WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Melihat Nasib Gig Worker di Bawah Cengkeraman Korporasi  

Oleh: Richelle Fyodorova dan Yulia Dwi Kustari/ EQ
Editor : Ratis Maharanidewi Cesarina/EQ
Desain oleh: Ignatius Eric Liangto/EQ

Hak buruh bagi gig workers telah menjadi sorotan utama di era industri platform antar jemput ataupun antar barang. Seiring dengan munculnya model kerja yang semakin inovatif, perlindungan hak dan kesejahteraan gig workers atau yang sering disebut mitra platform menjadi hal yang esensial. Namun benarkah mereka mendapatkan perlakuan, hak, akses informasi, bahkan aturan kerja yang sesuai? 

Bisnis vs Konsumen: Mana yang Lebih On-Demand?

Dilaporkan bahwa sejak pandemi pada tahun 2021, pendapatan mitra Gojek mengalami peningkatan. Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI), mitra pengemudi GoRide (pengemudi motor) mengalami peningkatan pendapatan hingga 24 persen dibandingkan tahun 2020. Begitu juga dengan mitra pengemudi GoCar (pengemudi mobil) yang melaporkan peningkatan pendapatan hingga 18 persen. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan penghasilan  mitra Gojek (Walandouw dan Primaldhi, 2021).

Meski layanan ini telah memfasilitasi kemudahan dan kenyamanan bagi banyak orang, namun seringkali terdengar keluhan mengenai keseimbangan antara gaji dan jam kerja yang dihabiskan. Sebagian mitra menghadapi tantangan dalam menjaga pendapatan yang tidak selalu sejalan dengan usaha yang diberikan. Selain itu, kekhawatiran juga merambat terkait perlindungan sosial dan jaminan pekerjaan. Mitra sering merasa minimnya perlindungan seperti asuransi kesehatan dan kecelakaan serta kehilangan hak cuti yang terjamin. Kondisi ini menjadikan keseimbangan kerja menjadi poin penting dalam pemberdayaan gig workers

Meskipun terdapat peningkatan pendapatan bagi sebagian mitra Gojek, tantangan kesejahteraan pekerja masih menjadi perhatian penting. Isu-isu seperti gaji yang tidak sesuai dengan jam kerja, kurangnya perlindungan dan tunjangan pekerjaan, serta ketidakadilan dalam sistem kompensasi perlu diperhatikan dan ditangani secara serius. Selain itu, pertumbuhan jumlah mitra di Gojek dapat memberikan indikasi perubahan tingkat kemiskinan, namun evaluasi yang lebih mendalam diperlukan untuk memahami dampaknya secara menyeluruh. Upaya kolaboratif antara perusahaan dan pemerintah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja di industri ini dan memastikan adanya perlindungan yang memadai bagi mitra. 

Lika-liku Kehidupan Gig Workers

Pekerja gig, seperti yang dijelaskan oleh peneliti Nur Huda dari Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), adalah pekerja tidak tetap yang bekerja berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu. Mereka memiliki ciri-ciri pekerjaan yang independen, temporer, berdasarkan proyek jangka pendek, serta jadwal dan ruang kerja yang relatif fleksibel. Pekerjaan gig semakin populer di Indonesia dan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah krisis keuangan global pada tahun 2008.

Meskipun pekerjaan gig memberikan fleksibilitas dalam hal waktu dan ruang kerja, mereka juga menghadapi sejumlah tantangan dan masalah. Salah satu tantangan utama adalah beban kerja yang tinggi. Pekerja gig sering kali harus bekerja dalam waktu yang lama dan intensif untuk mendapatkan penghasilan yang memadai. Jumlah proyek yang harus mereka selesaikan dalam waktu singkat juga dapat menimbulkan tekanan dan stres yang tinggi.

Seperti yang tertulis di atas pekerja gig juga menghadapi ketidakpastian pendapatan. Karena pekerjaan mereka tidak tetap dan berdasarkan proyek, mereka tidak memiliki jaminan pendapatan yang stabil. Selain itu, pekerja gig sering kali tidak memiliki akses ke tunjangan atau jaminan sosial yang biasanya diberikan kepada pekerja tetap. Mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan, jaminan pensiun, atau perlindungan lainnya yang dapat diperoleh oleh pekerja tetap. Ketidaktersediaan perlindungan sosial ini dapat meningkatkan risiko keuangan dan ketidakpastian bagi pekerja gig, terutama dalam situasi darurat atau ketika menghadapi masalah kesehatan.

Konsekuensi dari kurangnya jaminan sosial dan perlindungan kerja bagi pekerja gig dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mereka. Mereka dapat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar, menghadapi risiko keuangan yang tinggi, dan memiliki keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan sosial.

Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja gig, diperlukan langkah-langkah yang melindungi hak-hak mereka dan memberikan perlindungan sosial yang memadai. Regulasi yang jelas dan konkret mengenai hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara pekerja gig dan perusahaan platform perlu diterapkan. Selain itu, perlu juga adanya akses terhadap jaminan sosial seperti asuransi kesehatan dan jaminan pensiun.

Mimpi Indah Gig Worker, Masihkah Sesuai Realita??

Gig economy semakin berkembang dan menguat akibat dorongan dari masifnya digitalisasi. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019, pekerja independen di Indonesia mencapai  33,33 juta per-Agustus 2020. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 26 persen dari tahun sebelumnya. Keberadaan pekerja independen mengalami peningkatan sehingga mendorong perusahaan-perusahaan rintisan untuk membuka kuota rekrutmen yang masif. Perusahaan menjadikan gig workers sebagai pilihan dengan tujuan mendapatkan keuntungan maksimal tanpa mengeluarkan biaya lebih untuk akomodasi karyawan karena pekerja independen tidak terikat dengan perusahaan. Alasan inilah yang juga membuat 50 persen usaha kecil yang ada di Amerika menggunakan sistem ini, (Small Business Labs, 2022).

Tidak hanya pihak korporasi yang diuntungkan dari adanya gig economy, pekerja independen juga dapat menuai beberapa keuntungan dari sana. Salah satu keuntungan atau kemudahan yang diterima oleh gig workers dalam bekerja adalah kebebasan kerja dan fleksibilitas waktu. Pekerja dapat memilih tugas atau proyek yang ingin dikerjakan serta menentukan jam kerja sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing individu. Selain itu, sistem kerja gig membuka kesempatan yang luas bagi setiap pekerja untuk mencari penghasilan tambahan melalui pembukaan proyek-proyek sampingan atau membuka usaha sendiri. 

Namun, selayaknya dua mata koin yang saling berlawanan, sistem gig economy ini juga menuai pro dan kontra. Berdasarkan laporan dari Fair work Project yang dikeluarkan pada Desember 2021, sembilan platform paling terkemuka di Indonesia termasuk layanan taksi mobil, taksi, pengiriman berbasis motor, dan layanan kurir dinilai gagal dalam semua matriks yang terdapat pada the five global principles of fair work. Kelima prinsip tersebut antara lain yaitu gaji yang adil, kondisi yang adil, kontrak yang adil, manajemen yang adil, dan perwakilan yang adil. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem ini tidak dapat memberikan jaminan gaji yang stabil pada gig workers

Beberapa temuan terkait terkait kerentanan gig workers secara empiris salah satunya diidentifikasi oleh Putri dan Heeks (2022) melalui temuannya bahwa terdapat 20 persen pekerja yang diwawancarai memiliki jam kerja lebih dari 100 jam dalam seminggu untuk bisa mencapai upah minimum. Pekerja independen juga memiliki resiko pekerjaan yang cukup tinggi seperti risiko kecelakaan, penipuan, hingga kesehatan. Namun, pekerja ini tidak memiliki jaminan sosial dan jaminan kesehatan dari perusahaan karena dalih bahwa mereka bukan karyawan perusahaan tetapi sebagai mitra sehingga perusahaan tidak memiliki tanggung jawab akan hal tersebut.  

Lantas Bagaimanakah Mekanisme Hubungan Kerja Kemitraan yang Dibangun oleh Perusahaan? 

Jurnal berjudul “Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja “Mitra” Industri Transportasi Online” membahas beberapa isu yang perlu diperhatikan terkait mekanisme hubungan kerja kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan seperti Gojek(Novianto, 2021). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hubungan kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut tergolong palsu.

Para mitra driver dalam layanan platform seperti Gojek menghadapi serangkaian tantangan terkait keterbatasan hak dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan penting. Keputusan-keputusan tersebut antara lain adalah tarif, bonus, dan mekanisme kerja yang seringkali diambil secara sepihak oleh perusahaan platform tanpa memberi kesempatan para mitra untuk bersuara. Terlebih lagi, kendali perusahaan terhadap proses kerja mitra dari sanksi, penilaian konsumen, dan bonus yang digunakan untuk mengendalikan perilaku mitra  tampak otoriter. 

Selain itu, informasi dan data yang dikumpulkan oleh perusahaan platform seringkali terkesan monopoli dimana mitra tidak memiliki akses yang setara terhadap informasi tersebut. Kendala ini menyulitkan mitra dalam memahami dinamika kerja dan potensi penghasilan mereka. Kekosongan regulasi spesifik terhadap pekerja gig menyebabkan posisi mereka menjadi lemah dan ambigu di mata hukum.

Dalam rangka merespons tantangan ini, diperlukan kolaborasi dan upaya bersama dari berbagai pihak. Perbaikan kondisi para mitra memerlukan tindakan konkret, baik dari perusahaan penyedia layanan, pemerintah, bersama dengan pemangku kepentingan lainnya. Pengaturan hukum yang khusus untuk ekonomi gig, perlindungan hak pekerja, dan partisipasi para mitra dalam pengambilan keputusan menjadi syarat penting dalam membangun hubungan kemitraan yang adil, layak, dan berkelanjutan.

Lantas Bagaimana Penetapan Kebijakan Pemerintah? 

Melihat beragam kontroversi yang ditimbulkan oleh adanya sistem gig worker, pemerintah Indonesia perlu menerapkan regulasi yang tepat dan memperjelas hubungan kerja kemitraan yang terjalin antara perusahaan dan pekerja independen. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah memperkenalkan adanya pedoman pembayaran tarif per kilometer untuk memenuhi standar upah minimum. Namun, seiring berjalannya waktu, belum ada data konkret yang dapat menunjukkan bukti bahwa perusahaan telah menerapkan pedoman pembayaran dan upah yang adil untuk pekerjanya. Di sisi lain, hubungan kemitraan yang dijalin kurang proporsional mengingat kontrol lebih besar dimiliki dari sisi platform perusahaan. 

Hal ini ditunjukkan dengan adanya sistem algoritma yang terkesan memaksa pekerja untuk menerima orderan jika ingin performa kerjanya dinilai bagus dan terjaga. Ranah kontrol yang dilakukan platform sudah tidak dapat diklasifikasikan sebagai hubungan kemitraan melainkan hubungan kerja yang mengikat. Dalam praktiknya di Indonesia, peraturan yang signifikan terkait dengan hubungan kemitraan belum dilakukan dengan baik.

Selain itu, permasalahan yang dihadapi pekerja ini tidak dapat diakomodasi dengan baik karena tidak adanya representasi pekerja yang adil di semua platform. Terdapat asosiasi pekerja tetapi tidak diakui secara formal dalam undang-undang maupun oleh platform sehingga para pekerja independen tidak memiliki cara yang sah untuk menyampaikan dan mengungkapkan keluhan kolektif mereka untuk bernegosiasi dengan platform. Sehingga diperlukan adanya upaya untuk membentuk medium, cara, atau prosedur pelaporan dan pengaduan yang sah bagi asosiasi pekerja informal untuk para pekerja independen.

Kesimpulan

Gig Economy menciptakan ekosistem kerja baru yang mampu mendatangkan keuntungan baik bagi platform maupun untuk pekerjanya. Namun berbagai benefit yang dipoles sedemikian rupa makin lama makin kabur dengan adanya realita dunia kerja yang ternyata tidak menyediakan proporsi yang seimbang dalam hal pembagian risiko dan tingkat keuntungan antara perusahaan dan pekerja independen. Peran pemerintah perlu dioptimalkan untuk mengendalikan kontrol platform dan memperjelas hak gig worker yang semakin kabur. Intervensi pemerintah dapat dilakukan melalui penciptaan regulasi dan penegakan pedoman hubungan kemitraan yang adil sesuai dengan the five global principles of fair work demi menciptakan lingkungan kerja yang aman dan ramah bagi seluruh pekerja.

Referensi

Livicakansera, S. (2023). Menggugat Mimpi Indah ‘Gig Economy’. Republika Online. Retrieved August 27, 2023, from https://news.republika.co.id/berita/rw1c8s318/menggugat-mimpi-indah-gig-economy

Mustajab, R. (2022). Mayoritas Tenaga Kerja RI dari Sektor Informal pada Agustus 2022. Data Indonesia. Retrieved August 27, 2023, from https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/mayoritas-tenaga-kerja-ri-dari-sektor-informal-pada-agustus-2022

Novianto, A., Keban, Y., & Hernawan, A. (2022). Mendorong Kerja Layak dan Adil bagi Pekerja Gig: Kajian Awal tentang Ekonomi Gig di Indonesia. ResearchGate. Retrieved August 27, 2023, from https://www.researchgate.net/publication/357930635_Mendorong_Kerja_Layak_dan_Adil_bagi_Pekerja_Gig_Kajian_Awal_tentang_Ekonomi_Gig_di_Indonesia

Putri, T., & Heeks, R. (2022). Indonesia’s gig economy falling short on decent work standards. East Asia Forum. Retrieved August 27, 2023, from https://www.eastasiaforum.org/2022/02/03/indonesias-gig-economy-falling-short-on-decent-work-standards/

Wulandari, T. (n.d.). Apa Itu Pekerja Gig? Peneliti Urai Tren dan Masalah Kelayakannya. Detikedu.https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6398536/apa-itu-pekerja-gig-peneliti-urai-tren-dan-masalah-kelayakannya

Wulansari, A. D., Hernawan, A. & Novianto, A. (2021). Riset: empat alasan kemitraan Gojek, Grab, hingga Maxim merugikan para Ojol. The Conversation. http://theconversation.com/riset-empat-alasan-kemitraan-gojek-grab-hingga-maxim-merugikan-para-ojol-159832

Pengunjung :
310

Solverwp- WordPress Theme and Plugin