WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Sudah 77 Tahun Merdeka, tetapi Perdukunan Masih Saja Menjajah Logika

Oleh: Rizal Farizi dan Achmad Zidan Muzaki
Ilustrasi Oleh: Alya Aqilah

Dukun telah lama menjadi pilihan orang-orang yang menginginkan segala sesuatu serba instan. Benci seseorang? Minta bantuan saja ke dukun hingga orang itu muntah paku. Suka seseorang, tetapi ia tidak peka? Beri saja fotonya kepada dukun dan niscaya crush-mu akan tergila-gila padamu. Namun, belakangan ini, muncul keraguan massa terhadap keabsahan praktik tersebut. Meskipun kesannya terlambat sadar pasca hampir delapan dekade merdeka, nyatanya terdapat problematika mendasar dari sisi psikologis, edukasi, dan ekonomi yang menyebabkan warga Indonesia selama ini terpedaya oleh kharisma sang cenayang.

Perdukunan tidak dapat dipisahkan dari jejak sejarah Indonesia. Praktik klenik ini sudah tercatat pada prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Memasuki abad ke-20, “dukun” lebih merujuk kepada seorang pribumi dengan berbagai keahlian terutama di bidang medis daripada mistis, seperti membantu kelahiran bayi, memijat, membuat jamu, dan sebagainya. 

Kini, dukun masih eksis di tengah gempuran modernisasi. Menurut Anggorodi (2009), ada beragam jenis dukun di Indonesia, mulai dari dukun bayi dan pijat, sangkal putung sang penyembuh patah tulang, petungan si pemberi nasihat waktu yang tepat untuk bercocok tanam, hingga perewangan yang konon memiliki kemampuan magis dan mampu berkomunikasi dengan “dunia lain”. Kementerian Kesehatan mencatat jumlah fantastis dukun beranak di Indonesia, yaitu mencapai 49.832 orang yang tersebar di seluruh penjuru negeri, hampir tujuh kali lipat total obgyn yang hanya berjumlah 7.872 orang. 

Selain dukun untuk pengobatan alternatif, terdapat pula “dukun” yang mengklaim bahwa mereka mampu melancarkan aksi klenik semacam santet, pelet, dan pesugihan. Mereka sedang menjadi buah bibir seiring dengan tenarnya sosok Pesulap Merah di dunia hiburan. Bagaimana tidak, pria bernama asli Marchel Radival ini sukses membongkar tipu daya yang kerap dilakukan para oknum dukun. Siapa sangka kalau mata jenglot bisa menyala merah karena sang dukun lah yang menekan tombol on. Siapa sangka pula bulu perindu yang bisa bergerak sendiri jika terkena air memang merupakan tanaman spesies Holttumochloa dengan kemampuan demikian.

Menguak Penyebab (Masih) Tenarnya Dukun Mistis di Kalangan Masyarakat

Berkunjung ke dukun dapat menyebabkan efek plasebo bagi seseorang. Efek ini men-trick psikologis individu sehingga ia merasa lebih mendingan setelah memakai jasa sang dukun, padahal realitanya tindakan dukun tersebut sebenarnya tidak berdampak apa-apa. Selain itu, Yanti dkk. (2021) juga menemukan fenomena yang dinamakan somatisasi, yaitu kondisi ketika manusia seakan-akan merasakan gejala penyakit meskipun sebenarnya tidak sakit. Ketika berkunjung ke dokter dan didiagnosis baik-baik saja, ia merasa denial dan kemudian berkunjung ke dukun untuk memvalidasi perasaannya.

Selain faktor dari pasien dan dukun itu sendiri, praktik perdukunan yang masih merajalela di Indonesia tidak terlepas dari sistem pendidikan negara ini. Tidak dapat dimungkiri, orientasi pendidikan di Indonesia hanyalah sebatas nilai. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang tua dan guru yang tidak memedulikan tingkat pemahaman seorang anak terhadap suatu pelajaran asalkan nilai yang didapat memuaskan. Kejadian-kejadian tersebut disebabkan oleh adanya anggapan bahwa nilai adalah prestasi. Padahal, tujuan utama dari pendidikan adalah mengubah pola pikir dan sikap mental (Dudung, 2019). Salah satu indikator yang bisa dijadikan ukuran adalah rasionalitas masyarakat Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menyebutkan bahwa tahapan menuju pemikiran maju mempunyai tiga proses, yaitu logika mistika yang masih bertumpu pada ilmu gaib, filsafat yang telah mampu berpikir sebab-akibat, dan ilmu pengetahuan yang berpusat pada bukti empiris. Kasus perdukunan yang masih marak menjadi bukti bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum berhasil karena tidak memenuhi indikator rasionalitas dan masih berada pada tahap awal pemikiran maju, yaitu logika mistika.

Faktor lain yang tidak bisa dianggap remeh adalah ekonomi. Mayoritas orang yang datang ke dukun khususnya terkait masalah kesehatan adalah mereka yang sudah menyerah terhadap pengobatan secara medis. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, salah satunya adalah adanya anggapan mahalnya biaya pengobatan medis. Memang, hal tersebut tidak sepenuhnya benar mengingat biaya pemeriksaan di puskesmas hanya Rp5.000-Rp10.000 dan biaya-biaya lain juga sudah ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Namun, diskriminasi terhadap pengguna BPJS di beberapa rumah sakit yang menjadi penyebab pelayanan kesehatan tidak dilakukan secara maksimal menuntut pasien mencari alternatif lain. Selain itu, keterbatasan fasilitas rumah sakit dalam penanganan dan pengobatan penyakit tertentu makin mendukung pencarian alternatif tersebut. Daripada rumah sakit swasta atau luar negeri yang jelas lebih mahal, masyarakat lebih memilih dukun yang mengiming-imingi kepastian.

Mencari Solusi dari Kasus Perdukunan yang Bangkit Berulang Kali

Baru-baru ini, pemerintah melalui RUU KUHP mencoba mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan perdukunan ini. Pada Pasal 252 RUU KUHP Bab Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana, disebutkan bahwa seseorang bisa mendapat hukuman penjara selama satu tahun enam bulan jika mengaku sebagai dukun atau mempunyai kekuatan gaib. Langkah tersebut memang perlu dilakukan, tetapi terkesan instan, dangkal, dan tidak mau repot. Layaknya penjual barang, dukun tidak akan hilang jika permintaannya tetap ada. 

Oleh karena itu, selain penindakan secara pidana tersebut, penanganan terkait masalah yang menjadi faktor penyebab maraknya perdukunan juga perlu dilakukan. Dari segi edukasi, fungsi utama pendidikan sebagai pengubah pola pikir mesti kembali ditekankan. Nilai memang menjadi salah satu indikator yang bisa digunakan, tetapi bukan satu-satunya. Implementasi materi-materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menjadi poin yang lebih penting. Selain itu, pengenalan terhadap materi penalaran dan logika seharusnya sudah dilakukan sejak dini. Hingga saat ini, materi tersebut hanya berlaku untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Terakhir, pemerataan kualitas pendidikan juga tidak kalah penting. Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Papua, Bangka Belitung, dan Riau menjadi tiga provinsi dengan angka putus sekolah tertinggi hingga tahun 2021. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak merata. Jika tidak segera diperbaiki, perubahan pola pikir hanya akan dirasakan pada daerah tertentu dan tidak menyeluruh. 

Sementara itu, dari segi kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan tentunya menjadi fokus utama. Ketika fasilitas yang ditawarkan, baik peralatan maupun tenaga kesehatan, berkualitas baik dan merata, masyarakat Indonesia tidak perlu repot-repot datang ke dukun. Selain itu, pelaksanaan program BPJS juga harus terus diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan dan diskriminasi. Jika pola pikir masyarakat dan fasilitas, baik pendidikan maupun kesehatan, yang disediakan oleh negara sudah mumpuni, kegiatan perdukunan bisa segera dibasmi.

Referensi

admin. (2019, April 24). Dudung : Pendidikan Adalah Media Untuk Mengubah Pola Pikir dan Sikap Mental. Retrieved September 8, 2022, from PASJABAR website: https://pasjabar.com/2019/04/24/dudung-pendidikan-adalah-media-untuk-mengubah-pola-pikir-dan-sikap-mental/

Anggorodi, Rina. 2009. “Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh Masyarakat Indonesia.” Makara Kesehatan 13 (1): 9–14. http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/view/328/324.

Farouk, Y. & Pangesti, R. 2022. 5 Trik Dukun yang Dibongkar Pesulap Merah, Ada Jenglot hingga Bulu Perindu. Diakses 8 September 2022, dari https://www.suara.com/entertainment/2022/08/11/134542/5-trik-dukun-yang-dibongkar-pesulap-merah-ada-jenglot-hingga-bulu-perindu

Fizriyani, Wilda. 2022. Sejarah Dukun di Indonesia: Dari Anggapan Ahli Medis Hingga Stigma Magis. Diakses 8 September 2022, dari https://repjogja.republika.co.id/berita/rcbly8399/sejarah-dukun-di-indonesia-dari-anggapan-ahli-medis-hingga-stigma-magis

Hanifah, S. (2022, July 6). Draf Final RUU KUHP: Ngaku Dukun & Punya Kekuatan Gaib Diancam 18 Bulan | merdeka.com. Retrieved September 8, 2022, from merdeka.com website: https://www.merdeka.com/peristiwa/draf-final-ruu-kuhp-ngaku-dukun-amp-punya-kekuatan-gaib-diancam-18-bulan.html

Ihsan, Danang Nur. 2020. Jumlah Dukun Bayi di Indonesia Hampir 7 Kali Lipat Dibandingkan Dokter Kandungan. Diakses 8 September 2022, dari https://www.solopos.com/jumlah-dukun-bayi-di-indonesia-hampir-7-kali-lipat-dibandingkan-dokter-kandungan-1067942

Putri, Aditya Widya. 2019. Efek Plasebo: Alasan Mengapa Pasien Ningsih Tinampi Bisa Sembuh. Diakses 8 September 2022, dari https://tirto.id/efek-plasebo-alasan-mengapa-pasien-ningsih-tinampi-bisa-sembuh-emYL

Sianipar, Hot Marangkup Tumpal, Abednego Andhana Prakosajaya, and Ayu Nur Widiyastuti. 2020. “Praktik Perdukunan Menurut Tiga Prasasti Peninggalan Kedatuan Sriwijaya Abad Ke 6 – 7 Masehi.” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 6 (2): 194–220. https://doi.org/10.36424/jpsb.v6i2.186.

Susanto, S. C. (2020, April 17). Logika Mistika dan Kemerdekaan Berpikir Masyarakat Indonesia – ITS News. Retrieved September 8, 2022, from ITS News website: https://www.its.ac.id/news/2020/04/17/logika-mistika-dan-kemerdekaan-berpikir-masyarakat-indonesia/

Yanti, Irma, Henni Kumaladewi Hengky, and Herlina Muin. 2021. “Community Habits in Choosing Alternative Medicine for a Disease in Samaulue Village Lanrisang District Pinrang Regency” 4 (1): 146–55.

Pengunjung :
362

Solverwp- WordPress Theme and Plugin