oleh: Aliyah Zuhria Andra S., Cindra Karunia, M. Naufal Fauzan, Theresa Arween F.
Anggap kelinci yang ditarik keluar dari topi pesulap sebagai alam semesta dan manusia sebagai serangga mikroskopis yang hidup di sela-sela bulunya. Seseorang yang baru saja dilahirkan pasti akan selalu mencoba memanjat helaian bulu tersebut karena keingintahuannya akan trik yang sedang digunakan oleh pesulap. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka yang sudah tidak penasaran tentang trik tersebut dan kembali menyelusup ke dalam sela-sela bulu.
Perumpamaan tadi diceritakan oleh Jostein Gaarder di novel Dunia Sophie. Ia mencoba menceritakan bagaimana kita semua pernah memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi ketika masih kecil. Mereka selalu bertanya pada hal-hal yang sederhana: Tuhan itu siapa? Kenapa aku dilahirkan? Mengapa ada kematian? dan pertanyaan sederhana lainnya. Namun, sering kali mereka mendapatkan jawaban yang mengakhiri keingintahuan tersebut. Pada akhirnya, banyak dari kita yang kehilangan naluri bertanya saat kita beranjak dewasa.
Tumpulnya naluri bertanya akan membentuk diri yang tidak kritis. Mereka akan tumbuh sebagai kertas kosong yang tintanya dituangkan oleh orang lain. Mudahnya, mereka akan menerima informasi apapun tanpa merasa perlu untuk mencernanya. Dengan demikian, mereka akan mudah menerima informasi tidak valid yang berisi hasutan. Konflik merupakan produk akhir yang tercipta dari alur cerita ini.
Sayangnya, apa yang kami ceritakan di atas terjadi juga di lingkungan kita. Di Indonesia, mulai dari orang tua hingga guru di sekolah tidak mampu menjadi fasilitator berdialog filsafat. Dialog yang mencegah jawaban menjadi final. Padahal, jika kita berbicara tentang guru, mereka adalah ujung tombak dunia pendidikan dalam upaya pembentukan diri generasi yang akan datang.
Merujuk hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah, ditemukan bahwa 63,07 persen guru memiliki opini yang intoleran terhadap pemeluk agama lain, dan 82,77 persen guru sepakat bahwa Islam merupakan satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat (Muamar, 2018).
Dengan melihat guru kita yang meyakini satu ajaran agama sebagai satu-satunya solusi dalam segala persoalan, tak heran apabila kita akan menjumpai kenyataan bahwa pelajar kita memiliki kemampuan yang buruk dalam hal membaca. Pada penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, skor kemampuan membaca pelajar Indonesia yang berusia 15 tahun sebesar 371, masih di bawah skor rata-rata Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sebesar 487. Jika diperingkat, kemampuan membaca pelajar kita ada di urutan 72 dari 79 negara yang disurvei (Katadata, 2019).
Mengapa guru yang percaya agama sebagai satu-satunya solusi berbagai permasalahan berpengaruh pada rendahnya kemampuan membaca pelajar? Guru yang terbiasa menjawab pertanyaan dengan jawaban yang dogmatis akan menghentikan dialog dengan muridnya. Pertanyaan yang dilempar akan dijawab dengan jawaban yang final. Artinya, tidak ada ide yang berkembang secara berkelanjutan. Kemandekan dialog tersebut tidak akan memantik murid untuk menyelami ide yang ada lebih lanjut dengan mengulik sumber informasi lainnya.
Permasalahan lainnya datang dari sistem pendidikan kita yang terfokus pada nilai ujian sebagai standar kualitas seorang pelajar (Wattimena, 2016). Di dalam sistem ujian ini, jawaban atas pertanyaan sudah dirumuskan sebelumnya. Pelajar cukup menghafal dan mengulang jawaban pada kertas ujian. Mereka akan mendapat konsekuensi pengurangan nilai apabila memberikan jawaban yang berbeda dengan kunci. Pada akhirnya, akan tercipta pelajar yang tidak berani mengungkapkan ide yang berbeda.
Siswa dituntut untuk menerima pelajaran mentah-mentah tanpa tahu asal-usul kita harus mempelajari hal tersebut. Siswa yang didikte dan dipaksa untuk menyerap pelajaran akan mengubah landasan pendidikan yang seharusnya berangkat dari nilai etis-humanis menjadi teknis-pragmatis (Mulyono, 2020). Dampaknya, siswa terbiasa untuk berpikir praktis dan pelajaran yang diajarkan menjadi tidak bermakna.
Mempelajari filsafat akan menuntun kita untuk mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif sehingga tidak terburu-buru dalam memutuskan suatu hal. Kita akan memilah suatu argumen dari berbagai spektrum pemikiran yang berbeda sebelum memutuskan layak atau tidaknya argumen tersebut. Saat belajar filsafat, kita akan mendapatkan gambaran tentang proses ilmu secara historis dan kontemporer (Algayoni, 2019). Hal ini menjadikan filsafat adalah ilmu yang penting sebagai fondasi untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Sebenarnya, ke mana arah pendidikan Indonesia akan dibawa? Jika tujuannya hanya menciptakan manusia robot yang terbiasa didikte, tentu hal yang dilakukan sudah benar. Namun, jika ingin menghasilkan manusia yang pandai berpikir, kita memerlukan adanya pembelajaran filsafat dalam pendidikan kita. Sudah saatnya filsafat masuk ke dalam kurikulum pendidikan kita.
Dialog filsafat dalam pendidikan memerlukan fasilitator yang dapat membantu siswa mempertajam naluri kritisnya. Guru perlu menempatkan dirinya sebagai partner yang setara dengan siswa dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada (Wattimena, 2016). Guru juga perlu untuk mencegah jawaban final dari pertanyaan-pertanyaan yang ada. Hal tersebut perlu dilakukan agar siswa terus menggali jawaban dari sumber lainnya. Dari dialog siswa dan guru tersebut, akan diperoleh keterbukaan dalam berpikir dan menciptakan pandangan-pandangan baru. Untuk mewujudkannya, kiranya diperlukan pembekalan filsafat kepada guru dengan matang.
Siswa yang terbiasa mempelajari filsafat tidak akan secara mentah-mentah menerima informasi yang diterimanya. Filsafat yang pada prinsipnya merupakan pencarian jawaban yang tak akan pernah berakhir akan membentuk siswa yang dinamis. Nantinya, akan terbentuklah kepribadian diri yang fallibilist (mengakui ketidaksempurnaan pengetahuan). Diri yang fallibilist inilah yang akan menjamin toleransi dan pluralisme. Oleh karena itu, konflik berdasar kepercayaan absolut dapat diminimalkan.
Pada dasarnya, setiap anak mempunyai naluri bertanya yang tajam. Namun, terkadang naluri tersebut ditumpulkan oleh jawaban yang menyudahi keberlanjutan pertanyaan. Guru yang merupakan ujung tombak dunia pendidikan perlu memberikan jawaban-jawaban yang bersifat tidak final. Sistem pendidikan yang hanya menekankan nilai ujian sebagai standar kualifikasi anak juga perlu dipertanyakan. Sudah saatnya kita memperhitungkan filsafat sebagai sesuatu yang penting di dalam dunia pendidikan. Filsafatlah yang mampu mencegah jawaban menjadi final. Pada akhirnya, akan terbentuk generasi yang tidak menyia-nyiakan nalurinya dalam bertanya.
Referensi:
Muamar, Abul. (2018). Guru Intoleran dan Pelajaran Filsafat dalam Kurikulum Kita. Diakses pada 29 November 2020 dari https://news.detik.com/kolom/d-4270591/guru-intoleran-dan-pelajaran-filsafat-dalam-kurikulum-kita
Katadata. (2020). Di Tingkat Asia, Kemampuan Membaca Pelajar Indonesia Tertinggal. Diakses pada 29 November 2020 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/09/di-tingkat-asia-kemampuan-membaca-pelajar-indonesia-tertinggal
Mulyono, Ade. (2020). Opini; Urgensi Filsafat Pendidikan. Diakses pada 29 November 2020 dari https://tegas.id/2020/07/12/opini-urgensi-filsafat-pendidikan/
Algayoni, Husaini Muzakir. (2019). Urgensi Filsafat Ilmu Bagi Mahasiswa. Diakses pada 29 November 2020 dari https://lintasgayo.co/2019/10/09/urgensi-filsafat-ilmu-bagi-mahasiswa/
Wattimena, R. A. (N.d.). Pendidikan Filsafat Untuk Anak? Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis Untuk Konteks Indonesia. Jurnal Demo, 26(2), 163-188.
Discussion about this post