WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Peran Ganda: Menjadi Mahasiswa atau Berwirausaha?

Oleh: Hasna Maritza Erumi dan Hilda Bhakti Fahrezi/EQ
Editor: Nicolas Gea Adrindra Putra
Ilustrasi oleh: Ignatius Eric Liangto/EQ

Kena iwake, aja nganti buthek banyune
(Kena ikannya, jangan sampai keruh airnya).

Mahasiswa dan berwirausaha bagaikan dua sejoli yang dapat ditemukan di setiap sudut perguruan tinggi, tak terkecuali di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Bagi mereka, peribahasa Jawa di atas bermakna kebebasan untuk merintis bisnis sejak dini yang hendaknya jangan merugikan orang di sekitarnya. Tak menutup kemungkinan, keputusan untuk menyandang gelar “pengusaha” sedini mungkin menjadi tren tersendiri bagi beberapa kalangan mahasiswa, baik karena alasan untuk mengejar passion, tertantang mencoba hal baru, atau mencari penghasilan tambahan. Sayang seribu sayang, menjalankan bisnis sebagai mahasiswa adalah pilihan yang berisiko, sebab tanpa keseimbangan yang tepat, mimpi yang seharusnya bisa dicapai, justru bisa menjadi malapetaka, bahkan bagi teman sekelasnya.

Tersimpul banyak faktor yang mendorong mahasiswa untuk memulai bisnis selama kuliah. Bagi seseorang yang berminat menjadi seorang wirausahawan, berkuliah di FEB bak kesempatan emas untuk mulai berbisnis. Selain mengejar passion, berkuliah di FEB membuka peluang yang lebih besar untuk menerapkan teori dalam praktik bisnis serta memperoleh “bantuan” dari para dosen, baik berupa saran atau perluasan jejaring sosial yang kelak berguna bagi bisnisnya. Tidak hanya itu, mahasiswa juga berbisnis untuk memanfaatkan peluang sebagai first-mover yang pada akhirnya dapat menuntun mereka untuk menjadi seorang yang memiliki peran besar dalam suatu bidang, meski hal tersebut tentunya membutuhkan risiko dan pengorbanan.

Tentunya keberanian mahasiswa yang merintis bisnis memiliki lautan tantangan yang perlu diarungi. Berbisnis sambil kuliah memerlukan pengorbanan dalam hal waktu, energi, dan kesehatan yang besar, seperti yang diungkapkan oleh Monic (20).  Pandangan ini didukung oleh Aurel (19) yang memilih untuk menghentikan bisnisnya karena kesibukan kuliah yang menyebabkan kinerja bisnisnya tidak maksimal dan berisiko merugi.

Hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa yang menjalankan bisnis menunjukkan bahwa terdapat beberapa tantangan dan kendala dalam merintis sebuah bisnis, khususnya mengenai manajemen waktu. Belajar, tugas, dan ujian merupakan kombinasi yang sejatinya sudah menyita cukup banyak waktu bagi mahasiswa. Dalam hal ini, faktor tersebut juga kerap menjadi latar belakang mengenai sulitnya menjalankan peran ganda sebagai mahasiswa dan wirausahawan secara maksimal.

Situasi tersebut secara tidak langsung mempengaruhi proses pembelajaran di bangku perkuliahan. Beberapa mahasiswa yang “memaksakan” untuk tetap melanjutkan bisnis di bawah manajemen waktu yang buruk, pada akhirnya merugikan teman sejawatnya. “Tentunya mengganggu, karena kita harus kerja lebih untuk nge-cover part-nya dia. Hal-hal kecil seperti itu berefek jam tidur kita (jam tidur lebih sedikit) dan juga kecapean yang berujung sakit karena harus ekstra aktif di setiap kerja kelompok,” ujar salah satu narasumber yang merupakan mahasiswa FEB UGM. Tanggung jawab yang melibatkan banyak pihak, seperti tugas kelompok dan program kerja organisasi berimbas terabaikan. Istilah free rider terpaksa mereka sandang karena ketidakrelaan untuk melepas salah satu dari banyak kegiatan yang dijalani dan ketidakmampuan menentukan prioritas utama.

Tan Malaka, sang Patjar Merah Indonesia, mendefinisikan pendidikan sebagai proses untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Pendidikan adalah proses yang membantu manusia untuk tumbuh, berkembang, dan menciptakan keteraturan dalam diri sendiri dan orang lain. Pendidikan adalah aset tak ternilai karena mampu melahirkan pemuda-pemudi berpola pikir kritis, progresif, dan andal dalam mengambil keputusan. Keterampilan berpikir dan bertindak yang belum tentu didapatkan oleh semua orang – dan tanpa disadari diperlukan sebagai wirausahawan, layak dinomorsatukan dan diperjuangkan. 

Muda, menjadi mahasiswa, dan menjadi wirausahawan tak jarang menjadi idaman oleh beberapa orang. Kesempatan untuk menuntut ilmu sekaligus mempraktikannya di dunia nyata ialah kesempatan yang belum tentu dua kali datang. Adaptasi dalam manajemen waktu di awal masa merintis bisnis tidak kemudian menjadi justifikasi untuk menggugurkan kewajiban dan tanggung jawab mahasiswa di bangku perkuliahan. Mahasiswa perlu memikul tanggung jawab atas pilihan yang mereka ambil dan berani memutuskan apa yang harus dipertahankan serta yang harus ditinggalkan.

Manusia terlahir dengan perbedaan prioritas dan kesempatan yang menjadikan kata “salah” sangat subjektif untuk digunakan. Kesadaran akan kapabilitas diri adalah dasar dalam menghadapi beragam pilihan yang datang. Sang “biang kerok” bukanlah pilihan untuk menjadi seorang wirausahawan, melainkan pilihan untuk melepaskan tanggung jawab yang diberikan. Pihak-pihak yang dirugikan pun tidak dapat disalahkan atas tindakannya yang “menyalahkan” para pelaku. Peran ganda dan tanggung jawab yang dipikul bukanlah suatu hal yang mudah–karena pada hakikatnya tanggung jawab tidak mengenal kata rehat. Tanggung jawab adalah kodrat atas setiap pilihan yang dibuat.

Pengunjung :
226

Solverwp- WordPress Theme and Plugin