WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Jurang di Antara Saintek-Soshum UGM: Lekatan Stereotipe hingga Disparitas Fasilitas 

Oleh: Rizal Farizi dan Frida Lucyana Wahyuningsih/EQ
Editor: Kirana Lalita Pristy
Ilustrasi oleh: Muhamad Sukron Mahfud/EQ

Anak MIPA mah alim-alim.
Anak FEB pasti fasilitasnya mewah, ya?

Acapkali digambarkan bahwa program studi klaster sains dan teknologi (saintek) dan sosial humaniora (soshum) seolah terpisahkan jurang di antara keduanya. Tak hanya dari segi kultural, tetapi juga hal mendasar, seperti sarana dan prasarana yang diberikan kepada mahasiswa. Namun, tak dapat ditampik bahwa setiap rumpun, fakultas, atau bahkan program studi (prodi) tentu mengemban stereotipe tertentu. Ya, stereotipe, konsepsi yang bersifat subjektif dan belum tentu benar.

Studi oleh Wen dkk. (2021) menunjukkan bahwa prodi kuliah mempengaruhi kepribadian dari mahasiswa. Terlebih, berdasarkan “sensus” yang diadakan oleh Mojok kepada netizen media sosial, terbukti bahwa masyarakat memang memiliki pandangan tertentu terhadap jurusan kuliah. Semisal saja, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) kerap dicap sebagai manusia-manusia jenius nan alim. Sementara itu, mahasiswa dari ranah soshum, seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Hukum, serta Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), sering dianggap primadona karena paras dan mobilnya (red: status finansial).

Lagi-lagi, hal-hal tersebut hanyalah stereotipe, yang tak sepenuhnya benar. Namun, bagaimanakah realitas yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri? Kurang afdal rasanya jika kita tidak mendengar pembenaran dari mahasiswa secara langsung. Dalam artikel ini, penulis telah mewawancarai dua mahasiswa sebagai perwakilan dari rumpun saintek, yakni FMIPA, serta soshum, yaitu FEB. Mawar (nama samaran), seorang mahasiswi dari FMIPA UGM, menjelaskan bahwa stereotipe alim yang melekat pada fakultasnya memanglah benar. “Iya, kayaknya semua MIPA di seluruh universitas dapat stereotipe alim. Mungkin memang karena mayoritas mahasiswanya Islam. Terus juga mungkin karena MIPA tuh ilmu murni ya, cenderung spaneng, jadinya ada yang ga terlalu mikirin style berpakaian,” ucap Mawar. Akan tetapi, Mawar menegaskan bahwa meskipun begitu, toleransi antaragama di FMIPA sangatlah kuat.

Di belahan UGM lainnya, Paijo (nama samaran), seorang mahasiswa FEB, mengiyakan stereotipe penampilan mahasiswa FEB yang terkesan lebih stylish. Menurutnya, mahasiswa di fakultas tersebut kebanyakan memperhatikan fashion, seperti bagaimana cara memadupadankan pakaian. Namun, terkait stereotipe status finansial, Paijo tidaklah membenarkan hal itu. “Memang benar ada anak FEB yang kaya dan bepergian menggunakan mobil, tetapi di fakultas lain hal serupa juga terjadi. Jadi, stereotipe (bahwa ini hanya terjadi di FEB) itu tidak benar,” ujarnya.

Di sisi lain, kampus yang notabenenya salah satu terbaik di Indonesia ini ternyata masih menyimpan realitas pahit terkait disparitas fasilitas di dalamnya. Mawar beranggapan bahwa fakultas yang berlokasi di pusat UGM (red: rumpun soshum) terlihat lebih bagus dibanding fakultas lainnya. Sebaliknya, Paijo berpendapat bahwa gedung-gedung yang berada di lingkup soshum tidak semuanya bagus. Tidak meratanya sebaran fasilitas yang memadai inilah yang kerap kali membuat fakultas maupun universitas mendapat kritikan dari mahasiswanya. 

Deretan keluhan yang dilontarkan oleh Mawar terkait fasilitas FMIPA diantaranya adalah masalah kurangnya lahan terbuka hijau, kantin yang kurang memadai, co-working space yang minim, hingga permasalahan kecil seperti debit Toyagama (upaya penyediaan air minum mandiri bagi civitas academica UGM) yang lamban. Kemudian, permasalahan yang kerap kali menjadi sambatan mahasiswa FEB yaitu tidak tersedianya lahan parkir fakultas. Pun selain FEB, terdapat beberapa fakultas yang tak memiliki kantong parkir sendiri, diantaranya yakni Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Psikologi. Karena satu dua hal, fakultas tidak bisa memberikan fasilitas tersebut yang menyebabkan mahasiswa harus memarkirkan kendaraannya di kantong parkir terdekat, seperti parkiran Pujale dan Perpusat. Namun, di antara kekurangan, tentu masih ada kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing fakultas, seperti FMIPA yang memiliki tempat parkir yang luas dan FEB yang memiliki co-working space di berbagai sudut. Suatu permasalahan yang dimiliki suatu fakultas terkadang menjadi keunggulan milik fakultas lain. 

Terlepas dari stereotipe yang ada, karakter sosial bersifat positif yang dimiliki tiap fakultas harus dipertahankan dan penting untuk memahami perbedaan serta menerapkan toleransi. Seperti isi kutipan menurut George Herbert Mead (1934), “Society is unity in diversity.” Dengan itu, kita bisa melihat bahwa UGM adalah tempat menggoreskan warna dari kuas yang diciptakan ribuan orang. Sementara, terkait ketimpangan fasilitas antarfakultas, Paijo berkata, “Aku harap UGM bisa berbenah diri (kedepannya). Dari pihak internal harus berbenah untuk menyesuaikan alokasi fasilitas untuk tiap fakultas. Apalagi, mahasiswa kan udah bayar uang kuliah tunggal (UKT). Harusnya UKT digunakan secara optimal untuk keperluan mahasiswa.” Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis juga menyetujui bahwa alokasi dana perlu diutamakan untuk perbaikan fasilitas agar kedepannya, disparitas fasilitas antarfakultas dapat diminimalisasi.

Referensi

Mead, G. H. (1934). Mind, Self, and Society. University of Chicago Press.

Mojok. (2019, January 13). Stereotip Jurusan Kuliah yang Menyebalkan tapi Relatable AF. Mojok.co. https://mojok.co/komen/sensus/stereotip-jurusan-kuliah-di-indonesia/ 

Wen, X., Zhao, Y., Yang, Y. T., Wang, S., & Cao, X. (2021). Do Students With Different Majors Have Different Personality Traits? Evidence From Two Chinese Agricultural Universities. Frontiers in Psychology, 12. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.641333

Pengunjung :
443

Solverwp- WordPress Theme and Plugin