Penulis: Handri Regina Putri/EQ
Editor: Nawfal Aulia/EQ
Layouter: Gilang Wirabumi N/EQ
Kita mungkin pernah melihatnya—atau bahkan mengalaminya sendiri. Seorang mahasiswa dengan mata berkaca-kaca menatap laptop pada jam 3 pagi, tangan menari cepat di atas keyboard menyelesaikan tugas yang besok harus dikumpulkan. Esainya panjang, rapi, tapi isinya hanya rangkaian kata yang disalin dari berbagai sumber lalu diubah sedikit di sana-sini. Tidak ada percikan pemikiran orisinal. Tidak ada jejak pergulatan intelektual. Yang ada hanyalah kelelahan dan kepuasan semu: “Alhamdulillah, selesai juga.” Ini adalah gejala autopilot—sebuah kondisi ketika aktivitas dilakukan secara otomatis, tanpa kesadaran penuh, mirip dengan sistem yang beroperasi berdasarkan pola tetap.
Fenomena autopilot dalam dunia pendidikan tinggi bukanlah hal baru. Namun, semakin mengkhawatirkan mengingat pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang untuk mengasah critical thinking, kreativitas, dan kepekaan sosial. Pertanyaannya, mengapa pola ini justru kian akrab dalam kehidupan mahasiswa? Lebih jauh lagi, apa implikasinya terhadap masa depan intelektual mereka?
Salah satu penyebab utama kebiasaan autopilot adalah budaya deadline-oriented yang mengakar kuat di kalangan mahasiswa. Tugas tidak lagi dilihat sebagai proses belajar, melainkan sebagai beban yang harus segera disingkirkan. Akibatnya, muncul budaya lain: “Ctrl+C” kemudian “Ctrl+V,” ya, budaya plagiarisme.
Tidak sedikit mahasiswa yang kedapatan melakukan plagiarisme massal dalam tugas akhir maupun tugas harian. Hal ini terjadi karena mereka merasa membaca jurnal atau sekadar mencari referensi hanya membuang-buang waktu. “Ngapain baca full text? Kan bisa pakai AI buat merangkum.” Ini menunjukkan betapa budaya instan telah menggerogoti etos belajar.
Masalahnya tidak berhenti pada kualitas tugas yang buruk. Dampak terparah dari kebiasaan autopilot ini adalah mandulnya kemampuan berpikir kritis. Ketika berada di dalam kelas dan dosen membuka sebuah forum diskusi, akan ada interaksi yang menarik antara dosen dan mahasiswa. Namun, jika kalian perhatikan, ketika dosen menanyakan terkait pendapat pribadi mahasiswa, mereka cenderung mengulang pendapat sebelumnya dan mengawali jawaban dengan kalimat “Saya setuju saja dengan pendapat sebelumnya.” Mahasiswa terbiasa mengandalkan jalan pintas—entah dengan menjiplak, mengandalkan AI, atau sekadar mengikuti pendapat mayoritas—tanpa berusaha menggali lebih dalam dan membangun perspektifnya sendiri.
Mengapa kita bisa terjebak dalam autopilot? Penyebabnya kompleks. Sistem pendidikan sekarang tidak lain dan tidak bukan hanyalah ritual administratif—banyak tugas tapi minim umpan balik. Kurikulum padat materi tapi miskin kedalaman. Dan penilaian lebih berfokus pada hasil akhir ketimbang proses belajar. Di tengah tekanan seperti ini, wajar jika mahasiswa memilih jalan pintas.
Mahasiswa autopilot mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menumbuhkan intrinsic motivation. Ketika nilai dan gelar menjadi tujuan utama, bukan proses memahami ilmu, mahasiswa kehilangan rasa ingin tahu yang seharusnya menjadi pendorong utama pembelajaran. Mereka mungkin lulus dengan IPK mentereng, tapi kosong dari kemampuan analisis dan kepekaan terhadap masalah nyata. Celakanya, dunia profesional justru membutuhkan orang-orang yang bisa berpikir mandiri, bukan sekadar expert copy-paste. Jika kebiasaan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin gelar sarjana akan kehilangan maknanya—sebatas kertas hiasan tanpa substansi.
Selain itu, budaya autopilot juga memperlebar jurang antara teori dan praktik. Mahasiswa terbiasa menelan informasi mentah-mentah tanpa menguji validitasnya atau menerapkannya dalam konteks nyata. Akibatnya, ketika dihadapkan pada situasi kompleks di dunia kerja, mereka kebingungan karena tak terbiasa menghadapi masalah tanpa “template” jawaban. Pendidikan seharusnya melatih mental problem-solver, bukan sekadar task-completer. Jika hal ini diabaikan, kita hanya akan melahirkan generasi yang cakap menghafal, tetapi gagap menghadapi realitas. Pertanyaannya sekarang: apakah kita masih punya keberanian untuk mematikan autopilot dan benar-benar menjalani kuliah dengan kesadaran penuh? Atau kita akan terus menjadi generasi penghasil tugas yang pandai menyelesaikan pekerjaan, tapi miskin pemahaman? Jawabannya ada di tangan kalian masing-masing!