Penulis: Ratis Maharanidewi Cesarina dan Sri Utami/EQ
Ilustrasi Oleh: Almaurfa Kara Khania/EQ
“Mana ada di dunia ini orang melarang mencalonkan diri hanya karena kakaknya bupati. Ini fakta yang kita hadapi.” – Mahfud MD (2020)
Mahfud MD, selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, dalam kutipan tersebut berpendapat bahwa nepotisme tidak sepenuhnya buruk. Menurutnya, pelarangan anak pejabat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum termasuk pelanggaran dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan ini menuai banyak pro dan kontra dalam praktiknya. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nepotisme mulai tercium keberadaannya pasca kebobrokan rezim Orde Baru terkuak.
Langkah Strategis Aliansi Orde Baru
Praktik nepotisme dalam sejarah Indonesia sejatinya telah terjadi sejak abad ke-19. Praktik ini banyak ditemui di perusahaan-perusahaan raksasa yang menjalankan bisnis keluarga. Penunjukan direksi dan pembagian peran atas dasar hubungan khusus telah menjadi suatu kebijakan yang dimaklumi oleh masyarakat awam. Salim Group adalah salah satu contoh konkret dari sekian pelaku bisnis yang menggunakan sistem pengembangan usaha berbasis koneksi dan nepotisme politik.
Dinasti keluarga konglomerat yang cukup menyedot perhatian publik adalah Salim Group. Di tengah sentimen anti-Tionghoa yang menggema di era kepemimpinan Presiden Soeharto, bisnis Salim Group justru melejit dan mencapai pertumbuhan memukau. Kunci besar dalam bisnis Salim Group terletak pada strategi loyalitas dan koneksi terhadap pemimpin rezim yang sedang berkuasa. Dikutip dari Dieleman (2007), pada tahun 1945 ketika Sekutu berbalik memasuki Indonesia, Sudono Salim yang tergabung dalam organisasi koloni pecinan bernama hokcia memilih untuk tetap tinggal dan berperan aktif membantu operasi penyembunyian tentara Indonesia. Secara tidak sengaja, ia pernah melindungi Hasan Din, mertua dari Presiden Soekarno yang lebih lanjut diumumkan pula sebagai salah satu pendiri Salim Group dan menjadi direktur di beberapa perusahaan Liem Bersaudara.
Pada periode kepemimpinan Presiden Soeharto, sekitar tahun 1960, Sudono Salim memperluas jaringannya dengan membentuk kelompok investasi bersama dua orang rekan dan satu sepupu Presiden Soeharto bernama Sudwikatmono. Tidak berhenti sampai di situ, selama rezim Orde Baru ada beberapa upaya bisnis lain antara Sudono Salim dan Presiden Suharto, seperti Yayasan Dharma Putra Kostrad yang didanai oleh Bank Windu Kencana, PT Tarumatex sebagai tender tunggal pembuat seragam militer, dan Yayasan Harapan Kita yang berasosiasi dengan Perusahaan Bogasari (Dieleman, 2007).
Dieleman (2007) menyebutkan bahwa pada awal tahun 1970-an, putra kedua Sudono Salim mulai terjun ke dunia bisnis diikuti dengan masuknya dua putra Presiden Suharto yaitu Sigit Haryoyudanto dan Siti Harjianti Hastuti Rukmana. Dalam haluan Anthony Salim (pemimpin Salim Group generasi kedua), Salim Group mulai mengurangi keterlibatan dengan kerja sama pemerintah meskipun dalam praktiknya, keduanya masih saling bergantung hingga periode awal tahun 1990-an.
Sebagai katalis, praktik nepotisme juga terjadi dari sisi birokrat terutama pada masa pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Setelah 32 tahun memimpin Indonesia, Soeharto digulingkan dari kekuasaan oleh protes umum atas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Definisi korupsi secara luas yang mencakup kolusi dan nepotisme adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. KKN pada masa Soeharto secara politik disebabkan oleh kurangnya akuntabilitas, transparansi, institusi demokrasi, dan kebebasan pers. Di sisi lain, kebijakan ekonomi pada masa Orde Baru berbalik ke dalam penempatan investasi kepada pihak asing dan dorongan yang dipimpin negara untuk industrialisasi substitusi impor (Robertson-Snape, 1999).
Industri pribumi dilindungi dari persaingan eksternal dan impor dikendalikan melalui kebijakan importir tunggal. Menariknya, hak istimewa ini mayoritas diberikan untuk usaha milik Keluarga Cendana atau Salim Group. Mauro (1998) menjelaskan bahwa kuota impor dan izin terkait yang kemudian harus dikeluarkan birokrat sebagai contoh klasik dari pembatasan pemerintah yang mengakibatkan perilaku rent-seeking. Kekuatan patronase terkonsentrasi di satu perusahaan atau individu yang akan diberikan monopoli atas produk tertentu. Salah satu monopoli tersebut adalah impor plastik Panca Holding yang merupakan satu-satunya agen untuk impor plastik. Situasi ini merupakan sumber pengayaan yang signifikan bagi penerima manfaat utama perusahaan di antaranya sepupu Presiden Soeharto, Sudwikatmono, dan dua putra presiden, yaitu Sigit Haryoyudanto dan Bambang Trihatmodjo. Oleh karena itu, selama tahun 1970-an sampai awal 1980-an, seluruh proses perlindungan perdagangan menjadi sangat dipolitisasi.
Kebiasaan yang Dianggap Wajar
Penelitian Malik (2018) menunjukkan bahwa kegiatan penyalahgunaan jabatan dalam pemerintahan atau politik merupakan tindakan merugikan dan berdampak buruk bagi masyarakat. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa korupsi merupakan kegiatan yang memiliki dampak buruk paling besar dari tindakan penyalahgunaan jabatan lainnya. Sementara itu, nepotisme dipandang sebagai bentuk penyalahgunaan jabatan yang memiliki dampak buruk paling kecil menurut survei.
Menurut Lembaga Survei Indonesia (2013), masyarakat memiliki perspektif bahwa korupsi merupakan permasalahan terbesar urutan kedua yang dihadapi Indonesia. Sementara itu, masyarakat masih menganggap bahwa nepotisme merupakan tindakan yang lumrah dan biasa terjadi dalam birokrasi Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya bias implisit dari budaya Indonesia yang secara tidak langsung melestarikan nepotisme. Adanya rasa kekeluargaan dan kekerabatan dalam masyarakat menyebabkan budaya nepotisme sulit hilang. Masih menjadi pertanyaan apakah hubungan yang lebih kuat akan memberikan efisiensi dan efektivitas dalam proses kerja.
Bumerang Maut Penghambat Kinerja Organisasi
Nepotisme secara eksplisit berdampak buruk bagi kinerja suatu organisasi apabila jabatan tidak sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang diterima. Penelitian yang ditujukan kepada staf bagian Human Resource Management (HRM) di sejumlah perusahaan Yordania dan Mesir menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari HRM setuju bahwa nepotisme memperumit pekerjaan mereka. Mereka yang bekerja dengan orang lain ataupun dengan kerabat sendiri mengaku sama-sama merasa kesulitan. Dapat dikatakan bahwa perekrutan kerabat tidak semakin membuat pekerjaan lebih efektif. Nepotisme juga membawa perasaan negatif bagi keseluruhan anggota meskipun orang-orang yang terkait tidak bekerja untuk supervisor yang sama (Hayajenh et al, 1994).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa manajer tidak hanya setuju bahwa perusahaan dengan praktik nepotisme kurang efektif, tetapi mereka juga tidak menginginkan adanya nepotisme dalam unit organisasi mereka. Berdasarkan bukti empiris yang diberikan oleh penelitian ini, tampak bahwa nepotisme melanggar aturan Equal Employment Opportunity (EEO) yang mengakui prinsip “orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat” (Hayajenh et al, 1994).
Sebuah Koneksi Terselubung di Balik Layar
Sistem rekrutmen “asal bapak senang” atau biasa dikenal dengan favouritism telah lama dianggap sebagai rahasia umum yang tabu. Semua orang mengetahui dengan pasti, tetapi enggan untuk membahasnya secara terbuka di muka umum. Praktik ini sejatinya melibatkan banyak pihak mulai dari petinggi atau pejabat atas hingga pekerja teknis dengan kedudukan paling bawah.
Dikutip dari Rosser & Fahmi (2018), telah terjadi tindakan nepotisme dalam manajemen distribusi tenaga pengajar di Indonesia. Peristiwa ini bermula pada masa Orde Baru ketika perserikatan guru dialihfungsikan sebagai alat pengendali korporasi dibandingkan sarana penyaluran aspirasi kolektif. Sebagai timbal baliknya, anggota birokrat memberikan hak monopoli kepada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dampaknya, tenaga pengajar yang memiliki kerabat ataupun anggota keluarga dengan keterlibatan politik bisa dengan mudah memperoleh tempat kerja di wilayah urban. Keistimewaan lain yang diperoleh yaitu mengajar di institusi favorit yang siswanya hanya berasal dari anak-anak pejabat dan tokoh penting. Kecenderungan ini rupanya masih terus berlanjut hingga era Reformasi. Praktik nepotisme masih berulang dengan ditunggangi oleh kepentingan partai politik. Dalam proses distribusi tenaga pengajar institusi pendidikan lokal, status jabatan sangat bergantung kepada koneksi pribadi antara pegawai yang bersangkutan dan pegawai senior atau anggota dari elit politik.
Fakta lain di lapangan yang cukup mengejutkan adalah nepotisme cenderung langgeng dan mengarah ke pembentukan kartel korupsi. Misalnya saja dalam praktik korupsi di tubuh internal kepolisian Republik Indonesia (Polri). Muradi (2012) menyebutkan bahwa praktik nepotisme dianggap sebagai prasyarat untuk mencapai kepangkatan dan promosi jabatan tertentu. Hal ini juga berlaku pada penerimaan anggota polisi baru, baik di level brigadir maupun di level perwira. Istilah “uang pelicin” telah senter dibicarakan untuk memperoleh percepatan karier untuk melewati antrian. Jejak kecurangan ini seolah terbiaskan sebab prosesnya dilakukan sebelum pengajuan ke Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi atau forum serupa di level daerah.
Kanker Ganas Perusak Institusi Publik dan Birokrasi
Selain perusahaan di atas, nepotisme juga terjadi dalam tubuh BUMN. Pertamina menjadi salah satu perusahaan yang disoroti sebagai pusat atau ladang praktik KKN terbesar. Dikutip dari Kompas.com, peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan bahwa Pertamina sangat dikontrol rezim sehingga menjadi pusat ladang KKN terbesar. Pertamina menunjang kekuasaan Orde Baru dari sisi sistem ekonomi dan politik. Pertamina pada periode 1978-1998 merupakan periode nepotisme, ketika terjadinya reorganisasi dari Perta Group ke Perta Oil Marketing Limited (POML). Reorganisasi ini bertujuan agar kesan rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada periode sebelumnya dapat dihilangkan. POML secara perlahan diambil alih oleh inner circle dan family business pemerintah Orde Baru. Pada 1989, terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham menjadi 30 persen oleh Pertamina, 20 persen oleh Yayasan Dana Pensiun Pertamina (YDPP), sisanya 50 persen oleh perusahaan swasta sehingga kontrol pihak swasta yang merupakan family business dan inner circle penguasa cenderung kuat terhadap POML. Kebijakan tersebut tidak lain hanyalah sebagai ladang keuntungan bagi penguasa (Soemarinda et al, 2018).
Kabar Baik untuk Pembangunan Ekonomi Global
Tambahan kesejahteraan instan secara bersama-sama tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara maju, seperti Korea Selatan. Korea Selatan kini tumbuh menjadi negara yang unggul dalam pertumbuhan ekonomi global. Hal ini tidak terlepas dari peran para konglomerat yang dikenal dengan sebutan chaebol (“jae” artinya kekayaan atau property, “beol” artinya faksi atau klan). Chaebol berperan atas kenaikan ekspor Korea Selatan. Perusahaan-perusahaan ini telah memiliki akumulasi modal yang dibutuhkan untuk terlibat di sebagian perusahaan Korea Selatan yang menguntungkan. Pae (2017) dalam artikelnya yang berjudul “South Korea’s Chaebol” menyebutkan bahwa chaebol mendominasi pasar saham Korea. Adapun 5 perusahaan chaebol dengan saham terbesar, antara lain Samsung, Hyundai Motor, SK Group, LG, dan Lotte.
Terlihat pula adanya hubungan saling ketergantungan antara chaebol dan pemerintah Korea Selatan. Pemerintah mempermudah regulasi dan kebijakan yang memungkinkan keberhasilan bisnis chaebol. Sementara itu, sebagai balasannya, pemerintah menuntut agar para pemimpin chaebol mematuhi prioritas dan arahannya. Konsekuensi dari adanya kerja sama antara kedua pihak ini adalah jatuhnya Presiden Park Geun-hye. Ia diberhentikan dan diadili atas tuduhan korupsi dan membocorkan informasi rahasia sebagai bagian dari pengaruh yang kompleks (Premack, 2017).
Kasus korupsi tersebut memicu tuntutan untuk mereformasi sistem chaebol secara ekstensif. Sistem ini memusatkan terlalu banyak kekuasaan kepada segelintir pemangku kepentingan, yaitu mereka yang memiliki ikatan keluarga dengan chaebol. Eksekutif puncak di konglomerat sering mengatur agar anak-anak mereka mewarisi hak pengelolaan sehingga hal ini mengabaikan calon pemimpin nonkeluarga yang lebih berkualitas. Misalnya, pemimpin LG adalah cucu dari pendiri perusahaan, Koo In-Hwe. Demikian pula, chaebol meminjam uang dari satu sama lain dan menggunakan afiliasi mereka sebagai pemasok bahkan jika pemasok luar menawarkan produk yang lebih baik. Moon (2017) dalam Premack (2017) berpendapat bahwa reformasi tidak akan mudah dilakukan karena budaya chaebol sudah berurat berakar dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik. Namun, untuk saat ini, pemerintah tampaknya sedang merancang reformasi secara lamban untuk mengubah perilaku chaebol dan kaitannya dengan pemerintah
Kesimpulan
Kesejahteraan dan keadilan adalah dua prinsip utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan kerja sama yang terintegrasi dari semua pihak agar kualitas hidup bersama bisa ikut meningkat. Tindakan nepotisme sebagai opsi jalan tengah terbukti tidak memberikan kontribusi besar dalam proses penciptaan perubahan ke arah yang lebih positif. Rekrutmen “jalan tol” hanya dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan menjadi alat untuk melanggengkan konglomerasi demi menjamin kelangsungan hidup anak cucunya sendiri.
Referensi
Dieleman, M. H. (2007, June 13). How Chinese are entrepreneurial strategies of ethnic Chinese businessgroups in Southeast Asia? : a multifaceted analysis of the Salim Group of Indonesia. Leiden University Press (LUP), Leiden. https://hdl.handle.net/1887/12076
Hayajenh, A.F., Maghrabi, A.S. and Al‐Dabbagh, T.H. (1994), “Research Note: Assessing the Effect of Nepotism on Human Resource Managers”, International Journal of Manpower, Vol. 15 No. 1, pp. 60-67. https://doi.org/10.1108/EUM0000000003933
Ismansyah, & Sulistyo, P. A. (2010). Permasalahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Daerah serta Strategi Penanggulangannya . DEMOKRASI, 9(1), 43-60.
Malik, A. (2018, Oktober 16). Nepotisme berdampak buruk bagi ekonomi, tapi banyak orang menganggapnya enteng. The Conversation. https://theconversation-com.cdn.ampproject.org/v/s/theconversation.com/amp/nepotisme-berdampak-buruk-bagi-ekonomi-tapi-banyak-orang-menganggapnya-enteng-104575?
Mauro, P. (1998). Corruption: Causes, Consequences, and Agenda for Further Research. Finance and Development, 60.
Muradi. (2012). Polisi Pasca Soeharto : Praktek Korupsi Mengalir Sampai Jauh. Jurnal Sosial Politik, 1(2), 20-36. http://jurnal.unpad.ac.id/jsp/article/view/4099
Kompas (2008). Pertamina Ladang KKN Terbesar Semasa Soeharto. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2008/01/27/2011370/pertamina.ladang.kkn.terbesar.semasa.soeharto
Lembaga Survei Indonesia (2013). International Republican Institute Survey of Indonesian Public Opinion.
Pae, P. (2019). South Korea’s Chaebol. Bloomberg. South Korea’s Chaebol – Bloomberg
Persada, S. (2020, September 5). Mahfud Md: Tidak Ada Larangan Orang Maju Pilkada Karena Kakaknya Bupati. Tempo. https://nasional.tempo.co/read/1383022/mahfud-md-tidak-ada-larangan-orang-maju-pilkada-karena-kakaknya-bupati
Premack, R. (2017). South Korea’s Conglomerates. Business Researcher, 1-12. https://scholar.harvard.edu/files/frankel/files/skorea-conglomerates2017sage.pdf
Robertson-Snape, F. (1999). Corruption, collusion and nepotism in. Third World Quarterly, 20(3), 589-602. https://www.jstor.org/stable/3993323?seq=1&cid=pdfreference#references_tab_contents
Rosser, A., & Fahmi, M. (2018). The political economy of teacher management reform in Indonesia. International Journal of Educational Development, 72-81. https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S073805931730367X
Soemarinda, S., et al. (2018). Kebijakan Pertamina dalam Perdagangan Minyak Indonesia (1969–2015). Populasi, 26(2), 81-95. https://journal.ugm.ac.id/populasi/article/view/44151