WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Loneliness Epidemic: Keterbatasan yang Membelenggu Hubungan Sosial

Penulis: Aulia Lianasari, Ghozi Naufal Ali, dan Syifa Rahainah/EQ

Ilustrasi Oleh: Amir Anugrah/EQ

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sekarang berganti istilah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara langsung membatasi ruang gerak manusia. Masyarakat yang bekerja harus mengalihkan semua pekerjaan yang tidak berada dalam kategori esensial menjadi work from home (WFH) tanpa terkecuali. Tidak hanya perkantoran, sekolah, universitas, dan bahkan lembaga pendidikan lain yang memiliki kemungkinan “mengumpulkan” orang banyak dihentikan sementara untuk mencegah penyebaran virus tersebut. 

Kebijakan pembatasan yang diterapkan tentu berdampak kepada manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi sosial sebagai salah satu kebutuhan dasar. Tidak terpenuhinya kuantitas dan kualitas interaksi sosial yang diinginkan dapat menyebabkan munculnya perasaan kesendirian yang tidak nyaman serta menumbuhkan stres, atau yang lebih kita kenal dengan kesepian (Hawkley, 2007). Pembatasan sosial selama pandemi juga membuat antusiasme dan semangat mencoba hal baru yang dirasakan saat awal bekerja dari rumah semakin lama semakin pudar. Penyebabnya adalah perasaan jauh dari lingkungan sosial sehari-sehari karena interaksi dengan orang-orang terdekat yang semakin sulit untuk dilakukan. Perasaan yang muncul selanjutnya pun semakin beragam, seperti tumbuhnya perasaan pesimis mengenai akhir dari pandemi serta merasa jenuh karena hampir seluruh aktivitas dilakukan di rumah. Bahkan, muncul rasa gusar dan marah saat rasa jenuh semakin sulit diatasi (Rahayu, 2020). 

Apa itu Deprivasi Sosial?

Menurut Herbert (1975), deprivasi adalah keadaan ketika standar hidup berada di bawah standar masyarakat pada umumnya. Tidak ada yang dapat menjelaskan deprivasi dari  penyebab yang sama. Kebanyakan deprivasi muncul dari ketidakmampuan untuk melakukan pemulihan dari masalah yang biasanya erat kaitannya dengan kemiskinan, hingga akhirnya menuntun kepada deprivasi-deprivasi turunan lainnya (Herbert, 1975). Berdasarkan definisi tersebut, deprivasi sosial dapat diartikan sebagai kondisi personal yang hanya mendapatkan kesempatan yang minimal untuk melakukan kontak antar sesama manusia, seperti interaksi interpersonal, inklusi asosiatif, dan perawatan yang independen, yang menjadi kebutuhan fundamental manusia. Lantas, bagaimana deprivasi sosial saat pandemi? 

Deprivasi Sosial yang Semakin Merebak di Kala Pandemi

Kekurangan interaksi sosial dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama adalah tinggal di lokasi terpencil. Seseorang yang tinggal di wilayah yang secara geografis terpencil atau daerah yang jauh dan terpisah dari keluarga dan teman berpeluang mengalami kekurangan interaksi sosial. Kedua, disabilitas fisik juga dapat memunculkan rasa enggan untuk berinteraksi sosial karena adanya rasa malu atas disabilitas atau penampilannya. Tantangan yang mereka miliki ini dapat membatasi mobilitas sehingga mengurangi kemampuan untuk berinteraksi secara sosial.

Namun, adanya pandemi Covid-19 ini membuat deprivasi sosial lebih rentan terjadi. Interaksi sosial yang berkurang secara drastis dan mendadak akibat pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak orang merasa kesepian. Kemudian, ada beberapa faktor pendorong deprivasi sosial yang sering terjadi di masa pandemi. Kehilangan teman dan keluarga dapat membuat individu mengasingkan diri dan mengurangi interaksi sosial. Para keluarga dan teman terdekat yang ditinggalkan berpeluang mengalami kesedihan panjang, bahkan mungkin menarik diri dari hubungan sosial yang kemudian meningkatkan risiko mereka mengalami deprivasi sosial. Selain itu, penggunaan media sosial adalah salah satunya. Walaupun dapat membantu beberapa orang tetap terhubung dengan orang lain, media sosial yang digunakan untuk mengganti percakapan dan sosialisasi secara langsung dapat menyebabkan timbulnya deprivasi sosial (Tulane University, 2020).

Kesepian di Tengah Keramaian Digital

Berdasarkan Indeks Kesepian Amerika Serikat yang dirilis oleh Cigna pada tahun 2019, 61 persen orang dewasa melaporkan bahwa mereka kadang-kadang atau selalu merasa kesepian. Survei yang dilakukan terhadap 10.000 orang dewasa ini naik 7 persen dibandingkan survei pada tahun sebelumnya. Kemudian, para pekerja yang lebih muda mengaku merasakan lebih kesepian dibanding para pekerja yang lebih tua. Salah satu alasan mengapa pekerja yang lebih muda merasa lebih kesepian adalah intensitas penggunaan media sosial mereka yang lebih tinggi. Studi ini menemukan peningkatan korelasi antara penggunaan media sosial dengan perasaan kesepian. Sebanyak 71 persen pengguna rutin media sosial melaporkan merasa kesepian, naik 18 persen dari tahun lalu. Kemudian, 51 persen pengguna media sosial yang tidak rutin juga merasa kesepian, naik dari 4 persen dari tahun lalu (Coombs, 2020).

Kemudian terdapat juga penelitian yang membuktikan pengaruh penggunaan media sosial terhadap perasaan kesepian. Sebanyak 143 mahasiswa University of Pennsylvania dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok pertama diminta untuk membatasi penggunaan beberapa media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Snapchat hanya 10 menit per hari untuk setiap platform. Sementara itu, kelompok kedua diminta menggunakan media sosial secara biasa. Setelah kedua kelompok ini melakukan hal yang diminta selama tiga minggu, terdapat perbedaan mengenai rasa kesepian yang dialami. Kelompok pertama yang penggunaan media sosialnya dibatasi menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kesepian. Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pembatasan penggunaan media sosial hingga sekitar 30 menit per hari dapat menyebabkan peningkatan well-being yang signifikan (Hunt et al., 2018). 

Kesepian, Pemantik Masalah Kesehatan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kesepian menyebabkan peningkatan risiko masalah kesehatan mental tertentu, termasuk depresi, kecemasan, low self-esteem, masalah tidur, dan peningkatan stres. Australian Loneliness Report (2018) menunjukan bahwa satu dari dua orang Australia merasa kesepian setidaknya selama satu hari dalam seminggu, sementara satu dari empat merasa kesepian selama tiga hari atau lebih dalam seminggu. Survei juga menyebutkan bahwa orang Australia yang kesepian akan 15,2 persen lebih mungkin mengalami depresi dan 13,1 persen lebih mungkin cemas tentang interaksi sosial daripada mereka yang tidak kesepian (Lim & Australian Psychological Society, 2017).

Selain berpengaruh terhadap kesehatan mental, kesepian juga dapat memengaruhi kesehatan fisik. Terdapat beberapa risiko peningkatan kemunculan berbagai penyakit fisik, seperti meningkatkan risiko demensia sebanyak 50 persen, meningkatkan risiko penyakit jantung sebanyak 29 persen, meningkatkan risiko stroke sebanyak 32 persen, serta meningkatkan risiko kematian dini secara signifikan (Centers for Disease Control and Prevention, 2021).

Studi Komparatif Penanganan Kesehatan Mental

Meningkatnya angka bunuh diri di tengah pandemi menyebabkan pemerintah Jepang menunjukan keseriusannya dengan mengangkat menteri baru yang dinamakan “Menteri Kesepian”. Langkah tersebut diambil karena peningkatan angka masyarakat yang bunuh diri. Selain itu, tingginya angka bunuh diri diperparah dengan pembatasan sosial dan ekonomi akibat pandemi yang tengah berlangsung. Pembatasan sosial dan ekonomi yang terjadi menyebabkan disrupsi dalam ekonomi, hingga menyebabkan masalah pada kesehatan mental masyarakat. 

Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah, pakar, bahkan perusahaan berkomitmen untuk melakukan tindakan preventif dalam menanggulangi masalah tersebut. Salah satunya adalah menyamakan pandangan terkait definisi dari “kesepian” itu sendiri. Dengan penetapan standar yang baku tersebut, diharapkan dapat melakukan pencegahan sebelum mempengaruhi kesehatan mental masyarakat (Ryall, 2021).

Beda halnya dengan Jepang, Australia sudah mulai memerhatikan isu kesehatan mental sejak sebelum pandemi. Hal itu ditunjukkan dengan menyediakan fasilitas local hospital yang dapat dihubungi 24 jam selama 7 hari. Di tengah pandemi, pemerintah Australia berkomitmen untuk mendukung program yang tertuang dalam National Mental Health and Wellbeing Pandemic Response Plan yang memiliki anggaran hingga 48,1 juta US$. Rangkaian rencana tersebut sejalan dengan kesehatan fisik dan menetapkan arah serta tujuan untuk memudahkan “navigasi“ selama pandemi  berlangsung. (Australian Government National Mental Health Commission, 2020).

Melihat Realita Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia

Sebagai bentuk pencegahan bahaya kesehatan mental, pemerintah Indonesia memilih jalan yang berbeda dibandingkan Jepang dan Australia. Indonesia meminta tujuh kementerian untuk berkolaborasi dalam penanggulangan kesehatan mental masyarakatnya. Tujuh kementerian tersebut terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketujuh kementerian tersebut berkolaborasi membentuk program lintas sektor yang diharapkan bisa memberikan pelayanan yang menyeluruh, dimulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). 

Namun, sistem penanggulangan kesehatan mental yang dimiliki pemerintah dinilai masih terbatas, baik dari sisi fasilitas maupun ketersediaan para ahli terkait, seperti psikiater, perawatan kejiwaan, hingga dokter spesialis. Untuk ukuran populasi Indonesia yang nyaris menyentuh angka 250 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 773 psikiater dan 451 psikolog klinis. Selanjutnya, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI) menyatakan bahwa jumlah dokter ahli jiwa di negara kita hanya mencapai 987 orang. Secara rasio, setiap dokter jiwa di negara kita menangani lebih dari 250 ribu penduduk. Padahal idealnya, menurut WHO, setiap dokter melayani 30 ribu pasien  (Sebayang, Mawarpury, dan Rosemary, 2018). 

Idaiani dan Riyadi (2018) menyebutkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 51 rumah sakit jiwa (RSJ) yang terdiri dari 32 RSJ milik pemerintah dan 19 RSJ milik pihak swasta. Selain RSJ, pemerintah juga menyediakan poliklinik jiwa di beberapa provinsi di pulau Jawa dan Bali. Selain itu, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) berdasarkan data Direktorat Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa hanya 21,47 persen Puskesmas di Indonesia yang melaksanakan Pelayanan Kejiwaan (Idaiani & Riyadi, 2018).

Selain keterbatasan di atas, persepsi “miring” masyarakat terhadap kesehatan mental menyebabkan masyarakat dengan gangguan kesehatan mental cenderung enggan melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan perawatan. Meski sudah banyak komunitas hingga NGO yang mengampanyekan pentingnya kesehatan mental, masyarakat Indonesia masih tertutup dan memiliki stigma negatif terhadap pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental. Gila, tidak bisa sembuh, kerasukan sesuatu, hingga kurangnya pengetahuan keagamaan dipercaya oleh masyarakat menjadi penyebab adanya gangguan kesehatan mental. Padahal, gangguan tersebut dipengaruhi oleh kondisi medis yang ada di otak, layaknya penyakit pada umumnya yang menyerang organ tertentu. Masyarakat diharapkan mengubah persepsi buruk akan pasien penyakit kesehatan mental guna mendukung serangkaian program penanggulangan yang diluncurkan pemerintah. Dengan begitu, diharapkan akan terbentuk sistem kesehatan jiwa yang komprehensif demi mewujudkan kesehatan mental yang lebih baik di masa yang akan datang.

Referensi 

Australian Government Mental Health Commission. (2020). National Mental Health and Wellbeing Pandemic Response Plan. Australian Government, Mei. https://www.mentalhealthcommission.gov.au/mental-health-and-wellbeing-pandemic-response-plan   

Centers for Disease Control and Prevention. (2021). Loneliness and Social Isolation Linked to Serious Health Conditions. https://www.cdc.gov/aging/publications/features/lonely-older-adults.html 

Coombs, B. (2020). Loneliness is on the rise and younger workers and social media users feel it most, Cigna survey finds. https://www.cnbc.com/2020/01/23/loneliness-is-rising-younger-workers-and-social-media-users-feel-it-most.html

Hawkley, L. (2007). Loneliness. In R. F. Baumeister & K. D. Vohs (Eds.), Encyclopedia of social psychology (pp. 532-534). Newbury Park, CA: Sage.

Herbert, D. T. (1975). Urban Deprivation: Definition, Measurement and Spatial Qualities. The Geographical Journal, 141(3), 362–372.

Hunt, M. G., Marx, R., Lipson, C., & Young, J. (2018). No more FOMO: social media usage and types of social media content on students. Journal of Social and Clinical Psychology, 37(10), 751–768.

Idaiani, S., & Riyadi, E. I. (2018). Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia : Tantangan untuk Memenuhi Kebutuhan Mental Health System in Indonesia : A Challenge to Meet The Needs. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 2(2), 70–80.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Tujuh Kementerian Berkoordinasi Tanggulangi Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia. Kemenkes.go.id, 12 Juli. https://www.kemkes.go.id/article/print/1588/tujuh-kementerian-berkoordinasi-tanggulangi-masalah-kesehatan-jiwa-di-indonesia.html

Lim, M., & Australian Psychological Society. (2017). Australian Loneliness Report. 37. https://psychweek.org.au/wp/wp-content/uploads/2018/11/Psychology-Week-2018-Australian-Loneliness-Report-1.pdf 

Rahayu, M. N. M. (2020). Sendiri Tanpa Merasa Sepi : Refleksi Pengalaman Kesepian Ketika Menghadapi Pandemi COVID-19. 6(07). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/630-sendiri-tanpa-merasa-sepi-refleksi-pengalaman-kesepian-ketika-menghadapi-pandemi-covid-19

Ryall, J. (2021). Japan: “Minister of loneliness” tackles mental health crisis. https://www.dw.com/en/japan-minister-of-loneliness-tackles-mental-health-crisis/a-57311880

Sebayang, Susy K. ; Marty Mawarpury ; dan Rizanna Rosemary. (2018). 260 Juta Orang dan Kurang Dari 1000 Psikiater, Indonesia Kekurangan Pekerja Kesehatan MentalThe Converstation, 2 November. https://theconversation.com/260-juta-orang-dan-kurang-dari-1000-psikiater-indonesia-kekurangan-pekerja-kesehatan-mental-105969 

Tulane University. (2020). Understanding the Effects of Social Isolation on Mental Health. https://publichealth.tulane.edu/blog/effects-of-social-isolation-on-mental-health/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin