WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Self-Diagnose sebagai Cermin Krisis Pemahaman Kesehatan Mental

Penulis: Orie Priscylla Mapeda Lumalan
Editor: Hilda Bhakti Fahrezi
Layouter: Vidhyazputri Belva

Kesehatan mental telah menjadi topik yang semakin populer di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z, yang terdiri dari mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Salah satu faktor utama yang memengaruhi adalah perkembangan teknologi dan media sosial yang memudahkan individu mengakses informasi. Namun, meskipun kemajuan ini memberikan kemudahan dalam penyebaran informasi, ia juga membawa dampak negatif, terutama dalam perilaku self diagnose. Menurut Metta Rahmadiana, S.Psi., M.Psi., dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, self diagnose merujuk pada tindakan seorang individu mendiagnosis atau mengidentifikasi kondisi medis/mental diri sendiri, tanpa memperhatikan secara detail (durasi, onset) tanda dan gejala yang ada serta tanpa melalui teknik pemeriksaan yang valid. 

Dengan maraknya konten mengenai kesehatan mental di media sosial, informasi terkait gejala-gejala gangguan mental menjadi semakin mudah diakses. Influencer, platform kesehatan, bahkan teman sebaya seringkali membagikan tanda-tanda umum dari depresi, kecemasan, atau gangguan kesehatan mental lainnya. “An important note, terjadi peningkatan diagnosis mandiri karena informasi yang diperoleh di media sosial seolah-olah semua diagnosis yang dibagikan oleh seorang influencer itu benar dan dapat digeneralisasikan,” ujar Metta. 

Dilansir dari Kompas.tv, pada Rabu (7/6/2023), terdapat unggahan di platform TikTok yang berjudul “POV Terkena ADHD” yang artinya point of view (sudut pandang) mereka yang menderita ADHD. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah kondisi gangguan mental pada perkembangan dan aktivitas otak yang memengaruhi perhatian, hiperaktivitas, dan pengendalian diri. Unggahan tersebut memperlihatkan seseorang yang terlihat tidak fokus berjalan dan kerap menyenggol daun, memungut ranting, dan kakinya menendang batu. Perilaku tersebut diklaim sebagai perilaku saat terkena ADHD. Padahal, hal tersebut hanya contoh kecil dari bentuk-bentuk tindakan ADHD yang lebih beragam.

Di kolom komentar banyak netizen yang mengklaim menderita ADHD hanya berdasarkan kesamaan perilaku tersebut. Fenomena ini sangat mencerminkan bagaimana media sosial membuat individu merasa memiliki pengetahuan cukup untuk mendiagnosis kondisi mental mereka sendiri, hanya bermodalkan video atau postingan. Padahal, diagnosis medis harus melalui prosedur yang lebih kompleks dan dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.

Faktor pendorong pertama dari maraknya fenomena ini adalah kemudahan akses informasi. Sosial media tidak hanya digunakan sebagai sarana berbagi hiburan, tetapi juga untuk menyebarkan informasi mengenai kesehatan mental. Penyebaran informasi seputar isu kesehatan mental, banyak yang hanya bersifat umum dan tidak memperhitungkan kompleksitas yang terkandung di dalamnya.

Menurut Metta, self diagnose kerap terjadi karena adanya dua faktor. Pertama, adanya pengalaman pribadi di masa lalu. Seseorang yang pernah didiagnosis di masa lalu, memiliki kecenderungan untuk mendiagnosis dirinya sendiri apabila mengalami gejala yang sama di masa depan. Kedua, kondisi yang pernah atau sedang dialami oleh anggota keluarga. Ketika seorang anggota keluarga didiagnosis berdasarkan suatu gejala tertentu, orang tersebut akan mendiagnosis dirinya sendiri, ketika mendapati/merasakan gejala yang sama.

Self diagnose dapat memperburuk kondisi mental seseorang. Jika seseorang salah mendiagnosis dirinya dengan gangguan tertentu, mereka mungkin akan merasa terjebak dalam label tersebut dan mengabaikan gejala-gejala yang mungkin menunjukkan gangguan yang lebih serius. Lebih jauh lagi, self diagnose juga dapat menyebabkan peningkatan kecemasan. Hal ini dapat memperburuk kondisi mental mereka dan bahkan mengarah pada gangguan yang lebih serius jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Dalam beberapa kasus, self diagnose dapat menyebabkan seseorang merasa lebih buruk tentang dirinya, memperburuk kualitas hidup mereka, dan mengarah pada isolasi sosial. Selain itu, stigma terhadap orang dengan gangguan mental yang sudah cukup kuat di masyarakat semakin diperburuk dengan self diagnose. Stigma negatif ini dapat menghalangi individu untuk mencari bantuan profesional yang mereka butuhkan.

Metta juga mengingatkan bahwa self diagnose berisiko mengarah pada penggunaan obat yang tidak sesuai atau melakukan self medication. Ini adalah praktik yang sangat berbahaya karena bisa memperburuk kondisi dan bahkan menyebabkan efek samping yang merugikan.

Untuk mengurangi perilaku self diagnose yang marak, Metta menyarankan agar seseorang tidak ragu untuk mencari bantuan dari tenaga profesional, seperti psikolog, psikiater, atau dokter. Mengunjungi seorang profesional adalah langkah pertama yang paling aman dan efektif untuk mendapatkan pemahaman yang akurat mengenai kondisi mental seseorang. Profesional akan melakukan evaluasi menyeluruh dan memberikan diagnosis yang tepat berdasarkan bukti-bukti klinis yang valid. Selain itu, penting untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di kalangan masyarakat, khususnya Gen Z. Edukasi mengenai perbedaan antara gejala ringan dan gangguan mental yang lebih serius dapat membantu masyarakat menghindari kesalahan dalam mendiagnosis diri mereka sendiri. 

Referensi

Nita, D. (2023, June 7). Viral di tiktok “pov terkena ADHD”, awas! jangan self diagnosis, Dampaknya Berbahaya. Kompas.tv. https://www.kompas.tv/lifestyle/413954/viral-di-tiktok-pov-terkena-adhd-awas-jangan-self-diagnosis-dampaknya-berbahaya?page=all#google_vignette

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin