Oleh: Senja Amerta
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, atau biasa disebut FEB UGM, merupakan salah satu fakultas terkemuka yang ada di Indonesia. Pada tahun 2022, fakultas tersebut berhasil memperoleh peringkat tinggi dalam QS World University Ranking 2022 by Subject. Bagaimana tidak, FEB UGM memiliki reputasi akademik yang baik sebagai hasil dari program-program akademiknya. FEB UGM juga sering menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan serta lembaga industri lain, yang secara tidak langsung dapat memberikan peluang kepada mahasiswanya untuk terlibat dalam pengalaman praktis terhadap dunia bisnis. Bukan hanya itu, FEB UGM juga telah melahirkan banyak alumni sukses yang berpengaruh di Indonesia.
Citra ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Akan tetapi, dibalik pencapaian-pencapaian tersebut, terdapat sebuah fakta yang mungkin belum diketahui oleh banyak pihak. Masyarakat luar barangkali hanya mengetahui bahwa mahasiswa FEB UGM adalah seseorang yang berkualitas dan memiliki potensi tinggi. Akan tetapi, mereka tidak sadar bahwa terdapat suatu budaya yang bisa dibilang mencekik mahasiswanya. “FEB UGM KERASSS BOSSS”. Itulah julukan yang pantas diberikan untuk fakultas ini.
Tiga koma tujuh lima (3,75). Angka ini telah menimbulkan berbagai persepsi di kalangan mahasiswa. Sebagaimana diketahui, FEB UGM menetapkan sebuah passing grade indeks prestasi semester (IPS) yang terbilang tinggi, yaitu sebesar 3,75, untuk mahasiswa yang ingin mengambil 24 satuan kredit semester (SKS) per semester. Mungkin, tujuan fakultas menetapkan ketentuan tersebut guna memacu kinerja para mahasiswa agar dapat bersaing di dunia kerja. Namun, pihak fakultas lupa bahwa hal ini mampu menimbulkan sebuah tekanan tertentu kepada para mahasiswanya.
Pihak fakultas memang tidak mewajibkan mahasiswa FEB UGM untuk mengambil 24 SKS per semester. Akan tetapi, citra yang dimiliki oleh fakultas ini secara tidak langsung membuat mahasiswanya harus dapat mengimbangi stigma-stigma yang ada di masyarakat. Adanya tekanan dari orang tua dan keinginan dari diri sendiri memaksa mereka untuk terus bekerja keras agar bisa mendapat indeks prestasi kumulatif (IPK) yang diharapkan.
Kondisi tersebut menimbulkan suatu permasalahan yang jarang diketahui oleh pihak fakultas, di antaranya yaitu dapat menurunkan tingkat kesehatan pada mahasiswa. Mahasiswa FEB UGM sering merelakan waktu tidurnya agar dapat belajar dan mengerjakan tugas secara maksimal. Bahkan, banyak dari mereka yang rela kehilangan keteraturan dalam menjaga pola makan akibat harus menyelesaikan tugas dengan deadline yang berdekatan. Situasi demikian dapat memicu penurunan kesehatan pada diri mahasiswa seiring berjalannya waktu.
Dampak lain yang ditimbulkan dari diberlakukannya ketentuan ini adalah adalah dikhawatirkan dapat meningkatkan gejala depresi hingga berpotensi bunuh diri. Bagaimana tidak, mahasiswa FEB UGM dituntut untuk perfect di semua mata kuliah yang mereka ambil. Minimal mereka harus mendapat nilai B dan hal ini hanya boleh didapat pada beberapa mata kuliah saja agar dapat memperoleh IPK 3,75. Dapat dibayangkan bagaimana usaha yang harus mereka keluarkan agar dapat mengambil 24 SKS dengan harapan bisa lulus cepat.
Kondisi-kondisi tersebut lambat laun mampu menimbulkan gejala depresi, terlebih apabila hasil yang mereka peroleh tidak sesuai dengan usahanya. Oleh karena itu, sudah menjadi rahasia umum apabila kita melihat kasus mahasiswa yang rela mengakhiri hidupnya secara cuma-cuma karena tidak sanggup untuk menanggung beban di lingkungan perkuliahan. Bahkan, data dari Kepolisian Republik Indonesia pada bulan Januari-Juli 2023 mencatat bahwasanya terdapat 663 kasus bunuh diri atau tiga kasus setiap harinya dan kondisi ini sebagian besar dilakukan oleh mahasiswa.
Situasi inilah yang harus dipertimbangkan oleh pihak fakultas, mengingat ketentuan IPK tersebut bukan lagi berdampak pada kesehatan fisik, tetapi dikhawatirkan akan menjalar hingga ke ranah kesehatan mental. Ketentuan minimal IPK 3,75 agar dapat mengambil 24 SKS juga berpotensi menimbulkan kecurangan yang dapat dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Mereka mungkin saja menghalalkan berbagai macam cara agar nantinya bisa memperoleh IPK yang diharapkan. Bukannya hal ini justru melanggar salah satu nilai etis FEB UGM, yaitu integritas? Maka dari itu, pihak fakultas alangkah baiknya lebih mempertimbangkan kembali dampak yang dapat ditimbulkan dari ketentuan IPK tersebut. Hal ini bertujuan agar mahasiswa memiliki rasa nyaman dalam menjalani perkuliahan dan mampu memaksimalkan potensi mereka tanpa adanya suatu tekanan yang berarti.
Ditetapkannya sebuah ketentuan ataupun peraturan oleh civitas akademika adalah hal yang wajar. Namun, dibalik itu, mereka juga harus mempertimbangkan apakah ketentuan-ketentuan tersebut dapat menimbulkan berkah atau justru sebuah musibah. Seperti halnya ketentuan IPK yang diberlakukan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Pihak fakultas harus lebih mempertimbangkan kembali dampak yang ditimbulkan dari ketentuan tersebut demi terciptanya iklim pembelajaran yang sehat.
Karya ini merupakan pemenang dari perlombaan esai Surat Cinta untuk FEB. Segala opini yang terkandung dalam artikel merupakan opini pribadi dari penulis dan tidak terafiliasi dengan Redaktur BPPM Equilibrium.