Oleh: Abizar Aulia Akbar, Syifa Rahainah, Adelia Maurent Putri Nugroho, Rachael Octaviena
Perkembangan teknologi mengakselerasi perkembangan sistem pembayaran ke arah digital. Salah satu produk yang dihasilkan adalah uang elektronik. Berbagai kelebihan ditawarkan oleh uang elektronik, di antaranya transaksi dan pengisian ulang yang mudah serta penggunaannya yang hemat waktu dan efisien. Dengan berbagai kemudahan itu dan ditambah gencarnya promosi yang dilakukan oleh para perusahaan dompet elektronik (e-wallet), tidak mengherankan jika jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Hal ini dapat dibuktikan dengan data statistik sistem pembayaran uang elektronik yang dirilis oleh Bank Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, terdapat variasi dalam peningkatan volume dan nominal transaksi seperti pada tabel berikut.
Tahun | Peningkatan Volume | Peningkatan Nominal |
2015 | 163,36% | Rp1.963.462 |
2016 | 27,56% | 1.780.671 |
2017 | 38,09% | 5.311.780 |
2018 | 209,84% | 34.823.147 |
2019 | 78,84% | 97.966.852 |
Dari tabel di atas, tampak perubahan yang cukup besar dari tahun ke tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia semakin melibatkan uang elektronik dalam transaksi yang mereka lakukan.
Seiring dengan peningkatan transaksi menggunakan uang elektronik, terdapat beberapa dampak negatif yang mengikutinya. Dari faktor eksternal, dibutuhkan baterai ponsel yang cukup dan sinyal yang bagus untuk melakukan transaksi, tidak semua toko menyediakan layanan pembayaran menggunakan uang elektronik, dan ancaman peretasan pada aplikasi uang elektronik karena sistem pertahanannya yang tidak seaman kartu debit dan kartu kredit (Adam, 2017). Dari faktor internal, penggunaan uang elektronik yang sangat mudah akan membuat penggunanya lebih boros karena praktisnya sistem pembayaran yang ditawarkan. Hal senada diungkapkan oleh Profesor Drazen Prelec dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Menurut Prelec, pembayaran nontunai berbahaya karena berpotensi membuat konsumen tidak lagi merasakan “kehilangan” saat membayar. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena kurangnya pengetahuan kaum muda mengenai pengelolaan keuangan. Berdasarkan riset PricewaterhouseCoopers (PwC) pada 2014, dari 5.500 responden berusia 23-35 tahun hanya 24 persen yang memiliki pengetahuan pengelolaan keuangan yang memadai (Gumiwang, 2018).
Dengan demikian, sebagai kaum muda kita harus mengetahui cara mengelola uang yang baik. Meningkatkan literasi finansial merupakan salah satu cara termudah. Kemajuan teknologi saat ini juga memunculkan berbagai aplikasi yang dapat membantu kaum muda untuk mengatur keuangan. Aplikasi-aplikasi ini menawarkan berbagai fitur, di antaranya membuat anggaran, mencatat keuangan, merencanakan keuangan, memantau kinerja investasi, mengecek kesehatan keuangan, dan live chat dengan perencana keuangan. Dengan berbagai kemudahan yang tersedia saat ini, generasi muda harus bijak dalam menggunakan sistem pembayaran digital. Diperlukan pengendalian dari dan tekad untuk mempelajari pengelolaan keuangan yang baik.
Referensi
Adam, A. (2017). Baik-Buruk Uang Elektronik. Tirto.ID. https://tirto.id/baik-buruk-uang-elektronik-cqrl
Bank Indonesia. (2020). Statistik Sistem Pembayaran. bi.go.id. https://www.bi.go.id/id/statistik/ekonomi-keuangan/ssp/uang-elektronik-jumlah.aspx
Gumiwang, R. (2018). Candu Uang Elektronik para Milenial. Tirto.ID. https://tirto.id/candu-uang elektronik-para-milenial-c5jY