Oleh: Rizal Farizi
“Public policy is a study in imperfection. It involves imperfect people, with imperfect information, facing deeply imperfect choices—so it’s not surprising that they’re getting imperfect results.” – Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat
Dalam perumusan kebijakan, pemerintah tidak bisa mengabaikan fakta yang terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjadi penting. Akan tetapi, dalam praktiknya, marak ditemui kebijakan publik yang terkesan tidak berpihak kepada rakyat dan mengabaikan realitas. Sejalan dengan kutipan Jake Sullivan, problematika tersebut berakar dari ketidaksempurnaan berbagai komponen yang terlibat dalam penyusunan kebijakan.
Kebijakan Berbasis Bukti dan Penerapannya di Indonesia
Pengambilan kebijakan berbasis bukti merujuk pada penyelesaian masalah secara sistematis yang didasarkan pada data, analisis risiko, respons proaktif, serta identifikasi (Subhan, 2019). Oleh karena itu, diperlukan data agar proses perancangan, pengambilan, dan pengaplikasian kebijakan dapat berjalan baik. Lembaga Administrasi Negara (2015) memaparkan bahwa seorang pembuat kebijakan dituntut untuk mengantongi data yang akseptabel sebagai pendukung suatu kebijakan.
Menurut Shima Dewi Mutiara Trisna, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang juga memiliki pengalaman sebagai konsultan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sebagian besar lembaga pemerintahan pusat telah mengadopsi metode kebijakan berbasis bukti. Namun, metode ini belum banyak diterapkan pada pemerintahan daerah. “Pengambilan kebijakan berbasis bukti masih terbatas sekali penerapannya, biasanya terpusat di daerah yang memiliki akses internet dengan fixed broadband (red: ketersediaan akses internet publik dengan kecepatan jaringan lebih dari atau sama dengan 256 kbit/s) tinggi,” lanjutnya.
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia makin menyadari pentingnya penerapan kebijakan berbasis bukti. Salah satu wujud realisasi tersebut adalah pendirian Knowledge Sector Initiative (KSI), sebuah lembaga swadaya masyarakat hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia, yakni Bappenas dengan Australia. “KSI adalah program sepuluh tahun yang didesain pada 2012 untuk mendukung peningkatan kualitas penelitian dan penggunaan bukti dalam menjawab persoalan-persoalan terkait pembangunan di Indonesia,” ujar Simon Erst, Konsultan Efektivitas dan Keberlanjutan Pembangunan Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Maraknya Kebijakan yang “Merugikan” Masyarakat: Apa yang Salah?
‘Tiada gading yang tak retak’ adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan ketidaksempurnaan kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Sejak dahulu, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pasti memantik pro dan kontra di kalangan publik. Masih hangat dalam ingatan keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kebijakan zonasi untuk penerimaan peserta didik baru sekolah negeri, atau bahkan penyusunan omnibus law yang memicu kecaman dari masyarakat.
Sementara itu, Luqman Nul Hakim, dosen Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya sebagai konsultan kebijakan publik, tidak ada kendala dalam pengumpulan data untuk pengambilan kebijakan di Indonesia. Namun, Aim memaparkan bahwa pembuat kebijakan cenderung melakukan cherry picking dalam memilah data untuk menjustifikasi argumennya. Dia mencontohkan bahwa pada kebijakan kenaikan harga BBM, kelompok pro akan cenderung memilih data angka tingginya alokasi subsidi untuk BBM demi menguatkan pendapatnya. Sebaliknya, pihak yang kontra terhadap kebijakan tersebut akan memilah data semacam kenaikan harga bahan pokok sebagai imbas melambungnya harga BBM. “Data can’t speak by itself. It depends on how people interpreted the data for their own purposes,” rangkumnya.
Oleh karenanya, Aim menekankan pentingnya urun rembuk dalam penyusunan kebijakan. Dengan demikian, dapat terjadi diskusi untuk mempertemukan pemikiran antara pihak pro dan kontra, baik dari kalangan ahli hingga masyarakat awam. Hal tersebut akan menghasilkan kebijakan yang tidak bias kepada salah satu kelompok saja. Ia mencontohkan, dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual, terjadi diskusi kompleks hingga tercipta peraturan yang inklusif. Hal ini berbanding terbalik dengan omnibus law yang disusun pemerintah secara tergesa-gesa sehingga menghasilkan kebijakan yang penuh celah.
Di sisi lain, Shima menekankan pentingnya piloting untuk memperkirakan dampak serta reaksi yang mungkin ditimbulkan dari suatu kebijakan. “Percuma jika ada kebijakan yang dikira bagus, tetapi ternyata tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekali lagi, prinsip kebijakan berbasis bukti adalah menciptakan kebijakan yang efisien dan memberikan insentif yang cukup untuk membuat masyarakat kooperatif terhadap kebijakan tersebut,” tutup Shima. Pada akhirnya, pemerintah perlu membenahi dua sisi, yakni melalui peningkatan aplikasi pengambilan kebijakan berbasis bukti dan pengakomodasian sarana diskusi dalam penyusunan kebijakan.
Referensi
Katadata. (2022, Mei 17). Cerita Perubahan Knowledge Sector Initiative [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=YjFuGfhnIKw&t=846s
Lembaga Administrasi Negara. 2015. “Modul Pelatihan Analis Kebijakan.” Pusaka Lembaga Administrasi Negara RI, 11,12,15,54,186, 187,188.Subhan, Haris. 2019. “Evidence Based Policy and Practice: Tantangan Dan Pengembangan.” Jispo 9 (1): 82–96.