WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Memilih Demokrasi

Penulis: M. Naufal Fauzan/EQ

Ilustrasi oleh Theresa Arween/EQ

Alexander Lukashenko diputuskan menang untuk keenam kalinya sebagai Presiden Belarusia dalam pilpres Agustus 2020 kemarin. Lukashenko mendulang 80,1 persen suara, Svetlana Tikhanovskaya berada di urutan kedua dengan perolehan 10,12 persen suara, dan kandidat lainnya masing-masing mendapatkan dukungan di kisaran satu persen (Anna Kanopatskaya, Andrei Dmitriyev, Sergei Cherechen) (Kinasih, 2020). Setelah Minsk mengumumkan hasil pemilu tersebut, ribuan orang meneriakkan “tidak” di jalanan kota tanpa menghiraukan ancaman penahanan dan penyiksaan. Protes masif menolak sang diktator terakhir Eropa tersebut menjadi sebuah sinyal akan tumbuhnya benih demokrasi yang telah lama mati di republik bekas bagian dari Uni Soviet tersebut.

Berpindah ke Thailand, Prayuth Chan-Ocha yang menjadi Perdana Menteri Thailand sejak kudeta militer 2014 mulai dipertanyakan komitmennya terhadap demokrasi. Februari 2020 kemarin, pemerintah telah memberangus Future Forward Party (FFP) yang dikenal vokal menentang rezim militer Prayuth (Tirta, 2020). Situasi bertambah runyam ketika Raja Vajiralongkorn (raja Thailand saat ini) memilih menetap di Jerman di kala krisis pandemi Covid-19 merebak di Thailand. Dua hal yang telah disebutkan di atas hanyalah pemantik kemarahan rakyat Thailand yang selama ini tidak kunjung mendapatkan kehidupan yang demokratis. Kemarahan rakyat ini direfleksikan dengan adanya unjuk rasa besar-besaran yang dipimpin mahasiswa sejak Oktober 2020 kemarin. Tak ada preseden untuk aksi massa selantang dan semasif ini dalam penuntutan reformasi konstitusi dan monarki sepanjang sejarah Thailand kontemporer.

Apabila kita menilik pada kondisi di Indonesia, saat ini tidaklah sama dengan apa yang dialami Belarusia dan Thailand. Namun, Indonesia pernah mengalami perjuangan yang sama dengan mereka dalam memperjuangkan cita-cita demokrasi. Sudah dua kali kita berhasil menumbangkan kekuasaan yang tidak beriman pada khitah demokrasi. Pada penumbangan yang pertama, kita berhasil meruntuhkan orde lama dengan demokrasi terpimpinnya yang hanya menggunakan istilah demokrasi sebagai tameng kekuasaan–padahal sama sekali tidak demokratis. Akan tetapi, harapan munculnya kehidupan yang demokratis tidak tercapai ketika orde baru menancapkan kekuasaan dengan format demokrasi Pancasila­–lagi-lagi kata “demokrasi” hanya sebuah embel-embel tameng kekuasaan. Pada akhirnya, dengan segala pengorbanan dan perjuangan, di tahun 1998 kita berhasil merobohkan orde baru dan berhasil mengarahkan gerbong rakyat Indonesia ke dalam satu rel cita-cita demokrasi yang tepat.

Tentunya, pencapaian kita dalam memeluk erat demokrasi tidaklah dibayar dengan murah. Tak terhitung seberapa banyak darah dan air mata yang mengalir dalam proses meruntuhkan tembok otokrasi. Namun, dalam dua dasawarsa setelah perobohan tembok tersebut, kita masih mendapati kekecewaan terhadap pemerintah yang korup, ketidakterwakilan suara-suara rakyat, dan pengabaian isu-isu hak asasi manusia. Seakan-akan kita tidak dapat merasakan suatu perubahan radikal yang dahulu kita dengungkan dalam setiap kesempatan. Harapan-harapan kita terhadap suatu demokrasi yang ideal terkadang memudar ketika menjumpai kenyataan yang demikian.

Jadi, akankah pengorbanan mahal para pemilih sistem demokrasi menjadi sesuatu yang sia-sia?

Kekecewaan terhadap demokrasi merupakan sesuatu hal yang tak terelakkan. Hal ini tidak terlepas dari ilusi yang kita ciptakan mengenai idealitas sistem tersebut akan berjalan. Merujuk pada Goenawan Mohamad dalam Demokrasi dan Kekecewaan, demokrasi sebagai tata politik mendasarkan diri terhadap suara terbanyak, maka demokrasi tidak mungkin mewakili aspirasi semua masyarakat. Oleh karena itu, ia tidak akan membuka diri terhadap suatu perubahan yang mengguncang-guncang yang biasanya dicita-citakan di awal perjuangan. Mudahnya, demokrasi tidak mensponsori revolusi.

Kekecewaan terhadap demokrasi tidak harus mereduksi keimanan kita terhadapnya. Kekecewaan tersebut sebaiknya tidak menghilangkan keyakinan kita terhadap demokrasi sebagai alat yang paling mungkin dalam mencapai kebebasan dan kedaulatan rakyat. Mungkin kita lupa bahwa kita semua adalah manusia yang menjalankan persoalan duniawi yang jauh dari kesempurnaan. Demokrasi sebagai alat perjuangan duniawi pun demikian. Mengutip dari buku yang sama, demokrasi selalu dilandasi oleh falibilisme manusia­–kesadaran akan ketidaksempurnaan manusia. Dengan falibilisme tersebut, pengakuan terhadap kesalahan dan ketidaksempurnaan sistem dapat dimungkinkan. Dalam hal ini, demokrasi adalah sistem yang paling memungkinkan untuk pengoreksian terhadap sistem itu sendiri untuk mencapai kebebasan dan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perdebatan di dalamnya akan terus berjalan mengingat tidak sempurnanya demokrasi tersebut. Pada hakikatnya demokrasi menjamin toleransi.

Demokrasi bukanlah kebenaran absolut. Demokrasi merupakan suatu ide yang akan terus tumbuh dengan segala pengakuannya terhadap ketidaksempurnaan. Oleh karenanya, harapan-harapan yang retak ketika kita melihat kedegilan alat-alat demokrasi–seperti partai politik–dapat dikuatkan kembali menjadi harapan yang utuh. Kita dimungkinkan untuk mencegah dan mengoreksi alat-alat tersebut dalam memenuhi kepentingan segelintir. Alat-alat tersebut perlu dikembalikan ke khitah yang sesungguhnya, yakni sebagai katalisator dalam mencapai tujuan demokrasi. Pada intinya, tujuan dari demokrasi adalah tercapainya kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai.

Dengan demikian, pengorbanan yang tidak murah oleh kita dan mereka yang memilih demokrasi sebagai suatu sistem tidaklah menjadi sia-sia hanya dengan melihat kenyataan saat ini. Kenyataan bahwa tujuan demokrasi tersendat oleh alat-alat demokrasi itu sendiri tidak menutup kemungkinan adanya pengoreksian. Pengoreksian tersebut dapat terus dilakukan jika masyarakatnya merupakan masyarakat yang argumentatif. Masyarakat yang dibentuk atas dasar rasionalitas dan toleransi, bukan masyarakat yang dogmatis dan intoleran. Maka dari itu, kita perlu mengaktifkan kehidupan masyarakat yang mengakui falibilitas manusia. Falibilitas yang akan memantik masyarakat untuk terlibat dalam dialektika demokrasi yang tidak akan pernah berakhir.

Terkadang di tengah jalan kita merasa kecewa dengan demokrasi yang telah kita pilih. Namun, semua itu tidak mereduksi bahwa kita masih mempunyai kemungkinan untuk mengoreksinya. Mengoreksinya agar terus tumbuh menjadi sebuah ide yang tak akan pernah sempurna. Oleh karenanya, ia tak mempunyai kesempatan untuk berubah menjadi dogma. Pada akhirnya, memilih beriman pada demokrasi bukanlah sesuatu yang salah.

Referensi

Kinasih, Sekar (2020) Menggoyang Diktator Terakhir Eropa di Belarus. Diakses pada 17 November 2020 dari https://tirto.id/menggoyang-diktator-terakhir-eropa-di-belarus-fYxy

Tirta, Tyson (2020) Mengapa Anak Muda Thailand Berani Menuntut Reformasi Monarki. Diakses pada 17 November 2020 dari https://tirto.id/mengapa-anak-muda-thailand-berani-menuntut-reformasi-monarki-f6qF

Mohamad, Goenawan, Robertus Robet, Dodi Ambardi, Rocky Gerung, R. William Liddle, Samsu Rizal Panggabean, dan Ihsan Ali-Fauzi. 2009. Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, PUSAD Paramadina

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin