WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Siapa yang Pergi?

Penulis: Hana Hafizhah 
Editor: Aulia Valerie Fawzia/EQ

Aku terbangun dengan napas tercekat, kurasakan mataku membelalak dan tubuhku berkeringat. Langit kamar berwarna putih dengan lampu pijar kecil nan mati menjadi hal pertama yang menyapaku sekarang.

         Helaan napas lega keluar dari indra penciumanku, setidaknya mereka bukan orang-orang dalam bunga tidurku yang seakan lebih tahu tentang hidupku. Orang-orang yang menyarankanku menikah saja karena tak kunjung dapat kerja setelah wisuda. Orang-orang yang memanggilku perawan tua karena aku sudah memasuki fase seperempat abad, tapi tak kunjung membawa pasangan. Orang-orang yang membandingkanku dengan anak-anak mereka yang sudah berkeluarga dan punya pekerjaan mapan. Orang-orang yang bahkan meragukan ijazahku karena aku tak kunjung lolos lowongan kerja.

         Sial! Sial! Sial!

Tidak ada yang boleh mengatur hidupku selain aku. Kenapa mereka tertarik sekali mengajakku menyelami palung yang sama? Orang tuaku saja membiarkanku beristirahat sejenak sehabis kuliah sembari aktif mendaftar pekerjaan. Mereka tidak membebaniku dengan ekspektasi apa pun. Keluargaku malah senang aku sudah kembali dari perantauan dan menikmati masa bersama kami setelah hampir setengah dekade terpisah.

         Tapi, sepertinya tidak dengan tetangga-tetanggaku. Mereka membebaniku dengan ekspektasi ini dan itu.

         Tanpa sadar ternyata tanganku sudah mendarat di kepala. Jemariku turut menarik rambut-rambut sebelum aku menyadarinya. Getir besi turut menyapa bibirku sebelum aku sempat menghentikannya. Ah, datang lagi.

         Aku menarik napas. Aku tidak boleh kalah dari mereka. Aku masih mempunyai keluarga yang menyayangiku lebih dari seisi dunia.

         Setelah merasa cukup tenang, aku menyandarkan tubuh di kepala dipan. Pandanganku menuju jam dinding yang tergantung di atas meja belajar.

Pukul sebelas siang.

Mataku seketika membulat. Bagaimana tidak? Hari sudah hampir siang, matahari di luar sana ternyata sudah merangkak menuju puncak awang-awang.

Di mana Mama? Mengapa beliau tidak membangunkanku dengan ceramahnya bahwa aku boleh bersantai namun tetap ingat piket bersih-bersih rumah? Aduh, sebenarnya aku sudah tidur dari pukul berapa, sih? Apa aku sudah melaksanakan jadwal bersih-bersihku hari ini? Atau jangan-jangan, sebetulnya aku tadi sudah menyapu dan mengepel sesuai jadwal sehingga Mama membiarkanku tidur lagi?

Namun, sekeras apapun aku mengingat apa saja yang sudah kulakukan hari ini, aku hanya bisa mengingat kalau aku baru bangun sekarang. Itu kedengaran konyol karena Mama tidak mungkin membiarkanku berhibernasi selama ini.

Kepalaku rasanya diserang pening. Aku tidak bisa membayangkan semarah apa Mama sampai beliau tidak mau membangunkanku. Hal ini terdengar lebih masuk akal karena aku pernah mendengar bahwa marahnya orang sabar adalah diam. Mama adalah orang yang sabar.

Tidak seperti mereka yang beringas menyuruhku macam-macam.

Setelah menghela napas, kubawa kaki-kakiku menuruni tempat tidur. Aku tidak bisa lari dari Mama. Aku akan mengendap-endap keluar sembari memikirkan rangkaian kata yang bagus untuk meminta maaf.

Kusempatkan menggosok mata sebentar sebelum berdiri agar pusingku tidak terlalu larut. Tepat di saat itulah, aku menyadari kalau pintu kamarku tidak sempurna tertutup.

Seseorang lewat dengan langkah besar-besar. Kepalanya botak, badannya agak gempal, dan ia memakai baju serba hitam.

Aku terpaksa mengucek mata lagi, memastikan kalau aku tidak salah lihat. Sepertinya itu Pak RT. Tidak ada orang lain selain beliau yang punya karakteristik botak dan agak gempal di kampung ini. Apa yang beliau lakukan di sini? Apa ada pencuri di rumah?

Mataku terbelalak. Kalau itu yang terjadi, semua keanehan ini masuk akal. Mana sempat Mama membangunkanku kalau ada pencuri di rumah? Masih beruntung aku dibiarkan hidup dalam keadaan tidur.  

Gerakanku turun dari kasur terlihat terburu-buru. Sebelum keluar, kusempatkan penglihatanku beredar mengelilingi kamar. Sepertinya aman. Tidak ada barangku yang hilang, termasuk botol putih yang berdiri di samping gelas air. Mengapa benda itu ada di sana? Perasaan aku sudah membuangnya karena takut ketahuan Mama. Kuraup botol itu cepat-cepat dan kubuang ke tempat sampah di samping meja.

Sekarang, bagaimana dengan keluargaku di luar kamar? Bagaimana dengan Papa, Mama, dan adikku, Joana?

Langkahku rasanya ikut besar-besar seperti langkah Pak RT. Kutarik pintu kamar agar aku bisa leluasa melihat kejadian di sebaliknya. Apakah kondisinya seperti kapal pecah? Apakah kami didatangi petugas keamanan? Apakah kami akan diliput televisi nasional?

Tubuhku mematung. Rumahku ternyata tidak dipenuhi realisasi dari pertanyaanku barusan. Ruang keluargaku yang menjadi tempat kedua yang kusambangi setelah bangun tidur malah dipenuhi tetangga-tetangga kampung yang kompak memakai baju warna hitam. Mereka terlihat sibuk mengurus sesuatu di sini dan sana. Ada anggota karang taruna yang menggelar tikar anyaman untuk menutupi seluruh lantai ruang keluarga hingga teras depan. Ada yang hilir mudik dari dapur menuju gerbang luar sambil membawa berkardus-kardus air mineral dan berplastik-plastik roti dua ribuan. Ada pula yang sibuk merangkai bunga melati menjadi kalung-kalung panjang.

Tunggu.

Kenapa mereka seolah menyelenggarakan rumah duka? Bukannya seharusnya mereka memasang siaga satu karena ada rumah yang kebobolan?

Berbagai kemungkinan terburuk menghampiri kepalaku. Jangan-jangan keluargaku ada yang terbunuh karena pencuri itu. Bisa-bisanya aku tertidur tanpa terganggu?

Aku buru-buru berlari ke orang terdekat, Pak Hasan yang senang memameriku foto cucu dari anak keduanya yang seumuran denganku. Beliau tampak terburu-buru mengusung kardus air mineral. Sebenarnya aku agak segan bertanya karena teringat beliau turut menyambangiku dalam mimpi, tetapi rasa penasaranku lebih tinggi. 

“Pak, Pak Hasan, siapa yang meninggal?” Aku berusaha meraih pundaknya.

Namun, aku kalah cepat, beliau sudah melesat menuju teras rumah tanpa memberikan jawaban.

Kuputuskan untuk mendekat ke kumpulan ibu-ibu PKK yang merangkai bunga melati, ibu-ibu yang lebih gencar mencekokiku dengan foto-foto pemuda kenalannya untuk dijodohkan denganku. Kutepuk salah satu bahu dari mereka. Namanya Bu Ranti, aku ingat beliau pernah mencibirku diam-diam tentang ijazah yang kumiliki. Namun, aku tetap berusaha fokus dengan tujuanku sekarang. Aku perlu mengubur keterjatuhanku dalam mimpi itu dalam-dalam.

Anehnya, Bu Ranti sama sekali tidak menoleh. Beliau tampak tenggelam oleh obrolan bersama ibu-ibu lain dengan tangan yang tetap cekatan merangkai bunga melati.

“Bu, siapa yang meninggal, ya?” Aku tetap inisiatif bertanya. “Pak Yudi, Bu Inka, atau Joana?” Jujur, rasanya aku tidak sanggup menyebut satu-persatu nama anggota keluargaku. Aku tidak bisa membayangkan mereka pergi menuju tempat di mana kami tidak bisa lagi berkumpul.

“Iya, kasihan, ya. Mana masih muda. Saya gak bisa bayangin perasaan Pak Yudi dan Bu Inka.”

Tiba-tiba salah satu ucapan Bu Ranti terdengar jelas di telingaku.

Masih muda?

“Maksudnya Joana, Bu?” Aku bisa merasakan kata-kataku bergetar. Joana baru masuk SMA. Ia terhitung masih muda, apalagi di mataku yang selalu memproyeksikan bahwa dia selalu jadi anak-anak.

“Iya, sekarang lagi dimandikan di teras depan. Semoga saja husnul khotimah soalnya ini Jumat. Saya juga gak tahu hukumnya kalau meninggal dengan cara seperti itu.” Terdengar timpalan dari ibu-ibu yang lain.

Dimandikan? Teras depan? Hari Jumat? Joana? Husnul khotimah?

Pikiranku tidak bisa tertata lagi. Sesegera mungkin aku mengarahkan langkahku menuju teras depan, tempat di mana Papa menemukan damainya dengan membaca koran. Sekarang tempat itu dijadikan tempat memandikan mayat?

Aku berusaha mendapatkan jalan di antara orang-orang yang kini memadati rumahku. Suaraku sudah tidak stabil karena mataku mulai berair. Sekedar mengucapkan permisi saja terasa begitu sulit.

Benar saja. Di teras rumahku terdapat bilik yang sepertinya digunakan untuk memandikan mayat. Aku boleh masuk, kan? Aku seharusnya boleh ikut memandikan, kan? Aku sudah baligh dan aku satu keluarga dengan Joana.

Meskipun rasanya sakit membayangkan Joana sudah pergi dari dunia ini, aku tetap memantapkan langkahku menuju bilik, sebelum bahuku ditepuk tiba-tiba oleh telapak tangan yang terasa besar.

“Itu kamu.”

Aku menoleh dan mendongak. Kudapati sesosok tinggi besar berdiri di sebelah. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia membelakangi cahaya.

“Kamu yang pergi. Kamu yang dianggap terlalu tua untuk menikah tapi terlalu muda untuk mati.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin