Oleh: Najwa Ilma Arifah/EQ
Editor: Hilda Bhakti Fahrezi/EQ
Layouter: Vidhyazputri Belva Aqila/EQ
Bohong kalau aku bilang pemandangan yang kusaksikan selama kurang lebih dua jam ini tidak memanjakan mata, meskipun di sisi lain kepalaku juga sudah terasa pusing akibat goncangan-goncangan yang disebabkan oleh jeleknya jalan yang kami lalui. Yah, Ayah memang sudah memberitahuku sejak semalam. Namun tetap saja, jika bisa, aku lebih memilih untuk turun di tengah jalan ini dan duduk-duduk di pinggir sawah-sawah hijau yang baru ditanami itu dibandingkan tergoncang-goncang di dalam sini.
Sebenarnya bukan hanya jalan jelek yang menjadi penyebabnya. Sepertinya satu keluarga kami sekarang rasanya sedang dikejar-kejar sesuatu. Entah sudah berapa mobil yang disalip oleh konvoi mobil keluarga kami. Aku ingin protes karena betapa mengerikannya pemandangan salip-menyalip ini yang tentu saja tidak akan disetujui olehnya, “kalau gak kita salip mereka, lima jam lagi baru sampai kita di dusun.” Itulah kalimat yang selalu jadi balasannya setiap aku atau adik perempuanku protes, berkebalikan dengan adik lelakiku yang terlihat bersemangat sekali setiap Ayahku mengaktifkan skill “pengemudi lintas provinsi” miliknya.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak ambil pusing dan mencoba untuk bersandar di bahu Ibu, mencoba tidur walau sulit. Tidurku seketika batal karena belum lima menit aku terlelap, Ayah sudah berseru, “ayo siap-siap, bentar lagi kita sampai!”
Aku berdecak dalam hati, ya bagus sih sebenarnya, cepat sampai cepat juga selesai. Memang harus kuakui jika sejak tadi Ayah dan keluargaku yang lain tadi tidak ngebut dan menyalip semua objek, entah itu bus, motor, mobil, gerobak siomay, remaja-remaja tanggung yang bonceng tiga, dan berbagai objek lainnya yang normal lewat di jalanan lintas kabupaten ini, yang sama ‘liar’nya kalau sudah ada di jalanan seperti ini, mungkin ucapan Ayah malah beneran kejadian.
Mobil-mobil kami mulai melambat, dan masuk ke jalan-jalan dusun yang lebih sempit, membuat Ayah ekstra hati-hati ketika memainkan setir kemudinya. Kami segera turun ketika akhirnya mobil berhenti di satu rumah panggung dengan cat kuning terang, berdiri tinggi tegak di antara rumah-rumah lainnya. Dibanding rumah panggung lain, rumah ini bisa kukatakan sedikit lebih besar dan lebih bagus dari rumah-rumah panggung di sekitarnya. Tepat di sebelah rumah panggung yang kami singgahi, terdapat gerbang masuk ke TPU. Sepertinya di sanalah tempat yang akan kami ziarahi nanti.
“Rumah siapa ini, Yah?” tanyaku.
“Ini rumahnya Nenek Surti,” jawab Ayah pendek.
“Siapa itu Nenek Surti?” lanjutku karena seingatku, tidak ada nenek, kakek, atau buyut-buyutku yang bernama Surti.
“Beliau saudarinya kakek buyutmu.”
“Oh, kakek buyut punya saudara?”
“Iya, sudah meninggal,” sambungnya.
“Terus, ada yang menjaga rumah ini sekarang, Yah?”
“Ada, cucunya. Bisa dibilang sepupu jauh Ayah, juga Pamanmu.”
Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut meskipun masih banyak yang ingin aku tanyakan. Seperti kenapa baru kali ini kita pergi ke sini? Atau pertanyaan lain, apakah kita punya keluarga lain lagi yang belum pernah kita temui? Mungkin akan aku tanyakan nanti saja, atau mungkin nanti aku akan menemukan sendiri jawabannya. Kulepaskan sandal dan berjingkat-jingkat kunaiki tangga kayu yang cukup curam dengan perlahan, kemudian bergegas masuk ke dalam.
Kusalami pria paruh baya di depanku itu setelah mengetahui kalau ia lah tuan rumahnya, sekaligus keluarganya yang lain dengan sopan. Kemudian tanpa ba-bi-bu aku bergegas duduk di karpet dan mengabsen satu-satu kue yang disajikan oleh tuan rumah. Aku, ibu, adikku, sepupuku, dan bibi-bibiku mulai melahap makanan-makanan yang disajikan. Kami makan sambil berbincang-bincang ringan, sementara rombongan laki-laki sepertinya belum ada yang menyentuh makanan, mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu.
Sayup-sayup aku mendengar Ayah dan Paman berbicara. Ayah mengatakan sesuatu kepadanya.
“Ayah minggu kemarin bilang sesuatu kepada kami, karena itu hari ini kami memutuskan untuk segera mengunjungi kalian.”
“Apa yang Paman katakan memangnya?” tanya sepupunya itu penasaran.
“Ayah bilang kalau ia didatangi oleh bibinya di mimpi, memintanya untuk segera ajak sekeluarga untuk mengunjunginya.”
“Nenek Surti?”
“Kurasa bisa dibilang begitu, walaupun Ayah bilang ia tidak melihat wajahnya. Tapi, Nenek Surti dikubur di sini bukan?”
“Tentu saja.”
Kami sekeluarga akhirnya ramai mendatangi Tempat Pemakaman Umum (TPU). Tidak terlihat ada tanda-tanda kuburan Nenek Surti di sini. Pada sepetak lahan tersebut, kami hanya melihat tanah kosong yang dipenuhi rumput-rumput tinggi dan tanaman liar di antara kuburan-kuburan tua lainnya. Paman mengajak saudara-saudaranya untuk memangkas rumput-rumput yang menutupi permukaan. Kurang lebih lima belas menit mereka memangkas habis semuanya, dan benar saja, tidak ada tanda-tanda nisan ataupun kuburan lainnya.
“Kuburannya benar-benar tidak ada…” Aku mendengar salah satu bibiku berbisik kepada Ayah.
Walaupun begitu, tujuh bersaudara itu masih belum mau menerima kalau kuburannya tidak ada. Masalahnya, jika mereka ingin membuktikan kalau makam nenek mereka ada di sini, orang yang mereka bisa tanyai untuk sekarang hanyalah cucunya tersebut, dan sama seperti mereka, cucunya pun sebetulnya sama bingungnya dengan mereka.
“Ayah,” Pamanku yang lain, kakak tertua di antara tujuh bersaudara menegur ayahnya. Sepertinya masih ada satu orang lagi yang bisa ditanyai, yaitu kakekku yang daya ingatnya sudah berkurang. Namun, Kakek tidak menyahut, menoleh pun tidak. Ia tidak bergeming dan masih memperhatikan tanah kosong itu. Dari raut wajahnya terlihat jika Kakek benar-benar terkejut, “bagaimana bisa…”
Tanpa aba-aba, Kakek berjalan cepat menuju kuburan lain, berjongkok dan membaca tulisan di nisan-nisan. Sontak para tujuh bersaudara tergopoh-gopoh menghampiri ayah mereka yang sudah sepuh itu, kecuali Paman. Kakak tertua dari tujuh bersaudara itu memilih untuk berbicara dengan Paman yang belum aku ketahui namanya sejak tadi.
“Andi, apakah kau punya catatan atau semacamnya?”
Ia menyerahkan secarik kertas yang kelihatannya sudah cukup tua kepada Si Kakak Tertua. Dalam waktu singkat Paman mencermati isi kertas itu.
“Sejak dulu nama TPU ini pernah berubah tidak?”
“Seingatku tidak, Kak. Sejak dulu, TPU ini namanya tetap sama seperti dulu.”
“Nenek Surti meninggal sebelum atau sesudah kau lahir?”
“Sesudah. Waktu umurku sepuluh tahun aku ikut mensalatkan jenazahnya,” Paman Andi berkata dengan yakin.
“Selama ini kau tidak pernah mengunjungi makam Nenek?”
“Ng, itu… aku sebenarnya baru kembali lagi ke sini sepuluh tahun yang lalu.”
Pamanku menghela nafas pelan. Ia memandangi saudara-saudaranya yang kini telah mengikuti jejak ayah mereka, membaca satu per satu nisan kuburan-kuburan lama di sana.
“Lebih baik kita kembali dulu dan diskusikan ini lebih lanjut bersama Ayah. Apakah ada keluarga kita yang lain yang tahu atau pernah ikut melayat Nenek Surti sebelumnya?”
“Keluarga ya? Sejujurnya, aku tidak yakin ada keluarga yang lain yang bisa kita mintai tolong sekarang,” ia menatap Paman. “Kalian kembalilah ke rumah terlebih dahulu, Kak. Sepertinya ada orang lain yang bisa aku mintai tolong.”
~~~
Di hadapan kami sudah dihadirkan mantan kepala dusun ini yang seumuran dengan Kakek, Pak Imron. Berbeda dengan Kakek, beliau masih terlihat cukup prima untuk orang seusianya. Bersamaan dengan kedatangannya, dibawakan olehnya sebuh buku tebal yang terlihat usang. Aku tebak itu arsip para penduduk dusun yang sudah tiada, atau apalah, pokoknya arsip. Dengan takzim kami satu keluarga menunggui beliau membolak-balik halaman demi halaman buku tersebut, sepertinya sedang mencari apapun yang berkaitan dengan buyutku itu.
“Hm… Surti, ya,” gumamnya pelan. Beliau masih sibuk menjilat ujung telunjuknya dan membolak-balik halaman buku. Aku mencoba mengintip sedikit isinya. Ah, tidak ada yang bisa kubaca. Tulisannya khas tulisan-tulisan orang zaman dulu yang menggunakan huruf tegak bersambung dan miring-miring.
“Bagaimana, Wak? Apa benar di situ kuburannya?” Ayah mencoba membuka percakapan.
Pak Imron diam sebentar, kemudian menatapnya, “kalau berdasarkan arsip ini, memanglah benar kuburan bibi kalian ada di TPU itu,” balasnya. “Apa benar-benar tidak ada?”
“Betul, tidak ada. Sudah kami cek. Yang ada hanyalah tanah kosong saja, Wak.”
Aku melirik satu per satu wajah ketujuh bersaudara di hadapanku. Mereka saling berbisik satu sama lain, membicarakan hipotesis mereka masing-masing mengapa kuburan tersebut bisa hilang layaknya ditelan bumi. Aku pun mampu menangkap bahwa mereka juga samar-samar membicarakan Paman Andi. Duh, kenapa malah jadi acara bergunjing begini? Kugeser posisi dudukku, mencoba mendekat kepada Pak Imron, “err.. Kakek, dulu pernah ada perubahan tidak pada TPU nya? Di samping perubahan nama, misal, perubahan pada lokasi?”
Beliau menatapku sebentar, kemudian kembali membolak-balik halaman buku arsip itu. Sejenak beliau mencerna informasi, “lokasi…” beliau bergumam. “Berdasarkan catatan di sini, sejak dulu hingga sekarang tidak ada perubahan apapun pada TPU ini, kecuali pertambahan jumlah orang-orang yang dikubur, tentunya.”
Pertambahan jumlah orang yang dikubur, lalu lokasi yang tidak pernah berubah. Mungkinkah kalau sebenarnya kuburannya sebetulnya masih ada di sana?
“Apa sampai sekarang masih banyak tanah kosong di lahan itu, Kek?” aku mencoba menyelidik.
Beliau menggeleng, “lahan pemakaman di sana hampir habis karena sudah lama sekali dijadikan TPU oleh warga setempat. Karena hal itu juga, kami mulai mencari lahan baru untuk dijadikan TPU,” jelas Pak Imron kemudian menutup buku tebalnya.
“Sebetulnya aku masih ada pekerjaan yang cukup penting. Mungkin besok pagi aku akan kembali lagi. Hari ini akan aku cari tahu lebih lanjut terlebih dahulu.”
Pak Imron berpamitan dengan kami dan bergegas keluar rumah. Sebelum ia benar-benar pergi dari rumah ini, aku mencegatnya sebentar di tangga rumah,
“Apakah ada kemungkinan kuburan Nenek Surti ditimbun oleh kuburan lain?”
Mendengar pertanyaanku, ia sontak menggeleng, “tidak. Di dusun ini, belum pernah ada satu pun warga melakukan penimbunan seperti itu.”
Pertemuan singkat keluarga kami dengan mantan kepala dusun sepertinya tidak membuahkan hasil bagi para orang dewasa. Akan tetapi, setidaknya aku bisa juga ikut membuat hipotesis yang sama dengan para paman dan bibiku. Kuburannya masih di sana, entah ditimbun atau sebagainya.
~~~
Pagi sekitar jam delapan, tepat setelah keluarga kami sarapan bersama keesokan harinya, Pak Imron datang kembali ke rumah panggung. Ia membawa beberapa buku tebal lain kali ini, sepertinya ada arsip lain selain yang kemarin ia bawa kepada kami. Para tujuh bersaudara, ayah mereka, serta Paman Andi kembali berkumpul di ruang tamu. Sepertinya tidak banyak yang mereka lakukan, membolak-balik dan membaca tumpukan kertas-kertas tebal itu layaknya kemarin. Mau bagaimana lagi, yang sedang diselidiki kuburannya adalah orang yang telah dikubur lima puluh tahun yang lalu.
Aku sendiri masih berdiam diri di halaman belakang rumah panggung, menikmati udara pagi dusun selepas membantu sedikit mencuci piring kotor bekas sarapan tadi. Langit yang tak berawan menyebabkan birunya langit dan jelasnya pemandangan gunung di sana dapat ditangkap dengan jelas oleh kedua mataku. Kuhirup dalam-dalam udara pagi ini. Udara segar seketika memenuhi rongga hidung hingga paru-paru, walaupun aku akhirnya malah bersin. Aku memang cukup sensitif terhadap udara dingin.
Dari belakangku muncul sesosok perempuan muda. Ia adalah Bella, anaknya Paman Andi, bisa dibilang sepupu jauhku.
“Gimana? Enak di sini?” Ia mendatangiku dan memberikanku semangkuk buah stroberi yang terlihat besar-besar.
Aku bermaksud menolaknya dengan melambaikan tangan. Aku sedang tidak berminat makan yang asam-asam. Namun, ia tetap bersikeras, “kau cobalah dulu, menyesal nanti kalau tidak dicoba.”
Akhirnya kuputuskan untuk mencoba sepotong. Mataku membulat, “oh, manisnya!”
Bella tersenyum bangga, “tuh, sudah kubilang.”
Memang rasa stroberi yang kucoba itu tidak sepenuhnya manis, tetap ada rasa asam-asamnya. Namun, jika dibandingkan dengan stroberi yang sudah pernah kucoba sebelumnya, tentu jauh lebih enak stroberi yang ini.
“Ini stroberi khas dusun ini, segar ‘kan?” Ia ikut menyuap sepotong ke mulutnya.
Aku mengangguk dan ikut menyuap sepotong lagi, “oh, aku pernah dengar, tapi baru kali ini aku coba stroberi ini. Apa yang membuat stroberi dusun ini bisa lebih manis dari stroberi lain?”
Bella menunjuk sesuatu. Aku ikuti arah telunjuknya. Oh, gunung itu?
“Tanah di sini subur karena gunung itu. Karena kita berada di kaki gunung, makanya stroberi kita jadi enak,” jelasnya. Aku mengunyah sambil mengangguk menyetujui. Cukup masuk akal, sepengetahuanku, tanah yang berada di sekitar gunung, atau yang biasa disebut tanah vulkanik memang subur. Ditambah suhu di sini yang cukup dingin karena sudah masuk ke daerah dataran tinggi, membantu tanaman seperti stroberi tumbuh dengan baik.
“Walaupun prosesnya memang cukup lama, memakan waktu puluhan tahun dan tidak murah sampai tanahnya jadi bagus, setidaknya kita tidak perlu untuk beli dari tempat lain untuk makan buah seperti ini. Di tempatmu juga pasti jarang ‘kan, ada stroberi seperti ini?” Bella tersenyum mengejek.
Aku mencibir, “ah, memang betul, tapi aku kesal dengar caramu berbicara.” Kuserahkan lagi mangkuk itu kepadanya, “ayo kita ke ruang tamu!”
Kami berdua kembali lagi ke ruang tamu. Terlihat keluarga kami yang lain tampaknya sedang bergegas ingin pergi ke luar. Mau pergi ke mana mereka? Aku mendekati Ayah yang sedang duduk di tangga rumah, memasang sepatu bot. Ada sebuah arit tergeletak di sampingnya. Tak jauh beda dengan keluarga yang lain, khususnya para lelaki, mereka juga tampak membawa cangkul dan alat sejenis.
“Ayah,” tegurku. “Mau ke mana?”
“Ke kuburan.”
“Cari kuburannya Nenek Surti? Memangnya sudah ketemu?”
“Belum, tapi lebih baik dicari langsung.”
Aku melirik Kakek yang sedang duduk diam di kursi dengan posisi menunduk, “Kakek juga ikut?”
“Tentu tidak. Kakekmu ‘kan sedang tidur.”
Aku berdecak dalam hati, merasa bodoh.
“Memangnya mau dicari bagaimana? Kita memangnya punya petunjuk?”
Ayah terlihat berpikir sebentar, “yah, paling ada di sekitar sana. Tidak mungkin juga tiba-tiba pindah.”
“Tapi kenapa bisa sampai hilang begitu sih, Yah? Memangnya selama ini tidak ada yang pernah ziarah ke kuburannya?”
Ayah menatap sekeliling, kemudian menatapku, “jaga bicaramu, Nak. Kita sekarang sedang berada di rumah orang.”
Akhirnya Ayah dan para lelaki kembali berangkat ke TPU, menyisakan dua lelaki, yaitu Kakek yang sedang tidur di atas kursi dan adik laki-lakiku yang katanya tidak tertarik untuk pergi. Beberapa anggota keluarga perempuan lainnya sedang sibuk beres-beres, dan aku juga baru saja dimintai tolong oleh Ibu untuk ikut menyapu ruang tamu bersama Bella, mengingat ruang tamu rumah ini memang cukup luas, khas rumah-rumah lama. Dengan begitu, di ruang tamu sekarang hanya ada aku, Bella, dan Kakek. Kami sepakat kalau aku menyapu bagian depan rumah hingga pintu dan dia di bagian belakang sampai tangga.
Sewaktu sedang menyapu di dekat Kakek, aku memelankan gerakanku, khawatir membuat Ia terbangun, walau ternyata akhirnya terbangun sendiri.
“Permisi sebentar ya, Kek. Nana mau nyapu bentar,” ucapku pelan. Kakek hanya diam menatapku yang tetap sibuk menyapu, sampai akhirnya beliau bergumam sesuatu.
“Nana…”
Kuhentikan kegiatanku dan segera menghampiri Kakek. Kakek… ingat denganku? Masih jelas di ingatanku, sejak tahun lalu, Kakek mulai melupakan satu per satu nama-nama cucunya, termasuk namaku. Tahun ini, keluarga besar kami telah mengetahui bahwa Kakek juga mulai melupakan nama ketujuh anaknya.
“Iya, Kek. Ini Nana. Kakek butuh sesuatu?” Aku merespon dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku kira Kakek benar-benar telah lupa denganku.
Kakek menunduk, terdiam beberapa saat, sampai akhirnya kembali membuka mulut, “Bibi Surti dan ayahku marah karena aku tidak pernah mengunjunginya.”
Mungkinkah kali ini tidak hanya Bibi Surti, tapi kakek buyut juga ikut muncul di mimpi Kakek? Tanpa diminta, Kakek pelan-pelan bercerita panjang lebar kepadaku–hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya dan alhasil, aku terus menunggunya bercerita. Sejujurnya cerita Kakek tidak begitu jelas dan ada banyak hal yang tercampur. Akan tetapi, ada beberapa poin yang bisa aku simpulkan.
Kakek, bersama ayahnya, yaitu kakek buyutku, tinggal di rumah ini sejak Kakek dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Kakek tumbuh tanpa pernah bertemu ibunya, sebab beliau meninggal saat melahirkan Kakek. Sepeninggal istrinya, awalnya kakek buyut memutuskan untuk membesarkan anak semata wayangnya sendiri, tetapi, kakek buyut akhirnya dibantu oleh saudarinya, yaitu Surti. Sejak saat itulah, Kakek menjadi cukup dekat dengan bibinya karena dari dirinyalah Beliau mendapatkan figur ibu.
“… dan Bibi meninggal, dia sakit cacar. Aku salati dan kukubur jenazahnya.” Kedua mata Kakek menyiratkan kesedihan, “semuanya terjadi sangat cepat. Aku belum pernah membalasnya, tapi gunung meletus… aku pergi dan meninggalkan Bibi, lalu tidak pernah kembali…”
Aku sejak tadi hanya mendengarkan. Tetapi, mendengar frasa ‘gunung meletus’, rasa penasaranku membuncah, “gunung meletus?”
“… gunung itu, dia erupsi. Ayah mengajak kami pergi dan benar, gunung itu akhirnya meletus. Satu dusun terkena. Kami selamat karena sudah pergi duluan.”
Sambil mendengarkan Kakek, aku meraih ponselku dan membuka mesin pencarian. Kuketik nama dusun dan nama gunung itu. Hanya ada beberapa artikel yang memberitakannya, tentunya karena letusan itu terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu. Semua artikel yang kubuka sepakat mengatakan bahwa letusannya cukup dahsyat hingga mampu meleburkan dusun-dusun yang ada di kaki gunung itu.
“Lalu kini kuburan Bibi hilang. Seharusnya aku sering menziarahinya…” Kakek terus melanjutkan ceritanya.
Aku menatap lekat-lekat, “kapan letusannya terjadi, Kek?”
Kakek menatap langit-langit rumah, mencoba mengingat, “saat itu usiaku masih dua puluh… sepertinya sudah lima puluh tahun yang lalu,” jawabnya.
“Bagaimana keadaan dusun setelah letusan itu, Kek?”
“Aku hanya dengar kabar, semuanya hancur dan tertimbun. Keluarga yang pergi selamat, sisanya… padahal Ayah sudah mengajak mereka.”
Percakapanku dengan Bella sebelumnya sontak muncul di kepalaku. Stroberi yang enak, tapi butuh waktu lama dan harga yang mahal. Dia pasti membicarakan tentang tanah vulkanik dusun ini, yang tentunya baru bisa menjadi tanah vulkanik yang subur setelah puluhan tahun letusan itu melebur dengan tanah, menghancurkan dan menimbun peradaban di kaki gunung, dan seharusnya, termasuk kuburan Nenek Surti.
Kakek selesai bercerita. Ia diam dan raut wajahnya kembali datar. Aku berhati-hati membuka mulut, “Kek, apakah kuburannya benar-benar di sana?”
“… ya, aku sendiri yang mengantarnya.”
“Kalau begitu, kuburannya memang ada di sana, Kek.”
“Tapi, kuburannya hilang…”
“Seharusnya tidak dengan jenazahnya, kalau memang tidak ada penanda lain di kuburannya.”
Kakek menatapku dengan serius, “tidak mungkin kuburannya kita gali begitu saja!”
Aku berusaha menjawab dengan nada penuh pengertian, sepertinya aku salah bicara. “Kalau begitu, sewaktu Kakek menguburnya, apakah ada penanda lain yang diletakkan di sana?”
“Sebenarnya… ada nisan, dengan ukiran namanya, memakai batu kali yang cukup besar. Tapi entah kenapa kemarin tidak ada.”
Batu berukuran besar. Jika memang ikut terkubur, semoga saja tidak melapuk, dan jika beruntung, semoga ukiran namanya masih terukir di sana. Aku bangkit dari dudukku. Kini aku mulai paham mengapa Nenek Surti sampai masuk ke mimpi Kakek, dan betapa berharganya beliau bagi Kakek. Aku bertekad di dalam hati. Kali ini Kakek harus ikut, “ayo bersiap, Kek. Kita ziarah sekarang.”
Ditemani dengan Bella, Ibu, para bibi, dan Kakek, aku akhirnya kembali mendatangi TPU. Aku berhasil meyakinkan mereka untuk ikut setelah membawa nama Kakek. Beliau tidak lagi menjawab dan banyak berbicara setelah sesi berceritanya tadi. Kami tidak membawa cangkul atau arit seperti rombongan lelaki sebelumnya. Sesampainya di sana, kami tidak menemukan adanya kehadiran para anggota keluarga lelaki kami.
“Ada yang tahu ke mana tadi mereka pergi?” Aku bertanya pada rombongan yang bersamaku.
“Bukankah tadi mereka bilang akan pergi ke kuburan?”
Ya, memang begitu tadi katanya. Tapi di mana mereka sekarang? Cangkul semuanya mereka bawa. Aku memang membawa dua sekop, tapi akan memakan waktu jika aku harus menggali tanah sampai menemukan batu nisan itu.
Namun, biarlah. Mari kita bahas itu semua setelah batu nisan Nenek Surti ditemukan. Aku bertanya kepada Kakekku sekali lagi, “di mana posisi batu nisannya terakhir kali, Kek?”
“… sejengkal dari posisimu berdiri sekarang.”
Aku mengangguk paham. Kuberikan sekop itu kepada Bella. “Bantulah aku,” pintaku. Bella tanpa bicara telah lebih dulu menyekop tanah-tanah gembur di bawah kami. Pantas saja kemarin ada tanaman yang tumbuh hingga mengakar cukup kuat, tanahnya saja memang sesubur ini.
Lima menit kami menggali, belum ada tanda-tanda keberadaan batu nisan. Kami sama-sama berinisiatif menggeser posisi. Sepuluh hingga lima belas menit berlalu dan yang kami temukan hanyalah kerikil-kerikil kecil serta cacing-cacing kuburan. Mulai datang komentar-komentar dari bibiku, menyuruh kami untuk berhenti dan serahkan saja urusan ini menunggu para lelaki. Aku sontak menggeleng, “sepuluh menit, jika lebih dari itu, maka ayo kita kembali.”
Aku dan Bella kembali fokus menggali dan terus menggali. Bukannya apa, sekop yang kami berdua gunakan adalah sekop kecil, karena sekop yang besar telah dibawa para lelaki. Sepuluh menit berlalu, keringat telah membasahi sekujur tubuhku akibat teriknya matahari walaupun waktu belum menunjukkan tengah hari. Pikiran untuk menyerah telah memenuhi kepalaku. Aku sudah ancang-ancang untuk berdiri, namun, Bella tiba-tiba berseru, “batu besar!”
Mendengar seruannya, aku urungkan niatku dan dengan cepat membantunya kembali menggali. Ia benar, itu memang batu kali berukuran besar. Jantungku berdegup kencang ketika kami berdua sama-sama mengangkat batu itu dari kedalaman sekitar tiga puluh sentimeter, kemudian membaliknya. Di sana terbaca olehku, terukir nama ‘SURTI’ meskipun telah samar dan kotor tertutup tanah kuburan.