WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Pendongkrak Suara Partai Politik: Fenomena Artis Nyaleg

Penulis: Afifah dan Frida Lucy/EQ
Editor: Andini Mahera
Layouter: Naelufara/EQ

Dalam era demokrasi kontemporer, pertunjukan panggung politik seringkali tidak kalah menarik dari panggung entertainment. Fenomena yang semakin lumrah terjadi adalah masuknya orang-orang dari jajaran selebriti ke dalam arena politik sebagai calon legislatif melalui pemilihan umum (pemilu). Dari daftar caleg sementara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tercatat sebanyak 78 selebriti yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemilu 2024. 

Transisi dari sorotan panggung hiburan ke podium politik ini menyita perhatian publik hingga memantik perdebatan sengit dan skeptis masyarakat terhadap kompetensi mereka. Kehadiran artis dalam dunia politik juga memunculkan segudang pertanyaan dalam benak masyarakat. Akankah kehadiran mereka membawa energi segar dalam tata kelola negara dengan menghadirkan perspektif berbeda untuk ruang kebijakan, ataukah pergeseran karir ini hanyalah sekadar upaya mengejar kekuasaan dan kepentingan pribadi mereka? 

Terkait fenomena tersebut, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, M.A., turut memberi tanggapan melalui wawancara pada 30 Maret 2024. Menurutnya, sebagai warga negara, para selebriti memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Namun, terdapat persoalan yang rumit dalam konteks pemilu ini terkait terjunnya kalangan artis ke domain politik yang tidak serta merta murni karena panggilan pengabdian. “Bagi kami, politik adalah jalan pengabdian, sementara, bagi mereka yang terlibat dalam dunia entertainment, itu tidak serta melulu berorientasi pada pengabdian kepada publik,” ujar Alfath. 

Terjadinya fenomena artis nyaleg ini didorong oleh berbagai faktor. Mengutip dari pernyataan beberapa selebriti pada wawancara media, alasan mereka terjun ke dunia politik adalah keinginan untuk menggunakan platform mereka sebagai media penyampaian isu-isu yang mereka anggap penting. Selain itu, terdapat pula ambisi untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat melalui kebijakan publik dan dorongan untuk memanfaatkan popularitas mereka demi memengaruhi opini publik. Namun, motivasi ini seringkali diperdebatkan dengan skeptisisme yang muncul mengenai apakah artis benar-benar memiliki pemahaman yang cukup tentang isu-isu politik atau hanya menggunakan politik sebagai alat untuk memperkuat citra mereka.  

Di tengah skeptisisme tersebut, partai politik tetap kukuh pada pendirian untuk menggandeng kalangan selebriti sebagai kadernya. Hal ini terjadi lantaran partai politik membutuhkan pengeruk suara rakyat dan aspek popularitas dinilai sebagai solusi yang tepat untuk menekan biaya politik. Mengenai hal tersebut, Alfath mengatakan bahwa partai politik sekarang hanya berfokus tentang cara mendudukkan sebanyak-banyaknya kandidat mereka tanpa mempertimbangkan etika publik. Walaupun keputusan tersebut terkesan berisiko mencederai reputasi dan integritas partai, tetapi dengan menyoroti pergeseran substansial dalam politik, yaitu tergesernya pertimbangan ideologis oleh kepentingan pragmatis, hal tersebut tidak terlalu menjadi persoalan di tengah masyarakat saat ini yang cenderung irasional. 

Regulasi dalam Partai Politik 

Panggung politik yang dihias dengan jajaran artis bintang tentunya berdampak pada representasi politik Indonesia. Citra politik Indonesia menjadi buruk ketika golongan non aktivis mendominasi kursi kekuasaan. Hal ini akan berdampak pada kebijakan publik yang diciptakan, tak jarang kebijakan tersebut justru tidak merepresentasikan apa yang menjadi kehendak publik. 

“Terdapat regulasi kepartaian yang mengatur sistem kaderisasi. Namun, dalam kasus tertentu patai politik (parpol) bertindak pragmatis, sehingga memilih caleg dari kalangan artis yang diharapkan mampu mendongkrak perolehan suara partai.”

Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, M.A.

Setiap dari kita memiliki hak yang sama untuk bisa maju menjadi jajaran legislasi, namun perlu diingat bahwa ada asas kepatutan didalamnya. Setiap partai politik memiliki mekanisme kaderisasi, mekanisme transfer knowledge, diklat dan lain lain. Para pejabat publik memang sudah menjalani seleksi dari partai politik atau koalisi partai politik, namun seringkali terdapat kekurangan dalam segi komitmen moral. 

Meskipun partai politik memiliki prosedur formal dalam proses rekrutmen, pimpinan parpol tidak mengeksekusi dengan baik. Melalui penelitian dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelang Pemilu 2004 ditemukan bahwa, meskipun sebagian parpol memiliki prosedur yang jelas untuk memilih calon anggota legislatif, pimpinan parpol sendiri sering melanggar prosedur tersebut. Salah satu permasalahan yang ada di Indonesia yaitu belum tercipta sistem kaderisasi partai politik yang baku dan tersistem.

Dampak dari belum melembaganya sistem kaderisasi ini menyebabkan partai politik lengah dalam proses rekrutmen dan seleksi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa partai politik acap kali mengusung pasangan calon yang memiliki finansial mumpuni atau pasangan yang memiliki tingkat popularitas tinggi di khalayak. “Kalau sekedar mengedepankan popularitas, pada akhirnya parlemen kita sangat nonsense, jauh dari substansi,” ujar Alfath.

Dalam survei yang digagas oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2024, menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam demokrasi cacat (flawed democracy). Melalui lima indikator penilaian seperti; proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik, Indonesia mendapat skor sebesar 6,53 dan menduduki peringkat ke-56 dari 167 negara. 

Lantas dengan demokrasi yang kian mundur dan negara yang kian hancur, adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Masyarakat perlu bijak memahami sekaligus memahamkan sekeliling bahwa cara konservatif dalam pemilu tidaklah benar. Serangan fajar tidak bisa membeli hak suara seseorang, tak sebanding dengan dampak kehancuran di masa mendatang. Karena itu, masyarakat yang berasal dari golongan terdidik diharapkan bisa menyadarkan lingkungan sekitar agar berbenah dan bisa lebih rasional dalam memilih calon pemimpin kita. 

Referensi

Economist Intelligence Unit. (2024). Democracy Index 2023. Economist Intelligence Unit. Retrieved May 21, 2024, from https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2023/

Haris, S., Bhakti, I. N., et al. (2016). PANDUAN REKRUTMEN & KADERISASI PARTAI POLITIK IDEAL DI INDONESIA. Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi.

Rizky Aisyah. (2023, August 24). Daftar 78 Artis yang Maju Nyaleg di Pemilu 2024 dari Berbagai Partai Politik – Tribun-medan.com. Tribun-medan.com. Retrieved May 21, 2024, from

https://medan.tribunnews.com/2023/08/24/daftar-78-artis-yang-maju-nyaleg-di-pemilu-2024-dari-berbagai-partai-politik

Solverwp- WordPress Theme and Plugin