WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Menata Ulang Model Bisnis: Mampukah Media Memenuhi Preferensi Gen Z?

Penulis: Virdza Anditha A.P  dan Shaffa Az Zahra 
Editor: M. Faza Naufal   

PT Era Media Informasi (Gatra Media Group) resmi menghentikan seluruh operasional unit bisnisnya per 31 Juli 2024. Keputusan ini diambil sebab Gatra Media Group telah mengalami kerugian terus-menerus selama beberapa tahun terakhir. Kerugian ini menyulitkan mereka dalam melakukan pengembangan yang diperlukan untuk menghadapi dinamika di dunia media. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama Gatra Media Group, Hendri Firzani, dalam surat edaran nomor 02/SPM-DIR-EMI/HF/VII/2024. 

Surat edaran pemberhentian unit bisnis Gatra Media Group

Gatra merupakan salah satu contoh media konvensional yang telah memanfaatkan media digital sebagai perpanjangan tangan bisnisnya. Akan tetapi, relevansi Gatra terhadap pasar belum optimal. Gatra belum mampu menjangkau audiens dengan tepat dan efektif. Disadur dari laman resmi Gatra, distribusi pembaca pada golongan usia di bawah 20 tahun hanya sebesar 3,5%. Golongan usia 21-30 yang sebagiannya merupakan Gen Z  juga hanya memiliki proporsi sebesar 24%.

Sebaran pembaca Gatra berdasarkan usia

Pada tahun 2000, salah satu unit bisnis Gatra Media Group, yakni Majalah Gatra sempat menjadi majalah terbesar dan paling banyak dibaca di Indonesia menurut survei AC-Nielsen. Naasnya, begitu cepat dunia berbalik hingga tiba masanya bagi Majalah Gatra meminjam puisi Yudhistira ANM Massardi; seperti dedaun, runduk pada musim. Lalu, langkah apa yang sepatutnya diambil bisnis media agar tak terus-terusan menelan pil pahit kebangkrutan? 

“Sebab Relevan adalah kata kerja yang disempurnakan dengan berbagai upaya, oleh semua yang rela bekerja”

Perkembangan teknologi kini menyeladang bagai panas di padang, mendatangkan perubahan dalam industri media. Munculnya media baru sebagai buah digitalisasi telah mengancam eksistensi media konvensional–penyalur komunikasi yang dulunya masyhur. Radio, televisi, koran, majalah, dan media cetak lainnya dianggap sudah terlalu lamban dan usang. Sementara itu, media digital yang mencakup platform berbasis internet, seperti situs web, media sosial, dan aplikasi streaming menawarkan interaktivitas dan kecepatan aksesibilitas dalam distribusi informasi. 

Media digital menjadi wahana yang menyenangkan untuk mengonsumsi informasi, terutama bagi generasi muda seperti Gen Z. Rocky Adiguna, Dosen Manajemen FEB UGM, menjelaskan bahwa kebiasaan konsumsi media pada Gen Z didominasi oleh pola yang serba instan dengan preferensi terhadap konten berdurasi pendek. Generasi ini tumbuh bersama media sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup mereka. “Banyak dari mereka bahkan tidak menyadari dunia sebelum era Facebook dan media sosial,” tambah Rocky. Bahkan, melansir Digital News Report 2024 oleh Reuters Institute, sebanyak 60% masyarakat Indonesia mengaku mendapatkan berita melalui platform media sosial.

Media sosial juga menelurkan wajah baru jurnalisme, yaitu citizen journalism atau jurnalisme warga. Konsep jurnalisme ini membolehkan siapa saja menyebarkan laporan peristiwa secara langsung di platform digital masing-masing. Tentu saja, Gen Z yang diidentifikasi sebagai ‘the communaholic’ oleh McKinsey (2018) menyukai tipe jurnalisme ini.  Gen Z sangat menghargai inklusivitas dan aktif terlibat dalam komunitas, baik daring maupun luring, untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. Bunga (nama samaran), seorang mahasiswa yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, mengungkapkan bahwa ia menggunakan media sosial seperti X karena menawarkan informasi yang beragam, mendalam, dan tidak membosankan. Format tulisan dengan tema yang majemuk membuatnya menarik.

Banyak pertimbangan dan tantangan yang dihadapi media konvensional untuk tetap relevan, mulai dari efektivitas produk, keunikan nilai jual, hingga relevansi dari sisi konten. Media perlu mengadaptasi model bisnisnya lebih dari sekadar beralih ke digital untuk memenuhi kebutuhan generasi baru. Bisnis media seperti Kompas telah menunjukkan bahwa beradaptasi dengan format digital bukan hanya tentang mempertahankan eksistensi, tetapi juga membuka peluang baru untuk memperluas audiens dan tetap relevan dalam lanskap konsumen yang terus berkembang. Menurut Bunga, “Transformasi digital yang masif memaksa bisnis untuk mengikuti arah perkembangan dan kebutuhan konsumen. Kesuksesan pada bisnis sangat bergantung pada bagaimana memahami konsumen dan menjadikan wawasan tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan.”

Hal serupa juga disampaikan oleh Rocky Adiguna. Menurutnya, media konvensional sedang dalam mode survival atau bertahan hidup. Perlu misi yang sejalan dengan generasi baru agar tetap relevan. “Misalnya Tempo yang memiliki positioning kuat di dunia media, mereka tetap menjaga keunikannya sembari tetap berusaha relevan memberi konten demokratis. Konten semacam itu yang biasa kita lihat di TikTok, Tempo menayangkannya lewat kanal Youtube.” Melansir dari Tempo Institute, Tempo memang terus berinovasi untuk membuat produk jurnalistik yang dinamis, salah satunya dengan siniar (podcast) Bocor Alus Politik yang ditayangkan di kanal YouTube mereka. Selain menjadi sebuah cara baru dalam menyajikan berita, siniar ini juga membuka ruang dialog yang personal dan interaktif antara media dan audiensnya, selaras dengan preferensi Gen Z.

Siniar “Bocor Alus Politik” Tempo yang tersedia di berbagai platform media sosial

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin