BPPM Equilibrium

Menyelami Sisi Kelam Yogyakarta di Balik Aling-aling Romantisasi: Sebuah Resensi Film Siti (2014) dan Daun di Atas Bantal (1998)

Oleh: Hayfaza Nayottama/EQ

Jogja terbuat dari pulang, rindu, dan angkringan. Opo iyo? Sudah tak terhitung puisi, cerita, dan ungkapan yang melantunkan keindahan Kota Pelajar ini. Seakan tampaknya sudut kota dipenuhi oleh keindahan dan lepas dari penderitaan. Walakin, cukup banyak sisi gelap dari Kota Angkringan ini. Jika menilik status quo, problema pelik macam rendahnya Upah Menengah Provinsi (UMP), kebijakan hak milik tanah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) non pribumi terkhusus keturunan Tionghoa (Instruksi Gubernur DIY No : K.898/I/A/75), hingga klitih masih berputar liar dalam rasan-rasan warga Yogyakarta. Selaras dengan latar tersebut, Siti (2014) dan Daun di Atas Bantal (1988) merupakan dua film yang mengajak kalian menyelami sisi kelam Yogyakarta: penderitaan anak terlantar, premanisme, pencaharian ilegal, dan lebih dalam lagi. 

Siti (2014)

Sutradara: Eddie Cahyono

Sinopsis: Berkisah tentang perempuan bernama Siti (Sekar Sari) yang hidup di pesisir Parangtritis yang menjadi tulang punggung keluarga. Siti mengadu asa sebagai penjual keripik jingking, sejenis kepiting kecil, di Pantai Parangtritis. Di malam hari, Siti menjajakan tubuhnya sebagai pemandu karaoke di sebuah klub karaoke ilegal di areal pesisir pantai selatan. Sang suami, Bagus, merupakan mantan pelaut yang lumpuh, ia pun meninggalkan beban berupa utang dari kapal yang dulunya ia pinjam semasa melaut. Bagus memutuskan untuk tidak berbicara sepatah kata pun kepada sang istri, akibat kekecewaannya atas pilihan karir (sebagai pemandu karaoke) yang Siti ambil. Di lain sisi, Siti bertemu dan jatuh hati dengan Gatot, seorang polisi yang menggerebek tempat ia bekerja. Siti menghadapi dilema sebab ia menginginkan untuk menikahi Gatot, sehingga Siti pun meninggalkan suaminya. Film ini memadukan corak kehidupan pantai selatan dengan konflik moral dalam diri Siti.

Film independen karya Eddie Cahyono ini berhasil mendapat apresiasi positif dari penggemar film dan organisasi penilai film, baik dari segi penulisan skenario, sinematografi, hingga akting. Hal ini terbukti dengan tiga Piala Citra yang Siti (2014) menangkan pada Festival Film Indonesia 2015, penghargaan Best Performance for Silver Screen Award untuk Sekar Sari pada Singapore International Film Festival, dan masih banyak penghargaan lainnya.

Daun di Atas Bantal (1998)

Sutradara: Garin Nugroho

Sinopsis: Berkisah tentang tiga anak kecil yang hidup di kawasan kumuh Malioboro: Heru, Kancil, dan Sugeng. Ketiganya menjalani kehidupan yang keras dibayangi premanisme dan hiruk-pikuk Malioboro. Mereka menginap dalam bengkel milik seorang perempuan paruh baya bernama Asih (Christine Hakim). Ketiga anak jalanan ini menjalani kehidupan mereka dalam fase praremaja: bermain, bercengkrama, hingga menjajal kenakalan. Namun, Asih yang memiliki permasalahan tersendiri, hanya dapat memberi kebaikan dan penginapan pada mereka, di tengah ancaman kerasnya sebuah sudut di Kota Jogja yang siap menerkam masa depan Heru, Kancil, dan Sugeng.

Film karya Garin Nugroho ini meraup banyak prestasi dalam berbagai ajang penghargaan perfilman. Di antaranya, ditayangkan dalam segmen Un Certain Regard dalam Festival Film Cannes 1998, Specialized Jury Prize untuk Garin Nugroho pada Tokyo International Film Festival 1998, Best-Film dan Best Actress-untuk Christine Hakim pada Asia-Pacific Film Festival 1998, dan masih banyak penghargaan lainnya.

Kedua kisah fiksi di atas tercipta melalui karsa sang sutradara yang terinspirasi pengamatan langsung adanya poisoned chalice dalam kota nan indah ini. Meskipun terdramatisir dan mendapat pengaruh kental akan sentuhan sinematik, kedua film cukup memberi gambaran akan kenyataan salah-dua sudut Kota Jogja yang kontras dari romantisasi. Semenjak tahun latar Siti (2014) dan Daun di Atas Bantal (1998) hingga kini, UMP Jogja masih terbilang rendah, klitih masih menghantui sudut sepi jalanan, premanisme masih merongrong, serta pembangunan wilayah dan pemberdayaan masyarakat Jogja juga terus dipertanyakan kualitasnya. Akankah narimo ing pandum menjadi pegangan kuat untuk keberlanjutan kota ini? Akankah ono dino ono upo meyakinkan Siti, Heru, Kancil, dan Sugeng untuk terus berjuang menyambung hidup? Simak selengkapnya pada film Siti (2014) dan Daun di Atas Bantal (1998) lalu selami sisi kelam Yogyakarta.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin