Penulis: Cindra Karunia Putri/EQ
Foto Oleh: Teresa Janice/EQ
Saat ini, siapa yang tidak mengenal lagu ciptaan Aldi Taher yang berjudul “Nissa Sabyan I Love You so Much”? Selain lagu tersebut, ada pula beberapa lagu lainnya seperti “Goyang Mama Muda”, “Keke Bukan Boneka”, dan “Ayo Goyang Dumang” yang viral beberapa waktu lalu. Meskipun lagu-lagu yang sebelumnya disebutkan dinilai kacangan dari segi musikalitas, tidak bisa dipungkiri bahwa kepopuleran lagu tersebut mengalahkan lagu yang dianggap berkualitas. Lalu, apa definisi dari lagu yang berkualitas? Apa yang membuat suatu lagu dinilai kacangan atau “abal-abal”?
Sebenarnya, istilah “kualitas” pada musik atau lagu kurang tepat karena peringkat sebuah karya musik bergantung pada preferensi pendengar. Ronald Hutasuhut, salah satu seniman musik, menyatakan bahwa ada dua cara menilai karya musik, yaitu dengan creative process value dan aesthetic value. Creative process value terdiri dari unsur lirik yang kaya akan makna dan unsur struktur (tempo, ritme, dan melodi) yang memiliki kesan baru serta nyaman didengar telinga. Sementara itu, aesthetic value dinilai berdasarkan perasaan emosional masing-masing pendengar. Creative process value sering kali dilakukan saat penjurian atau pengembangan sebuah entertainment, sedangkan aesthetic value dapat dilakukan semua orang saat mereka menikmati sebuah lagu dan hasilnya berbeda antara satu pendengar dengan pendengar lainnya. Hal inilah yang menyebabkan penilaian terhadap suatu karya musik tidaklah mutlak.
Suatu lagu dinilai “abal-abal” karena penciptanya terkesan tidak mengeluarkan banyak usaha saat menciptakan lagu tersebut. Dengan berbekal melodi sederhana yang diulang-ulang dan dibumbui lirik yang mudah dihafal, lagu yang diciptakan akan melejit di pasaran. Lirik yang dibuat tak jarang mengundang kontroversi dan mengesampingkan unsur sastra di dalamnya. Hal ini yang menyebabkan Ketua Umum Yayasan Anugerah Musik Indonesia Dwiki Dharmawan menyebutkan bahwa saat ini pencipta lagu membutuhkan pelatihan dan pembelajaran sastra untuk menciptakan lagu yang kaya akan makna pada syairnya.
Fenomena populernya lagu yang dianggap kacangan tidak terlepas dari respons masyarakat itu sendiri. Masyarakat cenderung mengikuti tren yang sedang terjadi. Saat ada lagu yang mengundang kontroversi, masyarakat akan berbondong-bondong mendengarkan lagu tersebut. Bahkan, saat masyarakat membenci dan meninggalkan komentar negatif pada sebuah karya musik, hal tersebut justru membuat karya musik tersebut semakin dikenal.
Selain karena tren yang ada, alasan sebuah lagu menjadi populer adalah karena lagu tersebut sering kali tanpa sengaja berputar di kepala kita atau yang dikenal dengan istilah earworm. Menurut salah satu artikel dalam jurnal Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Art, ada tiga karakteristik yang menyebabkan earworm, yaitu tempo yang cepat, melodi yang sederhana dan ritmis, dan struktur interval yang tidak biasa. Fenomena earworm kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk menciptakan lagu dengan melodi sederhana dan mudah diingat tanpa memperhatikan kualitas. Pencipta tak lagi berpegang pada estetika sebuah karya musik, melainkan hanya mengikuti apa yang sedang ramai di pasaran. Maraknya lagu yang dianggap kacangan ini dikhawatirkan akan menggerus selera musik dalam negeri. Masyarakat yang terbiasa dicekoki karya musik abal-abal ditakutkan tak lagi bisa menelan karya musik yang apik. Karya musik yang digarap dengan serius dan penuh perhitungan akan kalah dengan karya yang digarap secara instan. Hal ini akan menurunkan semangat anak bangsa yang sebenarnya memiliki potensi besar dalam melahirkan karya musik baru.
Sebenarnya, banyak generasi muda yang sadar bahwa memberi panggung kepada karya musik abal-abal bukanlah langkah yang tepat. Mereka tidak hanya mengikuti tren yang ada, tetapi juga berusaha mengapresiasi karya musik yang tidak bertujuan mencari sensasi. Namun, kesadaran anak di bawah umur dan generasi Baby Boomer terhadap pentingnya mengapresiasi lagu yang berbobot masih rendah. Mereka cenderung memutar musik yang sedang viral di Tiktok dan kurang mengenal lagu yang digarap dengan serius. Mengedukasi masyarakat yang belum sadar pentingnya mengapresiasi karya musik yang elok bukanlah hal mudah. Diperlukan kerja sama beberapa pihak, seperti stasiun televisi dan masyarakat Tiktok, yang hendaknya tidak memberi “panggung” kepada seniman yang hanya ingin mencari sensasi. Sayangnya, hal tersebut berada di luar kendali kita.
Langkah paling sederhana yang dapat dilakukan adalah tanamkan pada diri sendiri bahwa tidak memberi panggung kepada karya musik yang hanya bertujuan untuk mencari sensasi merupakan langkah yang tepat. Kita dapat mengapresiasi lagu-lagu yang lebih berbobot dengan mendengarkannya di platform resmi, menonton konser, dan mempromosikannya di media sosial. Kita juga bisa menciptakan tren baru di Tiktok atau media sosial lainnya dengan cara menggunakan backsound atau meng-cover lagu karya anak bangsa yang lebih bervariatif. Hal ini akan menggeser selera masyarakat untuk lebih mencintai karya musik yang lebih elok.