Oleh: Najwah Ariella Puteri/EQ
Editor: M. Azka Rifa’i/EQ
Layouter: Nabila Romanova/EQ
“Di Korea Selatan, berhasil masuk SKY adalah satu-satunya jalan untuk masuk ke strata sosial yang lebih tinggi.”
Pernahkah Kompanyon membayangkan jika di Indonesia, UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) adalah ujian penentu jalan hidup Kompanyon ke depan? Pernahkah Kompanyon membayangkan, bagaimana jika jalan satu-satunya untuk sukses di Indonesia adalah dengan berhasil masuk ke UI, UGM, dan ITB saja? Jika Kompanyon gagal masuk di ketiga universitas tersebut, maka akan otomatis dicap sebagai manusia gagal dan pasti tak akan punya karir yang bagus. Di Korea Selatan, anggapan akan universitas top SKY dan kesuksesan nyata adanya. Di negara ini, gagal di ujian masuk universitas adalah suatu dosa besar yang bisa membuat Kompanyon memiliki masa depan yang tak menentu.
Jika Indonesia memiliki UI, UGM, ITB, Amerika memiliki Ivy League, maka Korea Selatan memiliki SKY. SKY (Seoul National University, Korea University dan Yonsei University) adalah tiga universitas paling prestisius di Korea Selatan. Tak main-main, ujian untuk masuk ke universitas di Korea Selatan atau biasa disebut dengan ujian Suneung (College Scholastic Ability/CSAT) merupakan salah satu ujian yang dianggap tak hanya sebagai penentu universitas mana yang akan menerima mereka tetapi juga penentu karir mereka ke depannya. Ujian Suneung (CSAT) ini dilaksanakan selama 8 jam dan terdiri dari 6 subtes, yaitu Bahasa Korea, Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah, IPS/IPA, dan Bahasa Asing Kedua.
Saking pentingnya, pemerintah bahkan melarang pesawat untuk mendarat dan terbang selama 40 menit di jam ujian subtes Listening Bahasa Inggris, dan transportasi publik juga ditingkatkan serta diprioritaskan untuk para peserta ujian agar bisa sampai di tempat tes tepat waktu. Di hari ujian, tak hanya peserta saja, tetapi seluruh warga Korea Selatan pun turut merasakan atmosfer menegangkan dari ujian Suneung (CSAT) ini.
Di Korea Selatan, SKY merupakan tujuan dan impian semua siswa-siswi SMA. Para remaja ini telah merelakan waktu bermainnya selama bertahun-tahun hanya untuk belajar demi ujian Suneung (CSAT) dan masuk SKY. Kegagalan di ujian Suneung (CSAT) bagi mereka bukanlah pilihan melainkan kekalahan absolut. Gagal masuk SKY berarti gagal mendapatkan pekerjaan impian dan karir yang cemerlang. Hal ini sama artinya dengan gagal di kehidupan. Berdasarkan data yang dihimpun dari The Korea Times di tahun 2023, ujian Suneung (CSAT) diikuti oleh sekitar 504,588 peserta yang terdiri dari 64,7 persen siswa SMA dan 31,7 persen peserta yang sudah lulus SMA.
Diagram 1. Perbandingan Status Pendaftar CSAT di Tahun 2023, Terdapat 64,7 Persen Siswa SMA, 31,7 Persen Peserta yang Sudah Lulus SMA, dan 3,6 Persen Tanpa Keterangan. Sumber: The Korea Times.
Nah, dari 500 ribu lebih peserta tersebut, hanya sekitar 1% yang akan diterima di SKY. Hal ini menjadikan ujian Suneung (CSAT) sangat kompetitif, terutama bagi peserta yang mendaftar ke SKY dengan tingkat penerimaan sangat rendah.
Diagram 2. Perbandingan Total Pendaftar CSAT dengan Jumlah Pendaftar yang Diterima di SKY. Sumber: BBC News.
Lantas, jika ujian Suneung (CSAT) dan SKY memang sepenting itu bagi mereka, sebenarnya apa yang membuat SKY begitu prestisius? Mengapa berhasil masuk SKY merupakan jaminan kehidupan yang mapan di masa depan?
Jika Kompanyon pernah menonton K-Drama berjudul “SKY Castle”, mungkin Kompanyon paham jika ambisi masuk SKY bukan hanya dimiliki oleh para calon mahasiswa tetapi juga para orang tua. Di dalam drama ini, ditampilkan bagaimana keluarga-keluarga kaya di Korea Selatan melakukan segala jenis upaya agar anak-anak mereka bisa masuk ke SKY, sekalipun hal tersebut merugikan orang lain. Di drama lain, “Duty After School”, kita juga diperlihatkan mengenai ambisi anak-anak kelas 12 SMA dalam menghadapi ujian Suneung sekalipun kondisi dunia sedang kacau akibat invasi bola-bola alien. Mereka bahkan rela masuk ke kamp militer demi mendapatkan poin tambahan di ujian Suneung (CSAT), sekalipun jika nyawa mereka adalah taruhannya.
Dua K-Drama di atas menggambarkan realitas sosial di Korea Selatan. Masuk SKY, baik bagi orang tua maupun calon mahasiswa merupakan suatu hal yang begitu diagung-agungkan. Kata SKY atau jika diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Inggris berarti langit, menggambarkan bagaimana anak muda Korea Selatan berusaha meraih langit atau puncak tertinggi di sana. Kata SKY juga berarti bahwa meskipun ia tak mudah diraih tetapi sekalinya kalian dapat meraihnya, maka kalian dapat melihat penjuru bumi dengan lebih jelas dan luas (metafora masa depan karir mereka). SKY merupakan nama yang cocok untuk menggambarkan tiga universitas paling prestisius di Korea Selatan yang setiap tahunnya memilih manusia-manusia pilihan saja untuk diangkat ke langit. Ketika berhasil diangkat ke langit, menaiki tangga elite sosial Korea Selatan bukanlah hal yang sulit. Di mana pun mereka berada, pintu kesuksesan akan selalu terbuka lebar.
Mengenal Lebih Dalam SKY Universitie
- Seoul National University (SNU)
Seoul National University (Seoul Daehakgyo) adalah universitas negeri paling bergengsi di Korea Selatan. Universitas ini memiliki 4 kampus dengan Gwanak Campus sebagai kampus utama yang berlokasi di bagian selatan kota Seoul, Yeongeon Medical Campus yang berlokasi di utara kota Seoul, dan dua kampus di luar kota Seoul, yaitu Pyeongchang Green-Bio Campus dan Siheung Campus. SNU memiliki sejarah yang sangat panjang di dunia pendidikan Korea Selatan. Universitas ini didirikan pada tanggal 22 Agustus, 1946 dan merupakan hasil penggabungan dari beberapa institusi pendidikan tinggi yang sebelumnya telah didirikan di era dinasti Joseon, seperti Gyeongseong University (Gyeongseong Daehakgyo) dan Gyeongseong College of Education (Gyeongseong Sabeomhakgyo). Motto dari SNU adalah Veritas Lux Mea (Kebenaran adalah Cahayaku).
Berdasarkan survei tahun 2024, SNU menempati peringkat 13 di Asian University Ranking dan peringkat 41 di QS World University Rankings, serta menempati peringkat 1 di Korea Selatan. Universitas ini memiliki total 26,662 mahasiswa dengan 2,867 diantaranya merupakan mahasiswa internasional. Beberapa tokoh terkenal yang merupakan alumni SNU, diantaranya seperti aktris Kim Tae-Hee, Founder HYBE Corporation Bang Si-Hyuk, dan First Lady Korea Selatan Kim Keon-Hee.
- Korea University (KU)
Korea University (Goryeo Daehakgyo) adalah universitas swasta pertama di Korea Selatan yang dikelola oleh orang Korea asli. KU berlokasi di pusat kota Seoul atau di daerah An-Am yang dekat dengan stasiun kereta dan bus. Universitas ini didirikan di tahun 1905 dengan didanai oleh dana hibah kerajaan dari Raja Gojong dan dikelola oleh seorang bendahara kerajaan Korea, Lee Young Ik, dengan nama awal Bosung College. KU pertama kali didirikan untuk mendukung semangat “Pendidikan Menyelamatkan Negara” yang muncul sebagai respon atas perjanjian Jepang-Korea 1905. Akan tetapi, lama-kelamaan, karena adanya tekanan dari pemerintahan imperial Jepang dan The Great Depression, Bosung college menghadapi banyak kendala operasional. Baru setelah kemerdekaan Korea Selatan di tahun 1945, tepatnya pada tahun 1946, Bosung College kembali hidup dan berganti nama menjadi Korea University. KU kini memiliki motto Libertas, Justitia, Veritas (Kebebasan, Keadilan, Kebenaran) yang tercermin dari sejarah panjangnya sebagai universitas simbol perjuangan dan perlawanan rakyat Korea.
Berdasarkan survei tahun 2024, KU menempati peringkat 7 di Asian University Ranking dan peringkat 79 di QS World University Rankings, serta peringkat 7 di Korea selatan. KU memiliki total 25,378 mahasiswa dengan 4,452 mahasiswa internasional. Selain daya tarik akademisnya, salah satu hal yang membuat universitas ini menjadi semakin menarik adalah gaya bangunan Gothic Style ala Eropa abad pertengahannya yang menampilkan kesan megah dan elegan, seperti kampus-kampus di Eropa. Selain itu, KU juga memiliki beberapa alumni terkenal, seperti member boyband 2PM Ok Taec-Yeon, atlet Figure Skating Cha Jun-Hwan, dan aktor Park Jeong-Min.
- Yonsei University (YU)
Yonsei University (Yonse Daehakgyo) adalah universitas swasta Kristen di Korea Selatan yang didirikan di tahun 1957. YU berlokasi di Seoul, Korea Selatan. Universitas ini memiliki sejarah yang cukup panjang sejak tahun 1885, yaitu ketika dua misionaris medis, Horace N. Allen dan Horace G. Underwood memulai aktivitas mereka di bidang medis dan pendidikan di rumah sakit Chejungwon, Korea Selatan. Mereka berdua merupakan dua orang pertama yang memulai institusi pendidikan medis yang kemudian menjadi dasar dari berdirinya Yonsei University, yaitu Yonhi University dan Severance Medical School. Di tahun 1957, Yonhi University dan Severance Medical School bergabung dengan nama baru Yonsei University. Nama Yonsei diambil dari kata Yon dari Yonhi University dan Sei dari Severance Medical School. Sebagai universitas swasta Kristen, YU memiliki motto yang diambil dari ayat Alkitab, Yohanes 8:32, yaitu Cognoscetis Veritatem et Veritas Liberabit Vos (Kamu akan mengetahui kebenarannya dan kebenaran itu yang akan memerdekakan kamu).
Universitas ini memiliki total mahasiswa sebanyak 23,587 dengan 4,921 merupakan mahasiswa internasional. Berdasarkan survei tahun 2024, YU menempati peringkat 6 di Asian University Ranking dan peringkat 76 di QR World University Rankings, serta peringkat 2 di Korea Selatan. Selain itu, YU juga terkenal karena jaringan globalnya yang luas serta kontribusi akademik dan fokus perhatiannya pada sustainable development. Yonsei University juga memiliki beberapa alumni terkenal, seperti Founder JYP Entertainment Park Jin-Young, Presiden wanita Asia Society Kang Kyung-Hwa, dan mantan atlet serta entertainer Seo Jang-Hoon.
Tekanan Akademik untuk Masuk SKY dan Tingkat Stres Remaja yang Tinggi
Berdasarkan polling yang diadakan oleh National Youth Institute dari Juli-Oktober 2020, hampir 1 dari 3 siswa-siswi SMP dan SMA di Korea Selatan berpikiran untuk bunuh diri akibat stres akademik yang tinggi (Yoo, 2021). Jika dirincikan mengenai alasan keinginan bunuh diri ini, sebanyak 39.8% dikarenakan masalah akademik, 25.5% karena kekhawatiran akan masa depan dan pekerjaan, 16% karena masalah keluarga, 4.8% karena konflik dengan teman sekelas, dan 1.7% karena masalah ekonomi (Yoo, 2021).
Diagram 3. Persentase Alasan Keinginan Bunuh Diri Siswa SMP-SMA di Korea Selatan di Tahun 2020. Sumber: Yonhap News Agency.
Jika dilihat kembali, dua penyebab keinginan bunuh diri teratas adalah masalah akademik dan kekhawatiran akan masa depan dan pekerjaan. Dua alasan ini memiliki benang merah, yaitu pada kekhawatiran akan masa depan mereka.
Dilansir dari Berkeley Political Review, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor 4 di Korea Selatan, di mana rata-rata ada 40 orang yang melakukan bunuh diri setiap harinya. Angka ini tentu merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan, 90% dari orang yang melakukan bunuh diri di tahun 2016 memiliki riwayat penyakit mental, seperti depresi atau kecemasan yang diakibatkan oleh stres (Singh, 2017). Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh JoongAng Ilbo dan Teamblind, sekitar 70 persen pekerja kantoran di Korea Selatan mengalami burn-out. Adapun, faktor utama yang mempengaruhi tingkat burn-out pekerja di Korea Selatan adalah seberapa penting pekerjaan mereka dan hubungan pekerja dengan bos. Hal ini berarti jika semakin para pekerja merasa pekerjaanya penting maka semakin rendah kemungkinan mereka merasa stres ataupun burn-out. Secara keseluruhan, berdasarkan data yang dihimpun dari World Happiness Report (WHR) 2022, indeks kebahagiaan yang diukur dengan data tahun 2019-2021 ini menempatkan Korea Selatan di peringkat ke-59 dari 146 negara. Adapun, perhitungan indeks kebahagiaan WHR ini didasarkan pada enam aspek, diantaranya GDP per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan untuk membuat pilihan, kedermawanan, dan tidak adanya korupsi.
Tingkat stres di Korea Selatan yang cukup tinggi ini berasal dari budaya bekerja dan belajar mereka yang lama, di mana bekerja ataupun belajar hingga larut malam merupakan hal yang lumrah. Adapun, kebiasaan bekerja dan belajar hingga larut malam ini kemungkinan disebabkan oleh kekhawatiran akan kejatuhan ekonomi seperti yang pernah terjadi di tahun 1997 (Singh, 2017). Kekhawatiran akan kejatuhan ekonomi ini pada akhirnya membuat baik pekerja maupun pelajar di sana bekerja dan belajar terus-terusan sepanjang hidup mereka agar mendapatkan hasil yang terbaik. Sebagai contoh, meskipun SMA biasanya selesai jam 4 sore, siswa biasanya tetap mengambil les tambahan untuk persiapan ujian Suneung (CSAT) hingga larut malam. Bahkan banyak dari mereka yang setiap harinya hanya tidur selama 2-3 jam demi jam belajar yang lebih lama.
Di Korea Selatan, kemampuan seseorang dilihat dari seberapa bagus nilai tesnya. Berhasil masuk ke SKY merupakan salah satu pertanda jika kamu merupakan bagian dari 1% mahasiswa jenius dan tentu saja, kombinasi dari nama baik universitas, kecerdasan, dan jaringan alumni yang luas akan dapat mempermudah kamu masuk ke dunia kerja. Dalam hal ini, berhasil masuk SKY bukan hanya berarti kamu merupakan idaman perusahaan tetapi juga berarti jika kesempatanmu untuk masuk ke lingkungan elite di Korea Selatan terbuka lebar.
Sekarang, mari kita bayangkan apa yang akan terjadi jika di Indonesia, UTBK merupakan penentu karir ke depan dan kita hanya akan bisa sukses jika masuk ke tiga universitas top saja. Apa yang Kompanyon rasakan? Cemas, stres, tertekan?
Sejarah Education Fever di Korea Selatan
Apakah Kompanyon sudah dapat membayangkan bagaimana jika di Indonesia, UTBK merupakan tes penentu jalan hidup dan karir kita di masa depan? Jika satu tes saja bisa menentukan jalan hidup kita ke depannya, tentu saja kita semua akan merasa sama stresnya seperti mereka. Fenomena ini biasa disebut sebagai education fever, yaitu merupakan suatu fenomena di mana masyarakat sangat terobsesi dengan pendidikan. Dalam hal ini, masyarakat menganggap jika pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk naik ke strata sosial yang lebih tinggi. Dalam masyarakat yang mengalami education fever, baik orang tua maupun lingkungan memiliki ekspektasi yang sangat tinggi agar anak-anaknya dapat masuk ke universitas yang bagus dan kemudian mendapatkan pekerjaan yang bagus. Hal ini pun berujung dengan tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja akibat tekanan tak masuk akal, baik dari orang tua maupun lingkungan sosialnya.
Education Fever (Kyoyuk Yolgi) adalah suatu fenomena ketika dalam suatu masyarakat terdapat permintaan yang sangat tinggi akan pendidikan. Hal ini berakar dari anggapan jika pendidikan berkaitan dengan status sosial dan posisi seseorang di masyarakat (Dittrich & Neuhaus, 2023). Sejarah fenomena ini pun bisa ditelusuri sejak era dinasti Joseon (1392-1910), yaitu ketika pemikiran Neo-Konfusianisme menjadi pemikiran yang banyak digunakan di Semenanjung Korea. Di era ini, sudah terdapat Ujian Pelayanan Sipil Tingkat Tinggi (Munkwa) yang bertujuan untuk merekrut pejabat pemerintahan tingkat tinggi dengan sistem ujian yang berbasis meritokrasi1. Di pertengahan era Dinasti Joseon juga, mulai tumbuh Akademi Konfusianisme Swasta yang berfokus untuk melatih para penerus keluarga Yangban (keluarga pejabat pemerintahan) untuk menghadapi ujian pejabat pemerintahan. Adanya akademi seperti ini pada akhirnya seperti membuat sistem meritokrasi tak berguna, sebab pada dasarnya hanya keluarga pejabat dan bangsawan saja yang dapat menjangkaunya. Pada akhirnya, sistem ujian ini ada hanya untuk mempertahankan kekuasaan di kalangan mereka saja (Dittrich & Neuhaus, 2023).
Melangkah jauh ke era 1800-an akhir, di masa ini Semenanjung Korea tengah menghadapi banyak konflik sengit dengan kekuatan dari barat dan pemerintahan imperial Jepang. Di era ini, banyak bentuk pendidikan baru yang masuk ke Korea. Salah satunya yaitu pendidikan yang dibawa oleh misionaris dari barat (Dittrich & Neuhaus, 2023). Banyak misionaris yang mendirikan institusi pendidikan yang dengan cepat mendapat pengakuan sosial yang tinggi, salah satu contoh institusi tersebut yang hingga kini masih berdiri adalah Yonsei University.
Kemudian, ketika imperial Jepang memasukkan Korea ke dalam imperiumnya di tahun 1910, masyarakat Korea mendapatkan banyak diskriminasi terutama di bidang pendidikan. Banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh imperial Jepang hanya mengajar dalam bahasa Jepang dan anak-anak Korea juga mendapatkan waktu belajar yang lebih singkat dibandingkan anak-anak dari orang Jepang yang menetap di Korea. Di era ini, pendidikan dianggap sebagai kunci kebebasan oleh warga Korea, meskipun pada praktiknya masih harus menghadapi tekanan dari pemerintah imperial Jepang (Dittrich & Neuhaus, 2023).
Baru di masa kemerdekaan, pendidikan mulai digaungkan di Korea Selatan, hal ini dikarenakan adanya fokus pendidikan dasar oleh presiden pertama Republik Korea, Syngman Rhee. Di tahun 1980-an, pendidikan di Korea Selatan mulai dikombinasikan juga dengan kebutuhan industri di era tersebut untuk mencapai apa yang disebut sebagai “Industrialisasi melalui Pendidikan”. Pada kasus Korea Selatan, perkembangan pendidikan ada terlebih dahulu dibandingkan perkembangan ekonominya (Dittrich & Neuhaus, 2023).
Kembali ke zaman sekarang, education fever di Korea Selatan bisa dilihat melalui K-Drama SKY Castle. K-Drama ini memperlihatkan mengenai ambisi orang tua kaya terutama ibu mereka dalam menuntun anak-anaknya untuk masuk ke SKY. Para ibu-ibu ini bahkan beranggapan jika tugas mereka satu-satunya adalah menjamin kesuksesan anak-anaknya dalam masuk SKY, sedangkan tugas suami mereka adalah bertanggung jawab dengan urusan pembiayaan. Sebab, untuk masuk ke SKY, dibutuhkan investasi pendidikan yang tinggi, mulai dari biaya les, biaya sekolah berkualitas, biaya mentor, dsb. Bagi mereka yang sudah menempati puncak elite Korea Selatan, masuk SKY adalah cara untuk mempertahankan martabat dan status sosial di masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya, anak-anak mereka haruslah masuk SKY atau paling tidak masuk universitas bergengsi di luar negeri. Di luar universitas-universitas tersebut, mereka dianggap hanya akan membuat malu keluarga.
Dua Sisi SKY: Antara Elitisme Pendidikan Tinggi dan Institutional Social Capital
Sebagai tiga universitas paling prestisius di Korea Selatan, SKY merupakan liga universitas elite yang telah menghasilkan ribuan lulusan yang memiliki peran penting di pemerintahan dan industri Korea Selatan, salah satunya yaitu presiden Korea Selatan yang sekarang, Yoon Suk-Yeol yang merupakan alumni Seoul National University. Kembali ke pertanyaan di awal, dengan melihat banyaknya alumni SKY yang berasal dari kalangan atas dan pekerjaan yang mentereng, apakah itu berarti SKY benar-benar mempengaruhi karir dan kehidupan sosial alumninya?
Berdasarkan data dari QS World University Rankings tahun 2022, jika dilihat dari graduate employability-nya, Seoul National University menempati peringkat ke-34, Korea University menempati peringkat ke-75, dan Yonsei University menempati peringkat ke-86. Tiga peringkat tersebut merupakan peringkat tertinggi untuk universitas di Korea Selatan, meskipun bukan yang tertinggi di kawasan Asia. Sebagai negara yang ekonominya berada di tangan para chaebol2. Banyak perusahaan-perusahaan besar, seperti Samsung, Hyundai, SK, dan Lotte yang dimiliki oleh chaebol. Nah, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh chaebol ini kebanyakan merekrut pekerja secara subjektif, seperti berdasarkan koneksi keluarga ataupun berdasarkan dari universitas mana mereka berasal. Dalam banyak kasus yang diterima hanyalah para pelamar yang berasal dari universitas top, seperti SKY. Sedangkan, untuk masuk ke SKY, mereka haruslah memiliki nilai CSAT yang sangat baik. Padahal, untuk mendapatkan nilai CSAT yang baik dibutuhkan bimbingan ekstra, seperti private tutor atau menghadiri akademi khusus matematika dan sains.
Hal inilah yang kemudian berhubungan dengan elitisme pendidikan tinggi, yaitu suatu kondisi ketika pendidikan tinggi hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu saja atau dalam kasus ini, masuk ke SKY hanya dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke atas saja. Apakah ini terdengar familiar? Ya, konsep ini berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, yaitu mengenai sistem meritokrasi. Secara harfiah, sistem meritokrasi di Korea Selatan ini memang diartikan sebagai suatu sistem yang memberikan penghargaan kepada orang yang dianggap cakap dan layak dalam pekerjaannya. Di dalam ujian Suneung (CSAT), satu-satunya yang dinilai adalah hasil tes, jadi memang secara implementasi sistem ini sudah benar dengan memberikan kesempatan hanya bagi para peserta dengan nilai CSAT tertinggi saja untuk masuk ke SKY. Akan tetapi, perlu digaris bawahi jika dalam proses seseorang menjadi “cakap” dan “layak” tersebut, terdapat banyak faktor-faktor lainnya, seperti kerja keras, pendidikan, dukungan keluarga, dan uang. Jika hanya kerja keras saja, belum tentu berhasil meraih nilai CSAT yang tinggi. Di Korea Selatan, banyak murid yang menghadiri kelas tambahan setelah jam pulang sekolah agar mereka tidak ketinggalan pelajaran di sekolah. Hal ini pun berlaku untuk persiapan ujian Suneung (CSAT). Karena tingkat kesulitan yang tinggi, banyak dari calon peserta yang tidak bisa mengerjakan ujian Suneung (CSAT) dengan baik jika tanpa bimbingan dari tutor ataupun akademi matematika dan sains. Sedangkan, biaya untuk menghadiri tutor ataupun akademi matematika dan sains tidak murah dan kebanyakan dari mereka pun sudah melakukan persiapan sejak kelas satu SMA, bahkan ada juga yang sudah sejak SMP. Tentunya, biaya yang dikeluarkan akan sangat besar. Hanya kalangan menengah ke atas saja yang mampu untuk memberikan fasilitas-fasilitas penunjang persiapan ujian Suneung (CSAT) terbaik untuk anak-anaknya ini. Pada akhirnya, kebanyakan yang berhasil masuk adalah mereka yang berasal dari keluarga “berada”. Menjadikan sistem meritokrasi kembali dipenuhi oleh sekumpulan kaum elite.
Di sisi lain, masuk SKY akan secara otomatis membuat kita memiliki apa yang disebut sebagai institutional social capital3 yang merupakan unfair advantage4 dalam mencari kerja nantinya. Di negara dengan masyarakat yang sangat kompetitif dan terstruktur seperti Korea Selatan, kompetisi untuk masuk ke SKY muncul karena kepercayaan umum jika berhasil lulus dari SKY maka akan mempermudah seseorang untuk naik kelas, status dan pendapatan (Lee & Brinton, 1996). Jika ditelusuri sejarahnya, perkembangan anggapan jika SKY bisa memudahkan kita dalam masuk dunia kerja berasal dari adanya perkembangan yang pesat di bidang sosial dan ekonomi di Korea Selatan akibat industrialisasi (Lee & Brinton, 1996). Sebelumnya pun sebenarnya Korea Selatan memang sudah memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku, di mana yang berada di puncak hierarki adalah para sastrawan konfusianisme (yangban) yang memiliki privilese dan status keluarga yang tinggi. Namun keadaan ini berubah sejak masuknya pemerintahan imperial Jepang ke Semenanjung Korea, di mana posisi tinggi di pemerintahan kemudian didominasi oleh orang-orang Jepang, menjadikan hierarki sosial Korea berubah drastis. Barulah setelah kemerdekaan, posisi-posisi tinggi ini kosong dan ini pun pada akhirnya membuka kesempatan bagi orang-orang Korea berpendidikan tinggi untuk menempatinya. Inilah yang menjadi awal bagi pentingnya pendidikan tinggi (educational attainment5) demi mendapatkan posisi dan gaji yang besar. Hal ini dibuktikan dari hasil studi empiris yang telah banyak dilakukan oleh sosiolog dan ekonom di Korea Selatan yang menunjukkan jika tingkat pendidikan adalah faktor utama penentu posisi pekerjaan dan gaji (Lee & Brinton, 1996).
Tak hanya di masyarakatnya saja, pendidikan tinggi di Korea Selatan pun memiliki sistem hierarki yang kuat, yaitu hierarki berdasarkan peringkat sekolah/universitas ( K. Kim, 1983; S. Kim, 1986 dalam Lee & Brinton, 1996). Untuk universitas sendiri, peringkat ini didasarkan pada seberapa tinggi nilai minimum CSAT untuk berhasil masuk ke dalamnya, dan dalam hal ini, SKY menempati peringkat teratas, menjadikan SKY menempati puncak everest pendidikan tinggi di Korea Selatan. Sistem ini secara umum dapat disebut sebagai academic cliquism, yaitu merupakan salah satu bentuk stratifikasi sosial di masyarakat Korea Selatan (Han, 1983; J. Lee, 1991 dalam Lee & Brinton, 1996). Academic cliquism merupakan suatu anggapan jika pengelompokan seseorang didasarkan pada dari institusi akademik mana ia berasal, menghasilkan bias favoritisme dan eksklusivitas pada kelompok almamater tertentu. Hal ini pun didukung oleh hasil studi yang memperlihatkan jika perusahaan chaebol cenderung merekrut dan mempromosikan karyawan ke posisi top managerial jika mereka berasal dari universitas yang sama atau asal daerah yang sama (Biggart, 1990; C. Kim, 1992 dalam Lee & Brinton, 1996). Sedangkan, kebanyakan karyawan di perusahaan chaebol (termasuk para petingginya) berasal dari SKY sehingga lebih mudah bagi lulusan SKY untuk masuk ke perusahaan-perusahaan besar di Korea Selatan.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan temuan dari Lee & Brinton (1996) terdapat hubungan yang positif antara latar belakang status sosial-ekonomi keluarga dan educational attainment di Korea Selatan. Selain itu, ditemukan juga jika mahasiswa dari universitas top dan second-ranked university lebih banyak menggunakan institutional social capital dalam mencari kerja, seperti mencari kerja dari bantuan institusi, profesor/dosen, alumni, ataupun teman dibandingkan menggunakan private social capital6, seperti koneksi keluarga. Dalam hal ini, institutional sponsorship (bagian dari institutional social capital) memberikan nilai tambah lebih banyak terutama jika mereka berasal dari universitas top seperti SKY. Sedangkan, untuk mereka yang berasal dari second-ranked university atau third-ranked university, institutional social capital tidak memiliki pengaruh yang besar dalam keberhasilan mencari kerja, melainkan human capital7 lah yang lebih banyak memberikan nilai tambah bagi mereka ketika melamar pekerjaan di perusahaan besar. Pada akhirnya, SKY memang memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan sosial dan karir para lulusannya. Di tahap ini pun, private social capital, seperti koneksi keluarga dan uang tidak berperan terlalu besar lagi, sebab private social capital hanya berperan besar sampai pada proses masuk SKY saja. Jika gagal masuk SKY, sekalipun jika private social capital-nya tinggi tetapi mereka masuk ke second-ranked atau third-ranked university maka mereka harus bersaing lebih keras dalam hal human capital.
Education Fever Tak Selamanya Buruk
Pada akhirnya, menggapai SKY bukan hanya permasalahan kerja keras, tetapi juga ekonomi. Biaya sekolah dan les tambahan yang cukup mahal sebagai bentuk investasi orang tua pada pendidikan anaknya adalah hal yang krusial di Korea Selatan jika para orang tua ingin anak-anaknya sukses di masa depan. Memang benar jika pada praktiknya, tak melulu hanya lulusan SKY saja yang bisa sukses, lulusan universitas lain pun banyak. Akan tetapi, di masyarakat yang masih menganggap jika SKY adalah satu-satunya jalan untuk menaiki tangga elite sosial dan mempertahankan martabat keluarga, SKY adalah persoalan hidup dan mati. Sekalipun sulit diraih, apapun harus dilakukan jika kita ingin setelah lulus mendapatkan karir yang cemerlang dan status sosial yang tinggi, bukan?
Akhir kata, fenomena education fever pada dasarnya bukanlah hal yang negatif, terdapat banyak juga sisi positifnya. Di masyarakat Korea Selatan, fenomena ini telah berhasil menghasilkan highly-skilled workers dan highly-competitive work environment yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Menurut Kompanyon, apakah fenomena education fever ini dapat menghasilkan banyak dampak positif juga jika dianut oleh masyarakat Indonesia? Berikan pendapat Kompanyon melalui kolom komentar ini, ya!
Footnotes
1 Meritokrasi adalah suatu sistem yang memberikan kesempatan dan penghargaan terhadap orang yang dianggap layak atau cakap dalam melakukan pekerjaannya (Utama, 2016).
2 Chaebol berasal dari kata chae (kekayaan) dan bol (klan). Jika diartikan, kata chaebol berarti suatu sistem konglomerasi industri-industri besar yang dikelola dan dimiliki oleh satu keluarga secara turun-temurun dan biasanya memiliki koneksi besar di pemerintahan. Dilansir dari CFR (Council on Foreign Relations), para chaebol juga memiliki kekuatan besar di pemerintahan Korea Selatan. Di masa-masa kampanye politik, biasanya banyak politisi yang mencari dana ke para chaebol dengan balasan kekuatan politik untuk para chaebol di pemerintahan jika mereka menang di pemilihan nanti. Berdasarkan data yang diambil dari Statista, di tahun 2021, chaebol menyumbang sebesar 58,3 persen dari total GDP Korea Selatan. Menjadikan konglomerasi bisnis ini sebagai penyumbang terbesar di perekonomian Korea Selatan. Kekuatan mereka yang besar tak hanya di perekonomian tetapi juga di pemerintahan menjadikan chaebol seperti tak tersentuh (untouchable). Banyak dari mereka yang bisa lolos begitu saja dari jeratan hukum, sebagai contoh banyak pimpinan dari Samsung dan Hyundai yang terjerat kasus korupsi dan tidak dihukum atau tidak masuk penjara meskipun sudah terbukti bersalah.
3 Institutional Social Capital adalah salah satu bentuk modal yang berasal dari jaringan alumni suatu institusi pendidikan yang dianggap prestisius dan memiliki nilai tambah tersendiri di mata perusahaan.
4 Unfair Advantage adalah suatu hal unik yang hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan sangat sulit untuk direplikasi, menjadikannya sebagai suatu keuntungan tersendiri agar bisa selangkah lebih maju dibandingkan kompetitor lainnya.
5 Educational Attainment adalah gelar pendidikan tertinggi yang dimiliki oleh seseorang.
6 Private Social Capital adalah salah satu bentuk modal yang berasal dari pribadi/diri sendiri, yaitu berupa koneksi keluarga dan lingkungan.
7 Human Capital adalah modal yang berasal dari nilai manusia itu sendiri, seperti tingkat pendidikan, skills, kesehatan, pengetahuan, intelegensi, loyalitas, dan lain sebagainya.
Bibliografi
70 Percent of Workers in Korea are Burned Out, Survey Says. Korea JoongAng Daily. (2020, 23 November). Diakses pada 30 April 2024, dari https://koreajoongangdaily.joins.com/2020/11/23/business/industry/stress-burnout-satisfaction/20201123200600460.html
Best universities in South Korea 2024. Times Higher Education. (2024, 26 Februari). Diakses pada 30 Maret 2024, dari https://www.timeshighereducation.com/student/best-universities/best-universities-south-korea
The College of Humanities: Where Tradition & Future Meet. College of Humanities Seoul National University. (n.d.). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://humanities.snu.ac.kr/en/about/history
Dittrich, K., & Neuhaus, D.-A. (2023). Korea’s ‘education fever’ from the late nineteenth to the early twenty-first century. History of Education, 52(4), 541–547. https://doi.org/10.1080/0046760x.2022.2098391
Utama, F. A. (2016). Meritokrasi di Berbagai Negara di Dunia (Perbandingan Konstitusi). Jurnal Badan Kepegawaian Negara, 10(2), 18. https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/download/186/176
Hays, J. (n.d.). History of education in South Korea: Achievements, government roles and reforms. Facts and Details. Diakses pada 30 Maret 2024, dari https://factsanddetails.com/korea/South_Korea/Education_Health_Transportation_Infrastructure/entry-7375.html
History of Yonsei. YONSEI University. (2015). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.yonsei.ac.kr/en_sc/intro/history1.jsp
Jun, J. H. (2023, 16 November). Over 500,000 students sit Korea’s National College Entrance Exam. The Korea Times. Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.koreatimes.co.kr/www/nation/2023/11/281_363350.html
Kim, H. J., & Lee, W. B. (2020, 3 Desember). South Korea: The Life-Changing Exam that won’t stop for a pandemic. BBC News. Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.bbc.com/news/world-asia-55155217
Korea University Since 1905. Korea University. (2021). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.korea.edu/mbshome/mbs/en/subview.do?id=en_010802000000
Korea University. QS Top Universities. (2024a). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.topuniversities.com/universities/korea-university
Kwon, M. (2018, 15 November). The Korean CSAT is the exam that stops a nation. BBC News. Diakses pada 30 April 2024, dari http://www.bbc.com/worklife/article/20181114-the-korean-csat-is-the-exam-that-stops-a-nation
Lee, S., & Brinton, C. M. (1996). Elite Education and Social Capital: The Case of South Korea. Sociology of Education, 69(3), 177-189. https://doi.org/10.2307/2112728
Person. (2022, 17 November). National College Entrance Exam Kicks Off. The Korea Times. Diakses pada 30 Maret 2024, dari https://www.koreatimes.co.kr/www/nation/2022/11/281_339984.html
QS Graduate Employability Rankings 2022. QS Top Universities. 2022. Diakses pada 1 Juni 2024, dari https://www.topuniversities.com/employability-rankings
Seoul National University. QS Top Universities. (2024b). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.topuniversities.com/universities/seoul-national-university
Singh, A. (2017, 31 Oktober). The “Scourge of South Korea”: Stress and suicide in Korean Society. Berkeley Political Review. Diakses pada 30 Maret 2024, dari https://bpr.studentorg.berkeley.edu/2017/10/31/the-scourge-of-south-korea-stress-and-suicide-in-korean-society/
South Korea’s Chaebol Challenge. Council on Foreign Relations. (2018). Diakses pada 1 Mei 2024, dari https://www.cfr.org/backgrounder/south-koreas-chaebol-challenge
World Happiness Report 2022. World Happiness Report. (2022). Diakses pada 2 Mei 2024, dari https://worldhappiness.report/ed/2022/
Yonsei University. QS Top Universities. (2024c). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.topuniversities.com/universities/yonsei-university
Yonsei University. New World Encyclopedia. (2023). Diakses pada 30 Maret 2024, dari http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Yonsei_University
Yoon, L. (2024, 22 Januari). Revenue of the Biggest Chaebols as a Share of GDP South Korea 2017-2021. Statista. Diakses pada 1 Mei 2024, dari www.statista.com/statistics/1323082/south-korea-revenue-of-major-chaebols-as-percentage-of-gdp/
Yoo, C. M. (2021, 19 April). 1 in 3 young students felt suicidal due to academic burden: Poll. Yonhap News Agency. Diakses pada 30 Maret 2024, dari https://en.yna.co.kr/view/AEN20210419007000315