WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Katanya Pesta Demokrasi, Kok Peminatnya Sepi?

Oleh : Virginia Monic
Foto Oleh: Alya Aqilah

Sering dianggap miniatur dari politik negara, politik kampus diharapkan dapat menjadi wadah demokrasi bagi mahasiswa, termasuk pula politik di FEB UGM. Proses politik yang dimulai dari pendaftaran calon, orasi, presentasi grand design, uji kelayakan calon hingga pengambilan suara dijalani para calon ketua sehingga dapat menjadi representasi komunitas mahasiswanya. Akan tetapi, apakah suara yang masuk benar dapat dikatakan mewakili aspirasi seluruh keluarga mahasiswa FEB UGM?

Pastinya sudah tidak jarang lagi akun kampanye seperti @meraki.abadi dan @bersama.querencia berseliweran di instagram para mahasiswa aktif pada periode pergantian kepengurusan saat ini. Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) FEB UGM pun telah mulai menggencarkan aksi agar mahasiswa semakin terlibat dalam Pemilihan Wakil Mahasiswa (PEMILWA) tahun ini. Sayangnya, kampanye tersebut tampaknya tidak begitu berhasil. 

Menurut survei minat politik mahasiswa yang diadakan BPPM Equilibrium pada bulan Oktober 2022, hanya 15,6% responden yang tertarik untuk langsung terjun mengikuti politik kampus. Mayoritas responden (68,9%) memilih untuk sekadar memantau saja, sementara 15,6% sisanya memilih untuk tak acuh sama sekali.

Masih menurut hasil survei yang sama, berbagai faktor berpartisipasi dalam ketertarikan mahasiswa FEB dalam politik. Kebanyakan memilih untuk sekadar memantau atau tidak peduli karena stigma politik yang terlalu rumit, bias, dramatis, dan merepotkan. Para mahasiswa tersebut lebih memilih untuk berfokus pada pengembangan diri seperti magang dan berbisnis. “Mungkin karena FEB ya. Kecenderungannya lebih ke arah duit dan ekonomi, nggak ke politik,” celetuk Hafidha Ariana Cahya, Ketua Umum KPUM 2022. 

Selain terjun langsung, berpartisipasi dalam bentuk memberikan suara tidak kalah pentingnya. Miris, menilik data dari KPUM, hanya 31% mahasiswa yang memberikan suaranya dari seluruh mahasiswa aktif 2018-2021 yang memiliki hak pilih. Total pemilih yang bahkan tidak mencapai setengah dari jumlah mahasiswa aktif kian menimbulkan keraguan akan efektivitas politik kampus FEB UGM. 

Lukas Alvin, Ketua Umum KPUM 2021, menggarisbawahi bahwa kebanyakan mahasiswa yang berpartisipasi merupakan mahasiswa baru saja. Semakin tinggi semesternya, seorang mahasiswa cenderung lebih acuh terhadap PEMILWA. “PEMILWA tahun lalu memang masih banyak kekurangan, terutama karena diadakan secara online dan cukup sulit mendapatkan antusiasme mahasiswa angkatan 2018 dan 2019 karena fokus mereka sudah tidak di politik lagi,” Alvin menyatakan. 

Ternyata, survei BPPM Equilibrium mengenai minat politik mahasiswa (2022) pun juga mengutarakan bahwa tidak semua mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab untuk memberikan suara dalam PEMILWA. Sebanyak 31,1% responden meyakini bahwa suara darinya kurang berarti bagi masa depan kampus yang lebih baik. Terlebih, sebanyak 18,1% responden yang berpendapat bahwa mereka tidak merasakan dampak apapun dari politik kampus dan 42,4% tidak tertarik tanpa alasan yang spesifik. 

Berdasarkan jawaban dari para responden, mengikuti politik kampus tidak memberikan dampak banyak kepada masyarakat umum diluar organisasi yang berkecimpung dalamnya. Maka dari itu, banyak mahasiswa yang merasa mereka membuang-buang waktu yang dapat mereka gunakan untuk magang maupun berbisnis apabila mengikuti politik kampus. Walaupun demikian, keapatisan mahasiswa dalam dunia politik kampus perlu dievaluasi. 

KPUM FEB UGM, sebagai pelopor pesta demokrasi, memiliki tanggung jawab lebih dalam menghidupkan iklim politik dalam kampus. Salah satu solusi yang dapat segera diimplementasikan adalah menggencarkan kesadaran bahwa suara dari setiap mahasiswa berharga. Sebab, tidak sedikit yang menganggap bahwa suaranya tidak berguna berhubung kebanyakan calon ketua tahun ini merupakan calon tunggal. Reformasi peraturan pengambilan suara menjadi setidaknya 50% dari total mahasiswa aktif harus memberikan suara agar hasil pemilihan dianggap sah mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi hal tersebut. Solusi tersebut juga dapat menunjang efektivitas politik dan memvalidasi bahwa calon tersebut memang layak menjadi perwakilan suara mahasiswa. Selain itu, inklusivitas perlu diterapkan oleh para pemimpin periode selanjutnya sehingga seluruh lapisan mahasiswa dapat merasakan dampak positif politik kampus.

“Sebenarnya, iklim politik pasti sangat berpengaruh pada bisnis. Kemanapun kita pergi, politik pasti tetap akan ada,” sebut Fidha. Memang, politik tidak akan luput dari hidup kita. Keapatisan terhadapnya tidak akan mengubah apapun. Tanggung jawab politik tidak hanya dipikul oleh organisasi yang terlibat langsung dalam politik FEB UGM saja, tetapi juga seluruh lapisan mahasiswa yang memiliki hak untuk bersuara. Mari, kita kawal politik FEB UGM hingga tidak sekadar berjalan saja tetapi juga efektif dan bermanfaat bagi seluruh lapisan mahasiswa!

Pengunjung :
214

Solverwp- WordPress Theme and Plugin