WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Empati, Perspektif, Politik: Berpolitik di Negara “Toleran”

Oleh: Atha Bintang Wahyu Mawardi/EQ

Editor : Bill Sean Saragih/EQ

Layouter : Angger Robi M./EQ

Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu, semasa dan setelah pesta demokrasi, kita melihat banyaknya cekcok yang kurang senonoh dan juga debat terbias yang tidak menghasilkan pemahaman maupun dampak positif bagi pihak berargumen. Kurangnya empati ini dapat dikaitkan dengan berbagai faktor seperti polarisasi politik, disinformasi, dan echo-chamber di dalam ruang-ruang komunitas online. Ketika penggunanya terlibat dalam diskusi dan argumen yang sengit, tidak ada pemahaman dan pertimbangan untuk sudut pandang yang berlawanan. Fenomena ini telah menyebabkan lingkungan yang toxic sehingga membuat orang-orang tidak mau terlibat dalam dialog yang berarti dan lebih cenderung menggunakan serangan pribadi dan caci maki. Namun, apa saja implikasi dari kurangnya empati pada masyarakat dan demokrasi Indonesia? Seberapa besar dampaknya dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi wacana publik dan proses pengambilan keputusan individu dalam bersudut pandang?  Dengan menggali akar masalah dan konsekuensi dari fenomena ini, strategi untuk mendorong perdebatan politik yang lebih berempati dan konstruktif bisa dicapai dan implementasi di era digital ini.

Media Sosial dan Politik

Dengan hadirnya platform digital seperti Facebook, Twitter, serta Instagram, masyarakat kini memiliki akses yang lebih luas ke berbagai informasi, berita, dan perspektif politik. Pada tabel 1, kita bisa lihat bahwa terdapat Koefisien Beta 0.354 dengan p-value (Signifikansi) sebesar 0.001 untuk keterkaitan antara media sosial dan beropini politik. Hal tersebut membuktikan bahwa luasnya akses berbagai informasi di media digital selain membukakan jalan untuk individu beropini, membuat individu tersebut semakin ingin untuk mengungkapkan opini tersendiri (Judijanto et al., 2023). Kemudahan akses yang semakin meningkat dalam distribusi konten politik telah mengubah cara individu terlibat dalam dialog politik, serta mempengaruhi opini publik secara signifikan, mencapai tingkat yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Sumber InformasiKoefisien BetaSignifikansi
Media Sosial0.3540.001
Media Tradisional-0.1540.005
Situs Berita0.2030.001

Tabel 1 Keterkaitan antara sumber informasi dan opini politik (Judijanto, et al. 2023)

Hasil dari riset Judijanto (et al. 2023) telah mengindikasikan adanya hubungan positif antara variabel interaksi sosial (Partisipasi dalam Diskusi Politik, Berbagi Konten Politik, Keterlibatan dalam Komunitas Online) di platform-platform digital dengan pembentukan sudut pandang politik. Ditunjukan dari tabel 2, kita bisa lihat bahwa seseorang yang sering andil dalam berdiskusi politik terbentuk pula opini tersendiri mengenai politik (korelasi sebesar 0,257) dan mereka pun juga lebih mungkin untuk membagi konten berbau politik (korelasi sebesar 0,304). Dari data tersebut kita bisa simpulkan bahwa platform digital dan opini politik sendiri sangatlah terkorelasi/terhubung. Maka perkembangannya media sosial digital berdampak pada perkembangan partisipasi politik pula. Meningkatnya konten online dan algoritma yang digunakan oleh platform media sosial telah menyederhanakan proses bagi orang-orang untuk menemukan beragam perspektif dan argumen politik. Akibatnya, media sosial telah berevolusi menjadi instrumen yang ampuh untuk memberikan wawasan politik, yang memungkinkan masyarakat untuk mengikuti perkembangan isu-isu terkini, diskusi tentang politik, dan pemilu. 

Variabel Interaksi SosialKoefisien BetaSignifikansi
Partisipasi dalam Diskusi Politik0.2570.01
Berbagi Konten Politik0.3040.001
Keterlibatan dalam Komunitas Online0.1820.05

Tabel 2 Dampak Interaksi Sosial terhadap Opini Politik (Judijanto, et al. 2023)

Selain itu, platform media sosial memfasilitasi interaksi langsung antara warga negara dengan tokoh politik, memungkinkan individu untuk terlibat dengan perwakilan terpilih, faksi politik, dan organisasi advokasi secara real-time (Park & You, 2021). Aspek interaktif dari media sosial ini meningkatkan keterlibatan politik dengan memberikan jalan bagi warga negara untuk mengekspresikan sudut pandang mereka, mengartikulasikan keprihatinan mereka, dan menggalang dukungan untuk tujuan atau kandidat tertentu. Akibatnya, media sosial telah muncul sebagai arena penting untuk aktivisme politik dan mobilisasi akar rumput, terutama di kalangan demografi muda yang mahir dalam dunia digital.

Selain memperluas jangkauan dan intensitas diskusi tentang isu-isu yang sedang hangat, media sosial juga memiliki kapasitas untuk menguatkan atau memperbesar isu-isu dan sikap tertentu dengan lebih besar dari yang mungkin terjadi di lingkungan konvensional, seperti yang telah dicatat oleh Judijanto et al. pada tahun 2023. Sifat konten di media sosial yang mudah menyebar memungkinkan sebuah topik dengan cepat mendapatkan momentum dan mendominasi diskusi publik, memengaruhi agenda pembuat kebijakan dan jalannya pembahasan politik. Namun demikian, fenomena ini juga dapat mengarah pada penyebaran kebohongan, desas-desus, dan sensasionalisme, yang berpotensi mendistorsi perspektif publik dan mengorbankan kualitas dialog politik.

Terlepas dari potensi media sosial yang dapat memberdayakan, dampaknya terhadap sudut pandang politik bukan tanpa hambatan. Adanya echo-chamber dan filter bubble, di mana individu secara eksklusif terpapar dengan informasi yang memperkuat opini dan prasangka yang sudah ada sebelumnya, dapat berkontribusi pada polarisasi narasi politik (Park & You, 2021). Paparan informasi yang selektif ini dapat menghambat empati dan pemahaman di antara warga negara karena mereka semakin membatasi diri dalam ruang tertutup ideologis mereka.

Peran Ideologi & Emosi

Peran penting ideologi dan ekspresi emosi dalam wacana politik Indonesia tidak dapat diremehkan, karena keduanya sangat mempengaruhi bentuk perdebatan, persepsi, dan dinamisnya dinamika diskusi dan partisipasi politik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nicki Lisa Cole (2019 : 1), ideologi sendiri adalah hasil dari sekumpulan peristiwa, kepercayaan, nilai, asumsi, dan ekspektasi individu yang berperan sebagai kerangka kerja penting untuk menafsirkan dan memahami peristiwa politik, aksi atau kebijakan individu dalam menanggapi suatu peristiwa, dan juga interaksi kita secara garis besarnya. Dalam masyarakat Indonesia sendiri, yang beragam dan majemuk, banyak sekali sudut pandang ideologis yang hidup berdampingan, mulai dari liberalisme dan konservatisme hingga nasionalisme dan fundamentalisme agama.

Pandangan-pandangan ideologis ini sangat melekat dalam diskusi politik, membentuk perspektif individu dan memandu sikap mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Namun demikian, kemajemukan dalam masyarakat Indonesia mengarah pada kontestasi terus-menerus dari perspektif ideologis ini, yang dapat memicu polarisasi percakapan politik, dengan faksi-faksi yang berbeda mengadvokasi visi yang saling bertentangan tentang masa depan bangsa. Selain itu, ekspresi emosional secara signifikan membentuk wacana politik di Indonesia. Emosi seperti kemarahan, ketakutan, dan solidaritas sering menjadi dasar dari keyakinan dan tindakan politik masing-masing individu, yang mendorong mereka untuk terlibat secara aktif dalam perdebatan dan aktivisme. Para aktor politik sering kali menggunakan daya tarik emosional untuk menggalang dukungan, memberi semangat kepada basis mereka, dan mendiskreditkan saingan mereka. Namun, terjalinnya ideologi dan emosi dalam wacana politik berpotensi membayangi sudut pandang alternatif dan menafikan pendapat yang berseberangan. Ketika posisi ideologis menjadi normal atau tidak dipertanyakan, suara-suara yang berbeda pendapat mungkin akan dibungkam atau dipinggirkan, sehingga menghalangi penanaman empati dan rasa saling pengertian di antara rival-rival politik. Selain itu, emosi yang kuat dalam wacana politik Indonesia dapat memicu eskalasi konflik dan erosi kesopanan. Ketika individu-individu tumbuh secara emosional dalam keyakinan ideologis mereka, mereka cenderung melakukan tindakan tidak sopan, bersikap bermusuhan, atau bahkan melakukan kekerasan saat berhadapan dengan lawan-lawan politiknya. 

Ketidaksopanan yang ditandai dengan bahasa dan tindakan bernada provokatif, semakin umum terjadi dalam debat daring di masa digital ini. Karena maraknya hal ini, platform online secara global telah menjadi sebuah tempat atau sarana untuk aspirasi pendapat yang tidak sehat (Sydnor et al., 2022). Di Indonesia sendiri contohnya, pada pemilihan presiden di tahun 2019 banyak oknum dari pendukung masing-masing kubu menggunakan umpatan seperti “Cebong”, “Kampret” dan lainnya untuk melabeli para kandidat dimana setelahnya mendorong penggiringan opini pada radikalisme dan juga ekstrimisme (Nurahman et al., 2020).

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya ketidaksopanan dalam percakapan daring adalah anonimitas dan anggapan “kekebalan” yang diberikan oleh platform digital. Pengguna sering kali menyembunyikan identitas mereka di balik nama samaran atau profil anonim, sehingga merasa diberdayakan untuk terlibat dalam perilaku yang mungkin mereka hindari dalam interaksi pribadi (Sydnor et al., 2022). Anonimitas ini dapat menyebabkan kurangnya tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan, menciptakan lingkungan di mana kekasaran menjadi hal yang normal dan diterima.

Selain itu, penyebaran yang cepat dan popularitas konten di platform media sosial berkontribusi pada peningkatan kekasaran dalam wacana online. Unggahan atau komentar yang sensasional, provokatif, atau kontroversial lebih cenderung menarik perhatian dan interaksi, sehingga memotivasi pengguna untuk menggunakan bahasa atau tindakan yang menghasut untuk mendapatkan visibilitas (Sydnor et al., 2022). “Budaya” ini menyebarkan rantai perilaku kasar, di mana individu-individu berlomba-lomba mencari perhatian dan pengakuan eksternal melalui bahasa yang semakin ekstrem, menyebabkan atmosfer politik yang tidak kondusif, di mana diskusi yang konstruktif sering kali tertutup oleh serangan pribadi dan polarisasi yang semakin memperdalam kesenjangan antar kelompok.

Selain itu, efek echo-chamber dari media sosial memperburuk eskalasi kekasaran dengan memperkuat egoisme kelompok dan perpecahan ideologis. Para pengguna media sosial ini sering kali berbondong-bondong bergabung dengan komunitas atau forum daring yang sesuai dengan keyakinan dan prinsip mereka, sehingga terciptalah ruang lingkup gema yang terisolasi, di mana pendapat yang berbeda tidak dihargai atau dihujat (Sydnor et al., 2022). Dalam Echo-chamber ini, individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku tidak sopan terhadap orang yang dianggap sebagai orang luar atau musuh. Hal ini pun memicu permusuhan dan perpecahan antar sesama atas nama sebuah “kebenaran” yang sebenarnya hanyalah sebuah sudut pandang dan sebuah pendapat yang belum tentu memberi kontribusi yang signifikan dalam sebuah diskusi/perdebatan.

Dinamika kekasaran dalam percakapan online juga dipengaruhi oleh bias kognitif dan reaksi emosional seperti yang dikemukakan dalam penelitian Sydnor (et al. 2022) yang telah mengindikasikan bahwa individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku tidak sopan ketika mereka merasa terprovokasi atau terancam secara emosional, yang mengarah pada eskalasi perselisihan dan bentrokan, dengan sering kali menggunakan kisah-kisah pribadi untuk mendukung keyakinan mereka akan standar moral mereka. Selain itu, bias kognitif seperti bias konfirmasi maupun penalaran yang termotivasi dapat memperkuat keyakinan dan kepercayaan yang sudah terbentuk secara mendalam, membuat individu menjadi kurang terbuka terhadap perspektif yang berlawanan dan lebih rentan terhadap perilaku yang meremehkan atau agresif.

Dampak Kurangnya Empati pada Masyarakat

Karakteristik wacana yang sering kita lihat di Indonesia dapat dilabeli sebagai tren cancel culture. Cancel culture, yang ditandai dengan partisipasi yang luas dan pembersihan terhadap ideologi yang menentang/berlawanan dari ideologi para partisipan tersebut, telah menjadi populer sebagai alat untuk menuntut pertanggungjawaban individu atau tokoh masyarakat atas pelanggaran yang dianggap bertentangan dengan norma-norma masyarakat atau keyakinan ideologis (Velasco, 2020). Pengaruhnya terhadap dinamika perbincangan  politik di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks dengan implikasi substansial terhadap kebebasan berekspresi, persatuan sosial, dan keterlibatan demokratis. Meskipun pada awalnya didorong oleh tujuan untuk menantang struktur yang menindas atau mempromosikan keadilan sosial, dampak dari cancel culture terhadap dinamika diskursus politik Indonesia dapat menjadi rumit dan meluas.

Salah satu konsekuensi utama dari cancel culture terhadap dinamika diskursus adalah kecenderungannya untuk menumbuhkan atmosfer intoleransi dan absolutisme moral. Cancel culture berfungsi berdasarkan premis bahwa ide atau perilaku tertentu berada di luar ranah wacana yang dapat diterima dan harus dikecam atau dihilangkan. Hal ini dapat mengakibatkan penindasan terhadap sudut pandang yang berbeda, penyempitan perdebatan, dan pengasingan individu yang memiliki pendapat yang tidak populer. Akibatnya, cancel culture dapat mendorong perpecahan wacana publik, menumbuhkan lingkup tertutup di mana hanya perspektif yang berpikiran sama yang diterima dan suara-suara yang berbeda diredam.

Cancel culture dapat menanamkan efek jera pada kebebasan berekspresi dan kreativitas. Kekhawatiran menjadi sasaran cancel culture dapat membuat individu membatasi diri atau menahan diri untuk tidak mengekspresikan pemikiran yang kontroversial atau provokatif, karena takut akan reaksi keras atau eksklusi sosial (Velasco, 2020). Penindasan semacam ini bisa mencegah orang untuk berpikir kreatif, menghalangi keberagaman pendapat, dan merusak nilai-nilai penting seperti kebebasan berbicara dan mendukung pertukaran gagasan yang terbuka. Cancel culture juga bisa memperdalam kesenjangan dalam masyarakat dan mengganggu rasa saling percaya karena seringkali hal tersebut berujung pada penghinaan dan pencemaran nama baik di depan publik, yang bisa merusak hubungan antar individu atau kelompok secara permanen. Fragmentasi ini dapat mengakibatkan rusaknya kesatuan sosial, karena individu-individu mundur ke dalam gelembung ideologis atau identitas kesukuan, memandang mereka yang berada di luar kelompok mereka dengan kecurigaan atau permusuhan. Selain itu, cancel culture dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Di”Cancel” dapat menjadi pengalaman yang traumatis, menyebabkan tekanan emosional, pengasingan sosial, dan bahkan dampak buruk profesional jangka pendek maupun panjang (Loydie, 2021). Dampaknya bisa sangat berat bagi individu termarjinalkan atau yang rentan yang tidak memiliki sumber daya atau sistem pendukung untuk bertahan dari serangan pelecehan dan penyalahgunaan online.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mendorong empati dan pemahaman dalam wacana politik Indonesia, Perlu adanya “pengakuan” bahwa membangun ideologi keterbukaan dan kecerdasan emosional sangatlah penting. Prakarsa yang bertujuan untuk mendorong dialog, menjembatani kesenjangan, dan memupuk budaya empati harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang ideologis dan dinamika emosional yang merasuk dalam interaksi politik. Dengan melibatkan empati dan penerimaan, individu dapat melampaui perbedaan ideologis, membangun hubungan lintas kelompok, dan membangun etos politik yang lebih inklusif dan demokratis di Indonesia. Menerapkan program pendidikan di tingkat sekolah dan masyarakat untuk mempromosikan empati dan keterampilan berpikir kritis di antara pengguna dapat menjadi efektif dalam mengurangi sifat toxic dari perdebatan yang terjadi saat ini (Talibi et al., 2020). Salah satu contoh solusi tersebut dapat dilihat dalam proyek COURAGE (Civic Culture Resilience and Advanced Grant Education) yang menekankan pentingnya pendidikan dalam mengatasi tantangan yang dihadapi oleh media sosial dengan memperkenalkan pendekatan yang berfokus pada pembangunan keterampilan sosial dan emosional (SSE) di kalangan remaja. Pendekatan ini melibatkan penerapan program pendidikan yang dirancang untuk mempromosikan empati, resolusi konflik, dan keterampilan berpikir kritis. Contohnya, COURAGE menyelenggarakan workshop dan kegiatan kelompok yang mendorong dialog terbuka, pemahaman yang lebih baik tentang perspektif orang lain, serta pemecahan masalah yang bersifat inklusif. Program ini juga mengintegrasikan pembelajaran tentang bagaimana mengidentifikasi dan menangani konten yang tidak sehat atau berpotensi merugikan di media sosial. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu mengurangi sifat toksik dari perdebatan yang terjadi di media sosial dengan memperkuat keterampilan interpersonal dan kritis di kalangan pengguna, baik di tingkat sekolah maupun di masyarakat secara lebih luas.

Selain itu, platform media sosial harus mengambil pendekatan yang lebih proaktif dalam memantau dan menegakkan pedoman komunitas mereka untuk mengekang ujaran kebencian dan serangan pribadi. Dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), Platform-media sosial dapat menggunakannya untuk memantau dan mendeteksi konten yang melanggar pedoman komunitas secara proaktif. Dengan mengimplementasikan filter otomatis dan algoritma deteksi, platform digital tersebut dapat mengidentifikasi konten yang potensial melanggar pedoman sebelum konten tersebut bahkan dipublikasikan, memungkinkan platform untuk bertindak dengan cepat untuk mencegah penyebaran konten yang merugikan (FRA, 2021). Selain itu , AI juga bisa membantu untuk pemeriksaan fakta dan mempromosikan wacana sipil melalui kampanye online, dimana hal tersebut juga dapat memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan online yang lebih berempati. Dengan menggabungkan upaya-upaya tersebut, pergeseran bertahap menuju budaya debat politik yang lebih berempati dan saling menghormati di media sosial Indonesia tinggallah masalah waktu (Yaacoub et al., 2022). 

Kesimpulan

Kurangnya empati dalam debat politik di media sosial Indonesia menjadi tantangan yang signifikan dalam mendorong dialog yang konstruktif dan mendorong pemahaman di antara individu-individu yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Prevalensi serangan personal, misinformasi, dan polarisasi menghambat potensi pertukaran ide yang bermakna hingga membahayakan kualitas wacana publik. Ke depannya, sangat penting bagi para pembuat kebijakan, platform online, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengatasi masalah ini melalui intervensi yang ditargetkan seperti program literasi digital, mekanisme pengecekan fakta, dan inisiatif yang mendorong empati dan komunikasi yang saling menghormati secara online. Terlebih dari itu, mimpi ini akan terealisasi hanya bila para pemangku kepentingan bisa bekerja sama secara efektif dan efisien dalam menciptakan lingkungan online yang lebih berempati dan konstruktif yang mendorong perdebatan yang sehat dan mempromosikan kohesi sosial. Dengan mempromosikan ini, kita dapat menciptakan ruang publik digital yang lebih inklusif dan toleran di mana perspektif yang beragam dihargai dan dihormati. 

Referensi

Europian Union Agency for Fundamental Rights (FRA). “Application of AI for Early Recognition of Criminal Offences That Relate to Hate Crime.” European Union Agency for Fundamental Rights, 18 Aug. 2021, fra.europa.eu/en/promising-practices/application-ai-early-recognition-criminal-offences-relate-hate-crime . Accessed 1 May 2024.

Hatzisavvidou, Sophia. “Studying Political Disputes: A Rhetorical Perspective and a Case Study.” Politics, vol. 42, no. 2, 3 Aug. 2020, pp. 185–199, https://doi.org/10.1177/0263395720940883 . Accessed 3 Apr. 2024.

Judijanto, Loso, et al. “Pengaruh Sumber Informasi Dan Interaksi Sosial Di Media Sosial Terhadap Pembentukan Opini Politik Masyarakat Di Indonesia.” Sanskara Ilmu Sosial Dan Humaniora, vol. 1, no. 01, 2023, pp. 21–31. Accessed 3 Apr. 2024.

Loydie, Solange, and Burmah. CSUSB ScholarWorks CSUSB ScholarWorks Electronic Theses, Projects, and Dissertations Office of Graduate Studies the CURIOUS CASES of CANCEL CULTURE the CURIOUS CASES of CANCEL CULTURE. 2021.

Nicki Lisa Cole. “What Is Ideology? A Sociologist Explains.” ThoughtCo, 3 July 2019, www.thoughtco.com/ideology-definition-3026356.

Nurahman, Taufik, et al. “Analisis Sentimen Konten Radikal Dalam Kontestasi Politik 2019 Di Media Twitter Menggunakan Interjection Dan Punctuation.” Jurnal Repositor, vol. 2, no. 7, 2020, ejournal.umm.ac.id/index.php/repositor/article/view/30759/13752, https://doi.org/10.22219/repositor.v2i7.30759 . Accessed 1 May 2024.

Park, Kyungmee, and Sukkyung You. “Can Online Communities Be Social Capital? The Effect of Online Communities on Individuals’ Political Engagement.” Current Psychology, 2 Jan. 2019, https://doi.org/10.1007/s12144-018-0109-z

Sydnor, Emily, et al. “Confronting Politics: The Role of Conflict Orientation in Shaping Political Debate.” Volume 18 Issue 1, vol. 18, no. 1, 19 Aug. 2022, https://doi.org/10.16997/jdd.953 . Accessed 3 Apr. 2024.

Taibi, Davide, et al. “The Role of Educational Interventions in Facing Social Media Threats: Overarching Principles of the COURAGE Project.” Higher Education Learning Methodologies and Technologies Online, 1 Jan. 2023, pp. 315–329, https://doi.org/10.1007/978-3-031-29800-4_25. Accessed 18 May 2023.

Velasco, Joseph Ching. “You Are Cancelled: Virtual Collective Consciousness and the Emergence of Cancel Culture as Ideological Purging.” Rupkatha Journal on Interdisciplinary Studies in Humanities, vol. 12, no. 5, 17 Oct. 2020, https://doi.org/10.21659/rupkatha.v12n5.rioc1s21n2. Accessed 3 Apr. 2024.

Yaacoub, Jean-Paul A., et al. “Advanced Digital Forensics and Anti-Digital Forensics for IoT Systems: Techniques, Limitations and Recommendations.” Internet of Things, vol. 19, Aug. 2022, p. 100544, https://doi.org/10.1016/j.iot.2022.100544. Accessed 28 May 2022.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin