WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Mengurai Benang Kusut Privilese

Penulis: Nurhafizhah Shafiyah Ardita & Saffanah Calista/EQ

Ilustrasi Oleh: Theresa Arween/EQ

Mulai dari keberadaan selebgram hingga keberadaan konten crazy rich, secara tidak langsung media sosial turut memperlihatkan kepada kita beberapa contoh privilese yang ada, yakni kecantikan dan kekayaan. Hal ini memang bukan hal baru, tetapi diskusinya kian menjamur seiring maraknya opini dan konten privilese yang tersebar di media sosial. Sayangnya, miskonsepsi masih terjadi dalam diskusi mengenai privilese yang terbatas pada privilese kecantikan semata. Lantas, apakah kita sejatinya mengerti esensi dari privilese itu sendiri?

Berdasarkan The Modern Law Review Vol. 41, penggunaan kata privilese mengacu pada keutamaan menguntungkan yang dimiliki oleh seseorang. Privilese dapat diumpamakan sebagai sebuah hadiah yang diterima oleh seseorang tanpa adanya usaha yang diberikan oleh orang tersebut untuk mendapatkannya. Penerima hadiah biasanya tidak dapat menentukan hadiah apa yang ia terima dari orang lain, entah itu buku, mobil, pakaian, atau sesuatu yang tidak ia kehendaki. Sama halnya dengan hadiah, seseorang tidak dapat mengatur privilese yang ia terima dan bagaimana bentuknya. Seseorang dapat memperoleh privilese berbentuk kemampuan, kebebasan, imunitas, kesempatan, dan hak. 

Privilese vs Hak

Walaupun salah satu bentuk privilese adalah hak, sejatinya keduanya adalah dua hal yang berbeda. Tidak semua hak adalah privilese dan tidak semua privilese berbentuk hak. Hak dimiliki oleh semua orang serta tidak menimbulkan ketimpangan. Sebaliknya, privilese tidak dimiliki oleh semua orang, sifatnya kondisional dan cenderung tidak setara. Selain itu, privilese hanya dilekatkan pada seseorang karena ia memenuhi “persyaratan” dari suatu privilese. Sebagai contoh, adanya “persyaratan” usia yang melekat pada privilese seseorang untuk dapat mengemudi secara legal.

Stigma Negatif Pemilik Privilese

Berdasarkan hasil survei yang kami selenggarakan, stigma negatif ternyata masih dilekatkan kepada orang-orang dengan privilese. Sebesar 20% dari total 35 responden masih memiliki stigma negatif terhadap orang berprivilese. Salah satu responden beropini bahwa seseorang yang hidup dengan keutamaan memiliki banyak kemudahan dalam hidupnya sehingga tidak perlu berjuang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sejatinya, memiliki privilese yang tidak dimiliki orang lain tidak membuat seseorang patut dicap buruk. Pada dasarnya seseorang tidak dapat menentukan privilese yang dilekatkan kepada dirinya sehingga kepemilikannya berada diluar kuasa orang tersebut. Sebuah privilese lahir dari sebuah sistem di masyarakat yang membiarkan adanya bagian dari masyarakat yang lebih diuntungkan. “Privilese membuatmu lebih beruntung bukan lebih baik dari orang lain,” sebut Sue Borrego, Rektor University of Michigan-Flint, dalam acara TEDxPasadenaWomen. Hal yang justru menjadikan seseorang dicap buruk adalah bagaimana ia menyikapi dan memanfaatkan privilese yang ia miliki.

Ketidakpedulian terhadap Privilese adalah Privilese

Memang, memiliki privilese tidak serta-merta membuat seseorang patut dicap buruk. Namun, tidak semua orang yang memiliki privilese sadar, peduli, dan mampu menyikapi kepemilikannya dengan tepat. Hal ini justru berujung pada ketidakpedulian terhadap sekitar yang ternyata merupakan suatu privilese tersendiri. Berdasarkan Journal of Personality and Social Psychology Vol. 119(6), saat eksistensinya tidak tampak, privilese punya pengaruh kuat dalam melanggengkan ketidaksetaraan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pemberian keuntungan yang tidak didapat oleh kelompok tertentu kepada kelompok lain. 

Peggy McIntosh, seorang aktivis anti rasisme, memerinci 26 bentuk ketidaktampakan white privilege dalam esai “White Privilege: Unpacking the Invisible Knapsack”. McIntosh berkata bahwa ketidaktampakan itu terjadi karena narasi sekolah tentang rasisme hanya berhenti pada sesuatu yang merugikan orang lain. Sekolah tidak mengajarkan untuk melihat konsekuensi di sisi lain, yakni kehadiran white privilege. Sebagai seorang kulit putih, ia tidak pernah dilatih untuk melihat dirinya sebagai  penindas, orang yang diuntungkan secara tidak adil, atau sebagai partisipan dalam budaya yang rusak. Alih-alih, sekolah hanya menyisakan pandangan terhadap dirinya sebagai orang yang netral, normatif, rata-rata, dan ideal.

Pandangan seperti inilah yang juga diyakini orang-orang non-difabel. Dilansir dari situs Hive Learning, non-difabel tidak melihat bahwa ruang kerja telah dibuat sedemikian rupa untuk mereka. Mereka hanya melihat bahwa ruang tersebut tidak menyesuaikan difabel. Persepsi ini berbahaya karena bisa menghambat inklusi, seperti yang dibuktikan dalam Equal Opportunities International, Vol. 26(6). Disebutkan bahwa penyandang disabilitas mengalami kesulitan bekerja sejak berpikir untuk melamar pekerjaan. Banyaknya risiko yang dapat terjadi di tempat kerja menjadi pertimbangan besar bagi calon pekerja disabilitas. 

Hingga kini, diskusi mengenai privilese masih terus berlanjut di berbagai media. Namun, pandangan kurang tepat mengenai konsep privilese masih saja tertanam kuat di tengah masyarakat. Mungkinkah keberadaan miskonsepsi seputar privilese memang tidak dapat dihindari.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin