WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Transformasi Aktivisme Gen Z: Bersuara di Era Digital

Belakangan ini, santer terdengar stereotip-stereotip negatif mengenai Generasi Z atau biasa disebut dengan Gen Z. Salah satu stereotip negatif yang kerap didengar adalah mengenai apatisme Gen Z terhadap isu-isu sosial yang terjadi di sekitar mereka. Hasil penelitian dari Putnam dalam Zachara (2019) menyatakan bahwa dalam tiga dekade terakhir, penyuaraan aspirasi semakin menurun di berbagai kelompok usia, terutama di kalangan anak muda. Jika mengamati jumlah massa demonstrasi dulu dan sekarang dalam lingkup regional, terlihat bahwa terdapat perubahan yang signifikan pada jumlah massa yang menghadiri demo. Perubahan tersebut tampak pada dua foto demonstrasi mahasiswa UGM pada tahun 2016 dan 2024 di bawah ini. 

Gambar 1.0
Atas: Demo Mahasiswa UGM Tahun 2016; Bawah: Mahasiswa UGM Gelar Aksi di Balairung Tahun 2024.
Sumber: Tribun Jogja (atas) & detikJogja (bawah).

Dengan temuan tersebut, apakah kita dapat menarik kesimpulan jika Gen Z memang apatis dengan isu-isu sosial-politik seperti stereotip yang sering kita dengar? Sebab, di sisi lain, sebuah temuan menyebutkan bahwa Gen Z ternyata memiliki cara lain dalam ‘bersuara’. Temuan dari Heriyanto, et al. (2024) menyebutkan bahwa Gen Z menganggap kehadiran mereka dalam dunia maya merupakan hal yang penting. Melalui interaksi secara online, Gen Z mampu menciptakan pengalaman dan mengekspresikan diri mereka melalui koneksi dan komunitas yang tidak terhalang oleh batas-batas geografi. Melalui internet pula, mereka dapat menyuarakan aspirasi dan memperoleh informasi. Sebagai contoh dalam platform X, akun menfess atau akun yang biasa digunakan untuk mention dan confess secara anonim milik UGM dan UB, belakangan ini kerap digunakan oleh mahasiswa Gen Z sebagai wadah penyampaian protes atas kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). 

Gambar 2.0
Bentuk Protes Mahasiswa terhadap Kenaikan UKT. 
Sumber: @UGMFESS/X (kiri) & @ub_mfs/X (kanan)

Berdasarkan hasil wawancara tim penulis dengan Wakil Ketua Bidang Pergerakan BEM KM UGM, Rafi Baihaqi, mengatakan bahwa Gen Z menggunakan media sosial sebagai ruang aktivisme digital untuk memperjuangkan isu sosial-politik ke masyarakat. Lebih lanjut lagi, ia pun berpendapat jika perubahan model demonstrasi dari aksi turun ke jalan menjadi aksi di media sosial bukanlah hal yang salah, melainkan sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Meskipun demikian, apakah media sosial sebagai wadah pengganti demonstrasi fisik merupakan sarana yang efektif bagi Gen Z dalam berpartisipasi pada isu-isu penting? 

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tim penulis telah melakukan survei terhadap sekelompok Gen Z terkait pandangan mereka mengenai urgensi berpartisipasi dalam menanggapi isu genting melalui demonstrasi fisik. 

Grafik 1.0. 
Pandangan Gen Z Mengenai Pentingnya Demonstrasi.

Dari survei yang dilakukan oleh tim penulis, kami mendapati bahwa persepsi mahasiswa terhadap aksi demonstrasi cenderung positif dalam artian penting. Pada grafik 1.0, sebanyak 85% dari 42 responden meyakini bahwa demonstrasi merupakan hal penting untuk dilakukan. Sementara itu, 15% lainnya meyakini bahwa demonstrasi mungkin penting untuk dilaksanakan. Temuan ini membuktikan jika sebagian besar responden masih menganggap jika demonstrasi merupakan forum yang penting untuk menyalurkan aspirasi mereka. Akan tetapi, pernahkah mereka menggunakan platform demonstrasi secara fisik sebagai wadah menyuarakan aspirasi?

Grafik 2.0.
Jumlah Total Partisipasi Gen Z di Demonstrasi.

Berbeda realita dari persepsi terhadap demonstrasi pada grafik 1.0, hasil pada grafik 2.0 menunjukkan sebanyak 71% responden menyatakan bahwa mereka belum pernah secara langsung mengikuti aksi demonstrasi. Sementara itu, hanya sekitar 29% dari responden yang pernah secara langsung mengikuti aksi demonstrasi meski hanya sekali. Hal ini cukup menimbulkan spekulasi mengenai alasan dibalik enggannya Gen Z untuk mengikuti aksi demonstrasi secara langsung. 

Grafik 3.0.
Alasan Utama Gen Z Enggan untuk Menghadiri Demonstrasi.

Selanjutnya, tim penulis pun mengulik lebih dalam mengenai alasan dibalik minimnya partisipasi Gen Z dalam aksi demonstrasi secara langsung. Grafik 3.0 menunjukkan bahwa keterbatasan waktu, tidak tertarik, khawatir akan konsekuensi, dan merasa tidak berguna atau tidak didengar menjadi alasan utama bagi mereka yang enggan untuk turun mengikuti aksi demonstrasi secara langsung. Fakta tersebut membuktikan jika penyebab utama menurunnya tren demonstrasi di kalangan Gen Z bukanlah apatisme mereka terhadap isu di masyarakat, melainkan alasan lainnya. Lantas, langkah apa yang mereka pilih dalam menyalurkan aspirasi di tengah ragam alasan tersebut?

Grafik 4.0.
Platform yang Dipilih Mahasiswa untuk Mengutarakan Aspirasi.

“Jika zaman berubah, maka kita pun harus berubah.”

Kalimat tersebutlah yang mungkin dapat mendeskripsikan tentang langkah yang Gen Z pilih dalam menyalurkan aspirasi mereka. Berdasarkan hasil survei pada grafik 4.0, sebanyak 33% dari responden memilih sosial media saja dan 52% memilih untuk menggunakan aksi demonstrasi dan/atau sosial media sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi mereka. Hal ini sejalan dengan jawaban yang disampaikan oleh Rafi sebelumnya, bahwa Gen Z cenderung menggunakan media sosial sebagai ruang mereka beraspirasi dan memberikan kritik. 

Grafik 5.0.
Alasan Mahasiswa Memilih untuk Menggunakan Media Sosial.

Namun, apa sebenarnya alasan pemilihan penggunaan sosial media di balik hal tersebut? Pada grafik di atas, kami menemukan bahwa terdapat tiga alasan mengapa Gen Z memilih media sosial sebagai media demonstrasi. Sebanyak 52,5% merasa bahwa media sosial memiliki jangkauan yang luas, sebanyak 32,5 % merasa bahwa penggunaan media sosial membantu proses demonstrasi menjadi lebih mudah dan cepat, serta diikuti sebanyak 15% beranggapan bahwa dengan menggunakan media sosial, mereka merasa lebih aman dan privasi mereka terlindungi. 

Media Sosial sebagai Sarana Penyampaian Aspirasi Gen Z

Jika mengacu pada hasil wawancara tim penulis dengan Menteri Aksi Propaganda BEM KM UGM, Arga Luthfi, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menyimpulkan berhasil-tidaknya suatu gerakan. Pertama, isu tersebar luas sehingga menumbuhkan kesadaran publik mengenai fenomena yang dianggap merugikan/problematik. Kedua, gerakan tersebut berhasil menumbuhkan rasa simpati masyarakat agar mau bersama-sama mengawal isu tersebut, terlepas dari hal tersebut berdampak atau tidak kepada diri mereka sendiri. Dalam hal ini, menurutnya, media sosial merupakan tempat yang efektif untuk menyebarkan dan menimbulkan kesadaran di masyarakat mengenai suatu fenomena yang problematik atau merugikan. Dengan media sosial, kita bisa menekan pihak yang dituju sekaligus membentuk opini publik agar berpihak pada kebenaran. Begitu pula pendapat yang dinyatakan oleh Rafi. Menurutnya, media sosial sebagai ruang aktivisme digital yang tak terbatas pada ruang dan waktu dapat menjadi wadah horizontal (antar masyarakat) dan vertikal (kepada pemangku kebijakan) untuk saling memberi kritikan atau balasan secara langsung. 

Dengan demikian, pergeseran cara penyampaian aspirasi dari aksi langsung menjadi aksi pada sosial media, tidak berarti menghilangkan power pada penyampaian aspirasi. Sebagai contoh, kasus Vina Cirebon yang kembali viral belakangan ini karena ramainya penonton film “Vina: Sebelum 7 Hari” disertai cuitan serta hashtag pada berbagai platform media sosial membuat kasus ini kembali naik ke publik. Dampaknya, pihak berwenang pun kembali aktif melakukan pencarian kepada tiga pelaku yang masih belum tertangkap. Selain kasus tersebut, terdapat banyak kasus-kasus lain yang kembali mendapat atensi publik dan aparat setelah viral di media sosial.

Walaupun demikian, hal ini tak serta-merta membuat demonstrasi melalui media sosial bebas dari masalah dan rintangan. Menurut Arga, algoritma media sosial yang dibatasi dan adanya ancaman kriminalisasi melalui UU ITE merupakan dua hal yang menjadi rintangan dalam demonstrasi melalui media sosial. Selain itu, Rafi juga berpendapat meskipun sosial media memberikan dampak dukungan dalam konteks aktivisme digital, di waktu yang bersamaan, media sosial merupakan “battleground” bagi opini publik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna yang memberikan pandangan mereka ketika menanggapi sebuah isu yang sedang beredar. Para pengguna cenderung akan mengikuti pandangan yang sesuai dengan pandangan mereka sehingga tak jarang terjadi fenomena penggiringan opini publik di media sosial.

Oleh karena itu, menurut Rafi, demonstrasi melalui media sosial dapat memunculkan segmentasi perspektif. Lebih lanjut lagi, segmentasi perspektif ini dapat muncul karena kecenderungan orang-orang untuk mengikuti atau mempercayai pandangan yang mereka sukai saja sehingga konten yang mereka konsumsi pun yang membenarkan pandangan mereka saja. Hal ini pada akhirnya menimbulkan fenomena post-truth, yaitu ketika fakta dan kebenaran objektif kerap dikesampingkan dengan pandangan yang bersifat lebih emosional atau subjektif. Fenomena ini mengaburkan esensi perjuangan nyata terhadap isu-isu penting, sebab fakta yang ada malah dikesampingkan dengan pandangan subjektif dan emosional masyarakat yang acap kali memiliki maksud yang berbeda.

Maka dari itu, Gen Z bukanlah generasi yang apatis terhadap isu-isu sosial. Gen Z sebagai digital native cenderung memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk menyuarakan aspirasi dan kritiknya. Luasnya jangkauan yang diberikan dan kebebasan di media sosial membuat Gen Z cenderung memilih platform ini sebagai sarana penyampaian aspirasi dan kritik. Penggunaan platform media sosial sebagai sarana penyampaian aspirasi dan kritik merupakan bentuk adaptasi dari si digital native terhadap pengawalan isu-isu sosial-politik di sekitarnya. Meskipun begitu, demonstrasi melalui media sosial pun tak luput dari tantangan, seperti adanya algoritma, ancaman kriminalisasi melalui UU ITE, dan polarisasi opini publik yang dapat menghalangi efektivitasnya. Oleh karena itu, sepatutnya penyampaian aspirasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu melalui media sosial dan aksi langsung untuk mendapat dampak aksi yang lebih efektif.


Referensi

Editor: Faza Naufal/EQ

Solverwp- WordPress Theme and Plugin