghasilkan emisi gas rumah kaca dan secara tidak langsung menyumbang polusi yang masif. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) pun menilai pemberian subsidi kendaraan listrik dapat menambah masalah baru, seperti kemacetan, polusi, dan kecelakaan lalu lintas. Bantuan yang diberikan dalam bentuk subsidi justru secara tidak langsung mendorong kenaikan jumlah kendaraan.

Perkara yang perlu dipertimbangkan sebelum terealisasikannya program percepatan kendaraan listrik mengular mengantri panjang: infrastruktur pengisian daya yang memadai dan mudah diakses di berbagai lokasi, penelitian dan pengembangan teknologi terkait kendaraan listrik untuk terus meningkatkan efisiensi, jangkauan, dan performa, hingga pengujian dan sertifikasi apakah kendaraan listrik yang beredar memenuhi standar keselamatan dan lingkungan yang ditetapkan. Novendra Setyawan, Dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyampaikan pandangan bahwa penggunaan kendaraan listrik perlu selaras dengan pengembangan energi baru terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam membantu pasokan listrik untuk kendaraan listrik. Ia pun mengingatkan kebutuhan atas adaptor yang sesuai dan sesuai standar serta penggunaan pengaman tambahan atau Miniature Circuit Breaker (MCB) untuk menghindari terjadinya konsleting saat pengisian daya kendaraan listrik.

Pemberian subsidi kendaraan listrik di Indonesia untuk saat ini masih terlalu dini. Pemerintah perlu mengkaji ulang sasaran utama dari program subsidi listrik agar bantuan dalam bentuk insentif dapat tepat sasaran. Pengkajian mulai dari usaha mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih ramah lingkungan hingga pengkajian dari aspek infrastruktur, seperti port pengisian baterai, adalah bentuk kepedulian pemerintah dalam memikirkan keberlanjutan energi secara adil dan merata. Persiapan dan pertimbangan yang baik dalam melaksanakan subsidi kendaraan listrik akan menyorong pengimplementasian subsidi secara efektif untuk mendukung transisi menuju mobilitas berkelanjutan serta membantu Indonesia menuju NZE tahun 2060.

Pengunjung :
242

Solverwp- WordPress Theme and Plugin