WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Child-Free di Kalangan Gen Z: Pilihan Gaya Hidup atau Keputusan Berbasis Realita?

Penulis: Afifah Ainun Rohmana

Editor: Hilda Bhakti Fahrezi

Layouter: Nabila Romanova

Childfree adalah topik hangat yang tengah diperbincangkan, khususnya di kalangan Gen Z. Childfree sendiri merujuk pada keputusan seorang individu atau pasangan untuk tidak memiliki keturunan setelah menikah yang diambil atas dasar alasan pribadi, nilai-nilai hidup, atau pandangan lainnya. Pilihan childfree ini semakin populer terutama di kalangan generasi Z yang mempunyai pandangan serta prioritas yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Beberapa studi menyatakan bahwa semakin banyak Gen Z yang menyatakan tidak ingin memiliki anak di masa depan. Data survei dari lembaga-lembaga seperti Pew Research Center menunjukkan bahwa dewasa ini, persentase Gen Z yang memilih childfree mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak hanya di negara barat saja, tren childfree juga sudah terlihat di negara Asia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, persentase perempuan yang memilih childfree di Indonesia mencapai 8,2%. Angka ini merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu 7% pada 2019 dan 6,5% pada 2021. Bahkan untuk saat ini, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 15% Gen Z memutuskan untuk childfree. 

Berangkat dari data tersebut, sebenarnya apa faktor yang melatarbelakangi keputusan childfree di kalangan Gen Z? Keputusan childfree sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari pilihan untuk lebih fokus pada pengembangan karir dan pencapaian personal, kekhawatiran tentang dampak melonjaknya populasi, hingga kekhawatiran ekonomi personal maupun global. Terkait faktor ekonomi, banyak Gen Z yang menilai bahwa biaya membesarkan anak sangatlah besar. Biaya ini meliputi biaya persalinan, pendidikan, kesehatan, dan biaya sehari-hari. Walaupun fasilitas pendidikan diberikan oleh pemerintah secara gratis, berdasarkan data survei Ekonomi Nasional, 76% keluarga tetap tidak dapat memberikan pendidikan yang cukup pada anak-anaknya karena faktor biaya. 

 Selain faktor ekonomi secara personal, kekhawatiran tentang ekonomi global yang semakin tidak pasti juga melatarbelakangi keputusan childfree ini. Faktor ekonomi global ini meliputi tingkat inflasi yang semakin meningkat dari masa ke masa. Sehingga, meskipun pasangan suami istri masing-masing memiliki penghasilan, memenuhi kebutuhan seorang anak tetap bukan perkara yang mudah. 

Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap peningkatan angka childfree adalah pengaruh budaya barat yang semakin beredar di Indonesia. Memang tidak dapat dikatakan bahwa pilihan childfree ini dipengaruhi secara langsung oleh budaya barat. Namun, munculnya gagasan childfree ini dimulai dari budaya barat, berkaitan dengan konsep liberalisme yang mereka anut, yang membebaskan individu memilih pilihannya tanpa ada batasan norma, agama, politik, ataupun lainnya. Di negara-negara barat, seperti Inggris, Belanda, dan Prancis, mayoritas penduduknya memiliki karakteristik giat bekerja dan mandiri, sehingga kehadiran anak dianggap akan merepotkan. 

Menjamurnya keputusan childfree di Indonesia ini memantik perdebatan di berbagai kalangan. Bagi sebagian masyarakat, memiliki keturunan adalah bagian dari kodrat dan kontribusi terhadap keberlangsungan populasi. Namun di sisi lain, terdapat pandangan yang lebih progresif yang mendukung hak untuk memilih jalan hidup sesuai keinginan individu. Masyarakat yang pro akan childfree adalah masyarakat yang memiliki cara pandang yang terbuka untuk merubah struktur sosial yang ada. Maka sebab itu, ketika realitas sosial childfree hadir, mereka melihat childfree bukan  sebagai hal yang bertentangan dengan struktur sosial. 

Bagaimanapun, di Indonesia, pertumbuhan childfree masih banyak ditentang dan terhambat oleh pandangan sosial masyarakat yang menilai bahwa memiliki keturunan adalah suatu kewajiban. Hal ini seringkali menimbulkan tekanan sosial yang ditujukan bagi orang-orang yang secara terang-terangan mengungkapkan pilihannya untuk childfree. Contohnya, ketika seorang influencer dalam negeri, Gita Savitri, pada tahun 2020 mendeklarasikan dirinya untuk childfree, beragam sikap kontra dan hujatan ditujukan padanya.

Keputusan untuk childfree di kalangan Gen Z dipengaruhi oleh kombinasi faktor ekonomi, lingkungan, budaya, dan preferensi hidup pribadi. Faktor-faktor ini tidak hanya berkaitan dengan tantangan masa kini, tetapi juga didukung oleh perubahan nilai dan pandangan hidup yang lebih progresif. Tidak ada jawaban pasti mengenai apakah childfree  adalah pilihan jangka panjang yang tepat. Keputusan ini sangat personal dan bergantung pada situasi dan preferensi individu. Beberapa orang mungkin bahagia menjalani hidup childfree, sementara yang lain dapat berubah pikiran seiring waktu. Pada akhirnya, keputusan untuk childfree adalah hak setiap individu. Masyarakat harus menghormati pilihan tersebut tanpa mengabaikan dampaknya. Menghargai keberagaman pilihan hidup merupakan langkah penting untuk membangun komunitas yang inklusif dan toleran.

Referensi

Larasati, Sri Dewi. “Fenomena Childfree, Pengertian dan Alasan yang Mendasari.” Antara News, Antara, Sabtu November 2024, https://www.antaranews.com/berita/4470489/fenomena-childfree-pengertian-dan-alasan-yang-mendasari. Accessed Minggu Desember 2024.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin