WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Dinamika Kepemimpinan Ala SBY dan Jokowi yang Berujung pada Kepentingan Elitis

Oleh: Ummi Anifah
Foto Oleh: Aisya Prisetyaputri

“Kalau jamannya Pak Jokowi semua soal dirapatkan, jadi keputusan itu diambil bersama. Jamannya SBY lebih ringkas, lebih terarah, dan lebih cepatlah kita mengambil keputusan.” Itulah kira-kira dua potong kalimat yang dikeluarkan oleh Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 ketika diwawancarai oleh Helmy Yahya terkait perbedaan gaya kepemimpinan yang ia alami selama mendampingi dua presiden berbeda

Sejak merdeka, Indonesia telah dipimpin oleh tujuh presiden dengan latar belakang yang berbeda. Gaya kepemimpinan dari masing-masing pemimpin tersebut pun juga berbeda, contohnya dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dalam UUD 1945  Pasal 4 dan 17 disebutkan bahwa dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden juga menteri-menteri. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang presiden harus memiliki sebuah strategi terkait dengan penyelesaiaan masalah dan pengambilan keputusan bersama dengan para menteri dan wakil presiden. 

Andi Mallarangeng, politisi Partai Demokrat, mengungkapkan bahwa cara yang dilakukan  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengoptimalkan kinerja kabinet ialah mendelegasikan tugas kepada menteri ataupun wakil presiden. Hal ini juga diakui oleh Jusuf Kalla ketika menjabat menjadi wakil presiden. “Kami memiliki pembagian tugas, saya mengurus masalah-masalah ekonomi dan kesejahteraan. Kami memang sejak awal sudah menyepakati hal itu,” ungkapnya. Pendelegisian tugas seperti yang disebutkan sebelumnya memangkas proses birokrasi.

Meskipun pendelegasian tugas ini memungkinkanpengambilan keputusan lebih cepat, opini publik menunjukkan hal yang sebaliknya. Banyak masyarakat merasa bahwa pengambilan keputusan di era SBY sangat lambat. Hal ini pun tak disangkal oleh Andi Mallarangeng. Menurutnya, hal itu wajar terjadi karena presiden mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan. Tjipta Lesmana, dalam bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, mengungkapkan bahwa lambatnya SBY dalam mengambil keputusan disebabkan oleh banyaknya pertimbangan dan sifatnya yang perfeksionis. 

Derajad, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), berpendapat bahwa lambatnya SBY dalam mengambil keputusan disebabkan oleh pertimbangannya dalam melobi kepentingan politik untuk keuntungan partai koalisinya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Sri Mulyani ketika mengundurkan diri dari menteri keuangan tahun 2010. Ia mengungkapkan jika keputusan-keputusan  yang ia ajukan tidak diterima dalam sistem politik sebab adanya berbagai kepentingan elit politik yang mendikte pekerjaannya.

Sebaliknya, dalam kepemimpinan Jokowi, untuk memecahkan masalah, digunakan metode partisipatif dengan membawa suatu isu ke dalam bahasan sebuah rapat. “Kalau Pak Jokowi, semua hal kita rapatkan,” ungkap Jusuf Kalla. Menurutnya, ketika ada sebuah permasalahan, Jokowi akan membahasnya terlebih dahulu dengan wakil presiden kemudian dengan menteri yang bersangkutan untuk diambil keputusan bersama. Oleh karenanya, Jokowi dapat menyelenggarakan rapat hingga lima kali dalam seminggu. Bahkan, selama tahun 2015, Jokowi menyelenggarakan  rapat hingga 250 kali. 

Sistem pengambilan keputusan secara partisipatif memiliki sejumlah kelebihan, seperti keputusan yang diambil merupakan keputusan terbaik dan adanya kontrol dari semua pihak, mengingat berbagai elemen yang berkepentingan ikut dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun demikian, sistem pengambilan keputusan dengan metode ini memiliki kekurangan, seperti partisipasi semu dan rapat yang bertele-tele. Hal tersebut juga disampaikan oleh Jusuf Kalla saat ditanya terkait efektivitas intensitas rapat yang digelar oleh Jokowi. “Terlalu banyak dan kadang-kadang kurang efektif, ”ujarnya. 

Era kepemimpinan Jokowi nyatanya juga tak lepas dari isu kepentingan elitis dalam setiap keputusannya. Sebagai contoh ialah perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2016 yang masih memunculkan pasal-pasal karet dan tidak ada batasan hukumnya. Berdasarkan data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama 2014-2019 (tiga kali lipat lebih banyak dari era SBY). Hal ini semakin menunjukkan jika perubahan UU ITE bertujuan untuk melindungi para elit politik dari kritik masyarakat. 

Dikutip dari Supriatma (2019), terdapat kecenderungan Jokowi untuk mengangkat dan menunjuk orang yang ia kenal dengan baik, telah bekerja bersamanya, atau yang terbukti loyal kepadanya. Ini berakibat pada terlanggarnya janji Jokowi yang mengatakan akan berpihak pada kepentingan rakyat, tetapi malah sebaliknya. Ia tetap menjejalkan kepentingan elit politik dalam pengambilan keputusan sebab dirinya yang dikelilingi oleh orang-orang yang ia kenal. 

Gaya kepemimpinan yang diadopsi oleh setiap presiden dalam menyelesaikan suatu permasalahan memiliki kelebihan dan keuntungan masing-masing. Namun, dalam setiap keputusan yang diambil kerap terselubung kepentingan politik yang acap kali dinilai merugikan rakyat. Pemilu presiden 2024 yang sebentar lagi akan diselenggarakan diharapkan dapat menjadi sebuah langkah baru dalam menemukan sosok pemimpin yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya sebuah janji belaka.

Pengunjung :
318

Solverwp- WordPress Theme and Plugin